Mercy Kabes (42) berjalan santai dari rumahnya sekitar 100 meter menuju ke kebunnya di Kampung Wurkendik, Distrik Fakfak Barat, Fakfak, Papua Barat. Ia hanya membekali diri dengan golok di tangan kanannya, lalu sebuah stoples kecil di tangan kirinya yang berisi kapur dan buah pinang.
Jalan ke kebun tak begitu rumit. Letaknya berada di pinggir jalan utama kampung. Sesampai di sana, Mercy mengamat-amati sekumpulan pohon yang telah ia jaga bertahun-tahun lamanya. Ia pun menemukan pohon yang dicari.
“Masoi ini, kalau yang belum buah dan belum bunga, (batangnya) bisa dibelah, dikuliti. Kulitnya lebih mudah lepas,” ujar Mercy, sambil mengunyah pinangnya.
Tidak banyak pohon masoi atau mesoyi (Cryptocarya massoia) di kebun Mercy. Ada sekitar lima pohon dengan tinggi rata-rata 10 meter dan diameter batang 18-20 sentimeter. Dua pohon di antaranya belum berbuah dan berbunga. Pohon lainnya sudah tampak buah masoi berwarna hijau kekuningan di pucuk pohon. Jika kondisi seperti itu, kulit kayunya sulit sekali dikupas.
“Orang bilang kayak dikasih susu, lengket sekali,” kata Mercy. Ia akhirnya memilih untuk mengupas sedikit kulit kayu dari masoi yang baru berusia sekitar 5 tahun.
Pohon yang dipilih tentu belum berbuah, juga belum berbunga. Namun, siapa sangka, meski diambil dari pohon yang masih sangat muda, aroma minyak atsiri yang keluar dari kulit pohon itu amat semerbak.
Lalu, setelah dikuliti, apakah pohon tersebut akan mati? Tidak. Ini keunikan lain dari masoi. Pohon ini memiliki kemampuan regenerasi kulit. “Jadi, tak usah khawatir. Dia (masoi) bisa menyembuhkan lukanya sendiri kok,” kelakar Mercy.
Budidaya masoi
Mercy merupakan satu dari sedikit masyarakat lokal Fakfak yang masih menanam bibit dan mengupas kulit masoi meski menurut dia nilai ekonominya tak seberapa. Kalau dibandingkan dengan merawat dan memproduksi buah pala, nilai masoi jelas tak masuk hitungan.
Ia mengatakan, ada beberapa alasan mengapa budidaya dan pengolahan masoi kurang digemari masyarakat. Pertama, ada kepercayaan bahwa mengelupas kulit masoi di musim yang salah bisa membuat tangan melepuh. Ini membuat masyarakat enggan membudidayakan tanaman masoi karena takut menanggung risikonya.
Kedua, pembudidayaan masoi membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Dibutuhkan waktu setidaknya 15-20 tahun dari proses menanam bibit hingga nantinya tanaman masoi bisa produktif. Kalau pohon tidak dirawat, atau dibiarkan begitu saja tumbuh di hutan, butuh waktu lebih lama lagi untuk bisa memanennya.
Alasan lain yaitu, lahan di Fakfak sudah penuh dengan tanaman pala. Mercy perlu menjelajah hutan sejauh 1 kilometer baru bisa menemukan sebatang pohon masoi di antara deretan pohon pala. Kalaupun ada tanaman masoi yang tumbuh di hutan, biasanya itu adalah tanaman liar.
“Masyarakat mengambil begitu saja kulitnya kalau sudah kepepet ekonomi. Kalau tidak kepepet, jarang ada yang ambil,” ujar ibu tiga anak ini.
Mercy hanya sesekali masuk ke hutan untuk mengambil kulit masoi. Ia mengupas dan mengeringkan kulit. Harga kulit masoi yang sudah dikeringkan biasanya Rp 30.000-Rp 45.000 per kilogram (kg). Satu pohon masoi berusia remaja, biasanya menghasilkan 3 kg kulit.
“Kalau pala, sekali panen bisa dapat puluhan ton. Sementara masoi, bisa mendapatkan 50 kg kulitnya saja sudah bagus. Nanti kalau kulit dikeringkan, beratnya turun, harganya juga semakin turun lagi,” tuturnya.
Bertus Woy (48), warga Fakfak lain pun tak terlalu tertarik untuk memproduksi masoi. Alasannya, ia tidak memiliki lahan luas. Bertus memilih untuk menanam dan menjual bibit masoi. Ia biasanya blusukan ke hutan-hutan untuk mengambil bibit masoi liar. Bibit itu kemudian dirawat di persemaian.
Setelah tingginya sekitar 30 cm, bibit masoi di jual ke beberapa daerah seperti Sorong, Teluk Bintuni, dan Kaimana, masih di wilayah Papua Barat. Biasanya, dalam setahun, ia menjual 10.000 bibit masoi. Dengan harga bibit Rp 10.000 per tanaman, Bertus bisa mengantongi uang Rp 100 juta dari masoi.
Di Desa Wurkendik, setidaknya ada 15 orang yang menanam bibit masoi. Mereka bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menjual bibit. “Kalau pembibitan ini memang lancar, potensinya bagus, tapi kalau pohon, saya belum lihat potensinya,” katanya.
Saya takutnya (masoi) malah punah kalau tidak ada tindakan budidaya seperti di Fakfak. Saya takut suatu saat di sebaran alaminya itu (masoi) habis.
Menurut Mercy, memproduksi tanaman masoi memang sulit dan kurang menguntungkan secara ekonomi. Tanaman ini baru bisa menguntungkan kalau ada aktivitas penyulingan untuk memproses kulit pohon menjadi minyak atsiri.
“Sampai sekarang belum ada yang punya sumber daya untuk menyuling itu. Dari pemerintah mungkin bisa membantu, tapi masyarakat belum punya potensi untuk mengolah,” ucap Mercy.
Sulit ditemukan
Pengambilan kulit kayu masoi, seperti yang dilakukan Mercy, merupakan cara turun-temurun para petani lokal di Papua. Namun, tidak sampai di situ, agar mempermudah pengambilan kulit kayu, mereka biasanya sekaligus menebang pohonnya.
Kemudian, pohon yang telah dikuliti itu dibuang begitu saja atau ditinggalkan di hutan. Menurut mereka, pohon tersebut sudah tak bisa dimanfaatkan lagi. Pun selama ini, yang dibeli oleh para penadah hanya kulit kayunya saja.
“Jadi penebangan liar. Hajar saja. Dia tidak pikir ada bunga, ada buah, tebang turun saja begitu. Nanti perlu (uang) lagi, pergi, ambil (kulit masoi) lagi, mana yang sudah bisa dikuliti, tebang lagi,” ujar Mercy.
Overeksploitasi terhadap masoi ini rupanya telah terjadi sejak tahun 1980-an. Saat itu, Papua menjadi pemasok minyak masoi terbesar dari Indonesia, selain dari Papua Niugini. Westphal dan Jansen dalam Plant Resources of South-East Asia (1989) mengungkapkan, pada abad ke-17, bahkan sekitar 200 pohon harus ditebang untuk satu muatan kapal kulit kayu.
“Hal ini menyebabkan kelangkaan pohon saat ini. Ekstraksi yang tinggi menjadikan populasi masoi semakin tertekan,” tulis Westphal dan Jansen.
Benar saja, sejumlah penelitian beberapa tahun belakangan ini menyebutkan, keberadaan masoi semakin sulit ditemukan. Dalam Pembangunan Kebun Bibit dan Pertanaman Masoi di Papua (2019), misalnya, Pudja Mardi Utomo dan kawan-kawan menyebutkan, keberadaan pohon induk masoi di hutan alam Kabupaten Kaimana, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, dan Nabire sudah susah didapati karena sebagian besar telah dipanen oleh masyarakat.
Terakhir, Pudja menemukan pohon induk masoi pada 2016 di Kaimana. Pohon tersebut berada di ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Setelah itu, ia tak pernah lagi menemukan pohon induk meski telah berjalan kaki menyusuri hutan selama 2-3 hari.
Menurut Pudja, ini menjadi peringatan bahwa pemanenan kulit kayu masoi secara ekstraktif telah membahayakan kelestariannya. Semakin ironi, pemanenan ini tak dibarengi dengan upaya budidaya yang intensif.
“Saya takutnya (masoi) malah punah kalau tidak ada tindakan budidaya seperti di Fakfak. Saya takut suatu saat di sebaran alaminya itu (masoi) habis,” ujar Pudja, yang merupakan peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari.
Namun, untuk memecahkan masalah panen yang ekstraktif itu, Pudja telah menemukan solusinya. Selama ini, para petani langsung menebang pohon masoi sampai ke permukaan tanah bahkan akar juga ikut dikupas. Menurutnya, itu dapat mematikan pohon.
Seharusnya, jika petani ingin menebang pohonnya, maka sisakan bagian tunggak pohon. Dengan begitu, pohon bisa tumbuh kembali dengan sistem permudaan atau biasa disebut trubusan.
“Pokoknya jangan sampai bagian tunggak itu hilang. Disisakan saja 20-30 sentimeter dari permukaan tanah. Itu bisa tumbuh lagi masoi. Jadi, nanti regenerasinya dengan trubusan,” kata Pudja.
Selain itu, soal pemanenan masoi, selama ini petani lokal hanya sebatas memanfaatkan kulit kayunya. Padahal, kandungan minyak atsiri juga terdapat di bagian kayu (batang) dan buah meski masing-masing memiliki kadar lakton yang berbeda-beda. Kadar lakton merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas minyak atsiri.
Misal, rendemen minyak atsiri pada kulit bisa lebih dari 2,5 persen. Berbeda dengan bagian kayu, rendemen minyak atsirinya berkisar 1-1,8 persen. “Jadi, biomassa masoi itu dari buah sampai batang kayu. Semua mengandung minyak astiri,” ujar Pudja.
Bernilai ekonomi tinggi
Masoi penting terus dijaga kelestariannya karena memiliki prospek ekonomi yang sangat menjanjikan. Di pasar dalam negeri, minyak masoi dijual dengan harga Rp 121.000 per 10 mililiter. Jika dibandingkan dengan pasar dunia, harga minyak masoi melambung tinggi.
Untuk ukuran yang sama, per 10 mililiter, harga jual minyak masoi bisa mencapai 38,41 euro atau sekitar Rp 657.000. Harga tersebut belum termasuk ongkos kirim dari Perancis sekitar Rp 685.000. Jika seluruhnya ditotal, harga minyak masoi mencapai Rp 1,3 juta.
Selama ini, minyak masoi diekspor ke Eropa, Amerika, Jepang, India, dan China. Kemudian, perusahaan-perusahaan luar negeri memanfaatkan minyak itu sebagai bahan baku industri kosmetik dan obat-obatan.
Ini tentu menjadi ironi. Sebab, sebenarnya Papua Barat, khususnya Fakfak bisa berdikari dengan masoi. Bagaimana tidak, bahan baku sudah berasal dari Papua sendiri. Tempat penyulingan juga sempat muncul di beberapa daerah di Papua. Namun, sayang, saat ini kebanyakan tempat tidak bisa hidup lagi karena kekurangan bahan baku. Ini merupakan dampak dari pemanenan masoi yang ekstraktif.
“Sekarang, penadah langsung mengirim ke Surabaya, lalu diekspor,” kata Pudja.
Padahal, jika ekosistem produksi minyak masoi itu terpusat di Papua, maka nilai tambah itu akan dinikmati oleh Papua. Itu sekaligus bisa mengembangkan ekonomi masyarakat Papua. Tentu, upaya itu juga harus dibarengi dengan budidaya masoi.
Pudja melihat, tantangannya saat ini adalah menggencarkan sosialisasi, serta pendidikan dan pelatihan (diklat) mengenai pemanfaatan masoi bagi masyarakat Papua. Tantangan yang lain, lanjutnya, ialah meyakinkan pemerintah daerah. Sebab, hingga saat ini, tidak jelas instansi mana yang fokus mengurusi masoi. Jika melihat keberadaan masoi, itu masuk dinas kehutanan. Jika ditanam, masuk di dinas perkebunan. Sedangkan, jika sudah disuling, masuk di dinas perindustrian.
“Kalau pala, kan, sudah jelas, diurus oleh dinas perkebunan. Kalau masoi ini belum ada tempatnya. Ini yang mungkin menjadi alasan masoi belum tergarap dengan serius. Padahal, istilahnya, masoi ini ‘pohon tabungan’,” kata Pudja.
Sementara itu, Bupati Fakfak Untung Tamsil mengakui komoditas masoi belum tergarap secara optimal di Fakfak. Sampai saat ini, ia pun belum mendapat laporan detail terkait tanaman itu dari Dinas Perkebunan Fakfak.
“Ini jadi masukan bagi kami untuk kemudian bisa kami galakkan lagi,” ujar Untung, yang saat diwawancara baru menjabat sebagai bupati selama tiga bulan setelah terpilih dari hasil pemilihan kepala daerah 2020 lalu.
Secara konkret, Untung akan meminta Dinas Perkebunan Fakfak agar memiliki strategi baru dalam pemanfaatan komoditas masoi yang sebenarnya memiliki nilai ekonomi sangat tinggi, selain pala. Sebagai suatu hal yang baru, lanjutnya, sosialisasi kepada masyarakat tentu harus juga mulai digencarkan agar mereka lebih memahami persoalan masoi. Ia pun berharap, sosialisasi tak hanya datang dari pemerintah, tetapi juga dibantu atau berkolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat.
Berbagai upaya perlu dilakukan agar wangi masoi bisa kembali semerbak menguar di Fakfak, bahkan Papua dan Indonesia. Jangan sampai kita menjadi anomsia atau tak dapat membau lagi wangi potensi ekonomi lokal yang jelas ada di depan hidung. (Denty Piawai Nastitie/Nikolaus Harbowo)