Bersamaan dengan bangkitnya gairah ngopi di mana-mana saat ini, beragam inovasi pun hadir, termasuk mesin-mesin kopi buatan lokal. Soal kualitas boleh diadu, tetapi penetrasinya tenggelam di antara beragam merek impor.

Johny Rahadi awalnya tak mengira mesin sangrai biji kopi buatannya dilirik seorang pemilik kedai asal Florida, Amerika Serikat. Saat itu, Johny baru selesai membuat mesin dari serangkaian uji coba selama tiga tahun. Mesin sangrai pertamanya dibangun dari bahan kaleng susu. Belum sempurna hasilnya, lalu diperbaiki dengan membangun mesin baru. Begitulah terus, hingga lahir mesin sangrai terbaru.

Saat kopi yang telah disangrai itu diseduh bersama, si pemilik kedai terkesima. Cita rasanya begitu istimewa. Tentulah itu tak lepas dari kesempurnaan hasil penyangraian.

Saat itu juga, mesin sangrai buatannya ditawar hampir Rp 100 juta. “Saya sempat kaget ditawar sebesar itu. Besoknya, sebuah kontainer datang untuk mengangkut mesin sangrai dikirim ke Florida,” ujarnya, mengenang kisahnya belasan tahun silam, Senin (14/5/2018). Mesin sangrai dari bengkelnya di Jakarta Barat dan Parung itu dilabeli ”Uncle John”.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Johny Rahadi, pemilik Kopikohlie.

Mesin itu memang tidak secantik penampilan pabrikan mesin sangrai impor. Tampilan luarnya tak mulus. “Memang kalau soal looking-nya belum bagus. Itu saya akui kalah karena di Indonesia ornamen-ornamen mesin kalah lengkap,” ujarnya. Namun, kalau bicara soal fungsi dan tahan bantingnya, lanjut Johnny, mesinnya boleh diadu dengan yang termahal buatan Jerman sekalipun.

Johny sempat terkendala sulitnya mendapatkan komponen mesin di pasar lokal sehingga ia harus mengimpor beragam komponen dari Taiwan. Biaya produksi kian mencekik karena terbebani bea impor yang bertambah tinggi.

Ketika mesin sangrainya dilirik Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, hingga negara-negara di Eropa, sejumlah kebijakan pemerintah dirasa masih cenderung menghambat. Kebijakan itu mulai dari aturan perizinan dalam negeri dan pengurusan ekspor hingga proteksi dari negara pengimpor.

Permodalan lemah

Di Pagar Alam Selatan, Sumatera Selatan, usaha produksi mesin pengupas kulit tanduk kopi kering telah bertumbuh hampir seabad lamanya. Namun, jangan bayangkan perekonomian mapan terbangun di sana. Persoalan modal masih menjadi kendala.

Para perajin kerap sulit membeli bahan baku. Ketika pesanan cukup banyak, tak ada cara selain meminjam uang ke bank. “Belum ada bantuan dari pemerintah daerah untuk pengembangan usaha ini,” ujarnya.

Arpani, pemilik bengkel mesin kupas kopi Utama Karya, mengaku selalu bingung tiap kali pesanan besar masuk. Komposisi biaya modal untuk memproduksi satu unit mesin sekitar 60 persen. Ambil contoh untuk huller berukuran 5 PK seharga Rp 4,2 juta, modal untuk membeli mesin, komponen, dan upah pekerja hampir Rp 3 juta per unit. Jika ada pesanan 10 unit, ia harus siap dengan modal Rp 30 juta.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Petani mengupas buah kopi menggunakan mesin giling sederhana di Desa Gajah, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Jumat (15/12/2017).

Pernah Arpani mendapatkan pesanan untuk memproduksi 100-an unit mesin guna memasok wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pesanan itu sangat menggiurkan. Masalahnya, modalnya tidak cukup. Ia pun mengajukan pinjaman perbankan, tetapi prosesnya tidak mudah. Bunga yang dikenakan cukup membebani.

Keterbatasan modal kerap memaksa perajin menghalalkan beragam cara. Ada yang mencari bahan baku lebih murah. Hasilnya tentulah kurang berkualitas. Tak jarang didapati pelat, siku, atau onderdil lain rusak dalam hitungan satu atau dua tahun.

Masalah lain, pemesanan mesin sering kali dibungkus dengan klaim merek. Barang dibuat perajin setempat, tapi mereknya memakai milik si pemesan. “Jadi, produk buatan kami diklaim sebagai buatan mereka,” ujarnya.

Dia tidak bisa menuntut. Sebab, selain karena kekurangan modal, Arpani juga belum mematenkan barang ciptaannya tersebut. Pengurusan hak paten, lanjutnya, tidaklah mudah.

Lurah Besemah Serasan Verizal mengakui, pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong pelaku usaha mengembangkan usaha. Walau keberadaan bengkel huller cukup memberikan dampak ekonomi bagi daerah yang ia pimpin, pengembangannya sulit dilakukan. Sejumlah gagasan pernah muncul, antara lain melibatkan perusahaan besar untuk menyalurkan bantuan modal tanpa bunga, istilahnya skema Bapak Asuh. Namun, harapan itu belum terwujud hingga kini.

Pemilik bengkel huller CV Karya Pagar Alam, Muladto, menambahkan, sejumlah perajin juga tak matang soal pemahaman pasar. Pasar yang dijajaki masih berkutat pada tiga provinsi, yakni Bengkulu, Sumsel, dan Lampung. Padahal, potensi sebenarnya masih sangat luas ke wilayah Sumatera bagian utara hingga Jawa.

Sayap inovasi

Walau demikian, sayap-sayap inovasi mulai mewarnai pasar mesin kopi dalam negeri. Di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka), tercipta sedikitnya 300 jenis mesin. Sebagian besar berupa mesin sangrai yang dibanderol berharga murah.

KOMPAS/ HENDRA A SETYAWAN

Aktivitas pembuatan alat dan mesin pengolah kopi di bengkel Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka), Jember, Jawa Timur, Kamis (11/1/2018). Alat dan mesin itu dibuat berdasarkan pesanan pengusaha yang bergerak pada bisnis kopi skala kecil hingga besar.

Mesin sangrai digital berkapasitas 1 kilogram hanya dibanderol Rp 21 juta. Bandingkan dengan kemampuan setara merek impor asal Jerman yang harganya Rp 100 juta. “Dengan harga yang jauh lebih murah, kami jamin kualitasnya tidak murahan. Lagi pula, dalam pembuatan kami melibatkan para peneliti,” tutur Kaswanto, penanggung jawab alat mesin Puslitkoka.

Kaswanto menjamin setiap produk yang selesai dibangun akan menjalani beragam uji coba. “Mulai dari uji fisik hingga uji cita rasa,” kata Kaswanto. Jika lolos, produk-produk tersebut dapat dilepas ke pasar. Jika tak lolos, mesin harus diperbaiki.

Inovasi-inovasi itu berkembang seiring dengan berkembangnya pasar kopi. Berdasarkan Buku Arah Kebijakan Kopi Indonesia Menghadapi Tantangan Kompetisi, Perubahan Iklim dan Kondisi Kopi Dunia, yang diterbitkan Kementerian Koordinator Perekonomian, tingkat konsumsi kopi per kapita di Indonesia pada 2017 mencapai 1,05 kg per kapita. Konsumsi kopi akan terus tumbuh seiring dengan bertambahnya penduduk dan berkembangnya tren ngopi. Prediksinya akan mencapai angka 1,48 kg per kapita pada 2023.

Jumlah kedai kopi kini sudah 5.338 kedai dan akan meningkat jadi 6.491 kedai pada 2019. Pada 2025 diprediksi akan terus tumbuh menjadi 11.671 kedai, bahkan lebih banyak lagi. Pertumbuhan itu memberikan efek pengganda (multiplier effect) bagi sektor kopi karena konsumsi kopi akan naik.

Melihat potensi pasar kopi konsumsi yang luas itu, penggunaan mesin kopi pun diharapkan kian meningkat. Hanya saja ada sejumlah tantangan.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Aktivitas para pekerja yang sedang membuat mesin sangrai kopi di bengkel Kopikohlie di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta, Senin (14/5/2018).

Indonesia bukan satu-satunya negara yang memproduksi peralatan kopi murah. China adalah pesaing utamanya. Beberapa mesin dari sana pun mulai merambah Indonesia dengan harga tak kalah miring.

Di salah satu situs jual beli daring ternama, misalnya, harga mesin espresso manual asal China tak sampai Rp 5 juta. “Dengan harga semurah itu, kami bisa mendapatkan minuman espresso dan tak butuh modal banyak,” kata Dirman pemilik kedai kopi Angkring di Malang.

Kementerian Koordinator Perekonomian menawarkan penggalangan dana bagi pengembangan inovasi teknologi pengolahan sebagai solusi permodalan. Pemilik dana dan pihak yang membutuhkan bisa terhubung secara daring.

Layanan pinjam-meminjam berbasis teknologi itu sudah diatur Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016. Hal itu untuk memayungi penyelenggaraan bisnis yang sehat dan melindungi konsumen serta pelaku usaha. Namun, tentunya diperlukan juga pendampingan. Pelaku usaha kecil tentunya berharap dapat melesat lebih cepat.

Gelombang ketiga kopi di Indonesia selayaknya jadi momentum yang tepat. Sayap inovasi saatnya dibentangkan. Karya anak bangsa agar menjadi yang terdepan di negeri sendiri. (COK/GER/NIT/RAM/ITA)