Tanaman kopi subur yang menyelimuti dataran tinggi Toraja pernah memicu perang di Sulawesi Selatan pada tahun 1887. Perang itu melibatkan para pedagang kopi, bahkan menyeret keterlibatan sejumlah kerajaan. Perang itu juga menandai kejayaan dua nama besar kopi: Toraja dan Kalosi.

Perang berawal dari masuknya pedagang Luwu dan Sidenreng ke Toraja. Mereka datang untuk mencari kopi. ”Jejak-jejak perang itu bisa dilihat dari adanya masjid-masjid yang tersisa di beberapa wilayah Toraja Utara dan Tana Toraja,” kata Sulaiman Miting, salah satu tokoh adat Toraja. Leluhur Sulaiman pun terlibat dalam pertempuran-pertempuran itu.

Kopi juga digunakan Pong Tiku, pemimpin gerilyawan Toraja, untuk melawan Belanda. Caranya, menukar kopi dengan senjata. Dalam catatan Lontarak Enrekang, perang kopi terjadi pada 1887-1888, saat pedagang Kerajaan Luwu ingin memonopoli perdagangan kopi di Toraja. Ketika itu, para pedagang juga mulai masuk ke dataran tinggi Sa’dan.

Raja Makale Lasokbaik yang mengatasnamakan raja di Tallulembangna Toraja meminta bantuan Kerajaan Sidenreng dan Enrekang agar pedagang Luwu menghentikan monopoli kopi di Toraja. Sempat terhenti selama 10 tahun, pedagang yang dibantu pasukan Kerajaan Bone dipimpin Lamaddukelleng kembali masuk ke Toraja. Tujuannya, kembali memonopoli perdagangan kopi. Monopoli itu tidak hanya di Toraja, tapi juga Enrekang.

Para raja Tallulembangna Toraja kembali meminta bantuan Kerajaan Enrekang dan Sidenreng. La Tanro Arung Buttu, raja ke-14 Enrekang, akhirnya menemui pasukan Kerajaan Bone dan mengeluarkan maklumat bahwa mereka tak boleh melewati Bambapuang di Enrekang, Wajo, Sidenreng, ataupun Luwu dalam membawa kopi. Mereka hanya boleh melewati Pinrang. Maklumat ini akhirnya menjadi solusi dan dipatuhi. Perang kopi berakhir pada 1890 tanpa kemenangan mutlak salah satu pihak.

Perang membuktikan kopi dari Toraja dan Enrekang telah lama jadi komoditas dagang bernilai tinggi.

Dalam buku Sejarah Sosial Tana Toraja, Terance W Bigalke menulis, perang membuktikan kopi dari Toraja dan Enrekang telah lama jadi komoditas dagang bernilai tinggi. Namun, lanjut Sulaiman, berdasarkan keterangan para orang tua, sejarah kopi Sulawesi lebih dulu dimulai di wilayah Enrekang.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Buah kopi varietas typika (atas) dan kopi arabika varietas Jember (bawah) di Dusun Nating, Kecamatan Bungin, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018).

Sebelum kopi Toraja mendunia, pedagang Eropa lebih dulu mengenal nama kopi Bungin, yang diambil dari nama salah satu pelabuhan di Kerajaan Sidenreng. Adapun pada masa kolonial Belanda, merek dagang ekspor untuk kopi dari Sulawesi Selatan adalah Kalosi.

Kalosi merupakan nama sebuah pasar di wilayah Kabupaten Enrekang. Pasar itu strategis karena berada di tepi jalur utama akses Toraja-Makassar. Kini, Kalosi menjadi nama kelurahan di Kecamatan Alla, Enrekang.

Akibat letaknya yang strategis, dulu, pedagang kopi dari berbagai wilayah di Toraja dan Enrekang berkumpul di Pasar Kalosi. Di pasar ini, kopi dari berbagai wilayah diperdagangkan dengan nama Kalosi DP. Penambahan DP adalah singkatan dari dry processed.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Proses menyortir beras kopi Toraja, Sulawesi Selatan, Jumat (19/1/2018).

Pada masa itu, perdagangan kopi tidak hanya melibatkan Belanda, tetapi juga pedagang dari Pulau Jawa. Porselen, sutra, hingga perhiasan emas menjadi alat barter dengan kopi. Ketenaran Pasar Kalosi akhirnya membuat semua kopi yang diperdagangkan di tempat itu disebut dengan nama kopi Kalosi. Dan, kini nama Kalosi diabadikan sebagai nama indikasi geografis kopi Enrekang, yakni ”Kopi Kalosi Arabika Enrekang”.

Jejak Pasar Kalosi kini masih tersisa. Itu tampak dari rumah-rumah besar di tepi jalan utama. Rumah-rumah itu bahkan terlihat bergaya Belanda dengan material dari kayu dan dibangun dua lantai. Pintu serta jendelanya besar-besar. Rumah-rumah itu dulunya menjadi rumah para pedagang sekaligus gudang.

Selain itu, terdapat juga sisa menara masjid tua. Adapun di bekas tanah lapang tempat pedagang berjualan, kini dibangun masjid.

Sementara Pasar Kalosi telah dipindahkan dan kini berganti nama menjadi Pasar Suddu. Selain menjadi tempat berjualan berbagai barang dan komoditas, pasar ini tetap menjadi pusat perdagangan kopi.

KOMPAS/ AGUS SUSANTO

Lokasi Pasar Kalosi yang sudah bergeser dan berubah di Kelurahan Kalosi, Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Rabu (17/1/2018). Dalam foto peninggalan Belanda tahun 1920-1930, digambarkan terdapat sebuah pasar kopi di wilayah ini.

”Kalau hari pasar, banyak pedagang membawa kopi ke tempat saya. Biasanya sekitar pasar penuh karung-karung kopi, apalagi saat panen raya. Kopi dari sini biasanya dikirim ke beberapa eksportir di Toraja dan Makassar,” tutur Indo Maniang, salah satu pedagang besar di Pasar Suddu.

Gunung Latimojong

Merunut sejarah, biji kopi yang pertama ditanam di Pulau Sulawesi menyebar ke lereng-lereng Gunung Latimojong sekitar 1750. Ada yang menyebut kopi dibawa dari Arab oleh pedagang Gujarat. Ada juga yang meyakini kopi ditanam kolonial Belanda.

Latimojong merupakan gunung tertinggi di Sulawesi yang dering disebut ”teras Sulawesi”. Tingginya lebih dari 3.400 meter di atas permukaan laut (mdpl). Pegunungan ini membentang mulai dari wilayah Toraja, Enrekang, Luwu, hingga Mamasa di Sulawesi Barat. Pegunungan ini dikenal pula sebagai tanah purba karena menjadi bagian dari pulau tertua yang sejarah pembentukan geologinya berbeda. Topografi dan kondisi iklim pegunungan ini diyakini menjadi tempat yang baik bagi tumbuhnya kopi arabika.

Kopi arabika dibawa oleh orang Toraja atau Enrekang. Kopinya disebut Kaa atau Kahwa. Sementara kopi robusta mereka sebut dengan kopi Belanda karena benihnya dibawa Belanda.

Versi yang menyebutkan bahwa kopi dibawa dari Arab bisa ditelusuri dari penyebutan. Kopi arabika dibawa oleh orang Toraja atau Enrekang. Kopinya disebut Kaa atau Kahwa. Sementara kopi robusta mereka sebut dengan kopi Belanda karena benihnya dibawa Belanda.

Di Toraja, kebun-kebun kopi menghampar di dataran tinggi Sa’dan, Awan, Sapan, Pedamaran, hingga yang tertinggi di Pulu-Pulu. Sementara di Enrekang, kopi pertama kali ditanam di daerah Pojappung, Nating, Bungin, Buntu Sarong, Rampunan, Pekalobean, dan Benteng Alla Utara. Kebun-kebun kopi itu berada di ketinggian 1.000-2.000 mdpl.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Lanskap dari atas Tongkonan Lempe di Lolai, Lembang Benteng Mammullu, di Kecamatan Kapala Pitu, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Sabtu (20/1/2018).

Umumnya, kopi pertama yang ditanam di daerah Pegunungan Latimojong adalah jenis typika. Di Enrekang, pohon kopi typika yang berusia sekitar 300 tahun masih dapat dijumpai di Dusun Katabi dan Nating, Desa Sawitto, Kecamatan Bungin.

Kopi terus berkembang di Enrekang dan Toraja. Meski pada tahun 1900-an, tanaman di Pegunungan Latimojong diserang penyakit karat daun yang disebabkan cendawan Hemileia vastatrix. Serangan ini terjadi di hampir semua areal kopi di Enrekang dan Toraja.

”Sejak serangan itu, areal yang berada di ketinggian kurang dari 1.000 meter mulai ditanami jenis robusta. Selain lebih tahan hama, pemeliharaannya juga lebih mudah. Ini yang kemudian membuat banyak warga akhirnya menanam robusta. Namun, kopi typika di dataran tinggi sebagian tetap dipertahankan,” tutur Sutarjo Barrang, penyuluh pertanian di Dinas Pertanian Enrekang.

Sejak 1950-an, warga juga mulai menanam berbagai varietas baru kopi arabika dari Puslitkoka, Jember, Jawa Timur. Varietas-varietasnya terbukti lebih tahan karat daun, misalnya jenis Lini S, Kartika, USDA, dan Cattimor.

Sutarjo yang juga master trainer arabika mengatakan, masuknya varietas baru nyaris memusnahkan jenis typika. Namun, dinas pertanian mengajak warga kembali mengurusi typika. ”Di beberapa wilayah, seperti Nating, Katabi, dan Pojappong, di mana typika masih ada, kami mencoba memulihkan dengan cara, misalnya, menyambung pucuk dengan varietas arabika lain,” paparnya.

Indukan typika yang masih tersisa kembali dipelihara. Ada juga yang ditanam kembali dengan bibit dari indukan yang tersisa. Langkah itu diambil seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap kopi typika.

Kendala infrastruktur
Dalam perkembangannya, harga kopi yang naik turun dan permainan harga oleh tengkulak membuat banyak petani mulai meninggalkan kopi. Terlebih di daerah yang lokasinya di pelosok dan kaki gunung. Belum lagi persoalan iklim yang kerap menyebabkan panen raya kopi hanya berlangsung sekali dalam tiga atau empat tahun.

Di Dusun Nating, Bungin, Enrekang, misalnya, walau memiliki kopi berkualitas, jalan produksi dan jalan kampung kondisinya buruk. Komoditas tersebut akhirnya tak dianggap menjanjikan.

KOMPAS/ AGUS SUSANTO

Longsoran tanah dari perbukitan di jalan kampung penghubung dari kota Kecamatan Bungin menuju Dusun Nating, Desa Sawitto, Kecamatan Bungin, di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018). Jalan akses tersebut sering kali terputus jika hujan deras mengguyur.

”Lokasi panen di gunung. Jadi, membawanya ke kota kecamatan juga sulit karena kampung kami hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Jika hujan, jalan sangat licin dan berlumpur. Belum lagi jika longsor di tebing-tebing pegunungan. Kerja kopi jadi berat,” ujar Hasmin, petani kopi setempat.

Dulu, punya kopi seperti punya emas. Sekarang, banyak kopi terbengkalai.

Bahkan, kopi mulai ditinggalkan. Mereka mulai beralih menanam tanaman semusim, seperti kentang, cabai, dan aneka sayuran. Bagi sebagian petani Toraja, masa kejayaan kopi sudah berlalu.

Ini, misalnya, dikatakan Sa’pi (77) petani kopi di wilayah To’kumila, Desa Tonga Riu, Kecamatan Takalar, Toraja Utara. Bagi Sa’pi, masa kejayaan kopi adalah saat 40-300 liter kopi beras harganya setara dengan satu kerbau.

Jangan heran apabila dia mengukur harga kopi dengan kerbau karena kerbau diagungkan di Toraja. Bagi masyarakat Toraja, uang yang sesungguhnya adalah kerbau. ”Sekarang, 1.000 liter belum bisa dapat satu kerbau. Dulu, punya kopi seperti punya emas. Sekarang, banyak kopi terbengkalai. Sekarang, saya masih punya kebun kopi, tapi saya tetap berjualan barang lain untuk keperluan sehari-hari,” katanya.

Bersaing

Kebun kopi yang letaknya jauh dan buruknya jalan-jalan kebun juga menjadi kendala sehingga Sa’pi dan banyak petani lain menelantarkan kebun kopi. Kalaupun banyak jalan kebun yang dibangun, sebagian besar sumbangan warga berasal dari pesta adat, misalnya rambu solo.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Warga menuntun kerbau yang akan disembelih dalam upacara pemakaman (rambu solo) di kawasan Buntao, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Jumat (29/12/2017).

Kembalinya pamor ngopi sebagai gaya hidup kaum urban meniupkan angin segar yang mendorong petani kembali bergairah. Setiap pemerintah daerah berlomba mengembangkan dan menjual kopinya. Bahkan, tak jarang terjadi saling klaim.

Bupati Tana Toraja Nicodemus Biringkanae mengatakan, kopi Toraja lebih dikenal di mancanegara. Bahkan, kopi bisa dijual dengan pariwisata yang juga jadi andalan daerah. “Siapa tak kenal kopi Toraja. Jika digabungkan dengan pariwisata, tentu akan jadi kemasan ekonomi yang dahsyat,” ucapnya.

Jika digabungkan dengan pariwisata, tentu akan jadi kemasan ekonomi yang dahsyat.

Wilayah tetangga Enrekang tak mau kalah. Para pelaku bisnis kopi, didukung pemerintah kabupaten, tengah bergerilya mengembalikan kejayaan kopi Kalosi, apalagi merasa selama ini tenggelam di bawah bayang-bayang kopi Toraja. “Padahal, perusahaan besar di Toraja pun mengambil kopi dari sini (Enrekang),” ujar Rahim Razak, pegiat kopi di Enrekang.

Dalam bentuk yang lebih positif, hingga kini, perang kopi masih terjadi di tanah Sulawesi. Namun, perang diharapkan menjadi penyemangat untuk peningkatan kualitas produk. Jika kopi maju, itu akan bermuara pada kesejahteraan petani. (RENY SRI AYU/GREGORIUS M FINESSO)