Nusantara pernah menjadi pemasok terbesar kopi di abad ke-18. Namun, kini di abad modern, negeri ini kalah jauh dari Vietnam, bahkan Brasil. Penyebab minimnya produktivitas terlihat jelas di hulu. Di penjuru Tanah Air, kebun-kebun kopi tak terawat, kemampuan petani minim, dan regenerasi petani kurang. Perlu gerakan bersama agar kopi Indonesia bisa kembali menguasai dunia.

Sepuluh tahun lamanya, ribuan hektar kebun kopi di Lembah Baliem telantar. Buah kopi terbuang sia-sia. Tidak dipanen seperti yang menghampar di tanah adat Kurulu, Kabupaten Jayawijaya, Papua.

”Tarada (tidak ada) yang merawat kopinya,” ujar Hubertus Mariam, Ketua Kelompok Tani Kurulu, Maret 2018.

Sebagian besar petani meninggalkan tanaman kopi, berganti tanam petatas alias ubi. Petatas dianggap lebih menguntungkan. Setelah dipanen, langsung dijual ke pasar. Harganya Rp 50.000 per noken (10 kilogram/kg). Uang pun terbilang cepat dan mudah didapat.

Berbeda dengan ubi, setiap kali dipanen, kopi harus dipetik satu per satu karena hanya buah merah yang boleh diambil. Sebelum dijual, petani pun harus menjalani rangkaian pengolahan, mulai dari pengupasan, pencucian, penjemuran, penggilingan, hingga penyortiran. Di Papua, proses ini membutuhkan tenaga besar. Saat ini petani yang terjun hanyalah petani lama, bukan petani muda.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Suasana kehidupan sehari-hari penduduk di Kampung Modio, Distrik Mapiha Tengah, Kabupaten Dogiyai, Papua. Selain berladang, mereka juga berkebun dengan tanaman utama kopi.

Data Dinas Pertanian Kabupaten Jayawijaya menyebutkan, lebih 60 persen dari 1.910 hektar kebun kopi di daerah itu tidak berproduksi. Di hamparan kebun yang produktif pun, produktivitas tanaman rendah.

”Hanya menghasilkan rata-rata 600 kilogram biji beras (greenbean) per hektar per tahun,” kata Hendri Tetelepta, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Jaya Wijaya, Maret 2018.

Di Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai, Papua, petani pun sulit mendapatkan tenaga kerja. Generasi muda lebih memilih ke kota dan bekerja dibandingkan tinggal di desa mengurus kebun kopi. Kebun kopi milik Geraldus Agapa (65) di Ugapuga, Dogiyai, adalah salah satunya. Kebunnya ditumbuhi semak tinggi. Saat komoditas kopi sedang naik daun, Geraldus yang sudah berusia senja tak sanggup lagi membenahi kebunnya.

Dari 9.400 hektar lahan kopi yang tersebar di Jayawijaya, Tolikara, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai, hanya 50 persen yang produktif. “Lainnya memerlukan revitalisasi karena jarang mendapatkan perawatan,” lanjut Laduani Ladamay, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua.

Tak hanya di Papua, kondisi serupa menyebar di hampir seluruh sentra tanam kopi Nusantara. Mulai dari Sumatera Utara, Jambi, Lampung, Sulawesi Selatan, hingga Nusa Tenggara Timur.

Di Toraja, sebagian petani bahkan berpendapat, tanaman kopi adalah tumbuhan yang sekalipun didiamkan, bakal tetap berbuah. “Tanaman dibiarkan tumbuh liar hingga tinggi. Pemangkasan tidak pernah dilakukan,” ucap Sulaeman Miting, pemilik kafe yang mendampingi petani di Tana Toraja.

Lemahnya praktik budidaya yang benar menyebabkan tanaman cepat tua. Produksi kopi arabika Kabupaten Toraja Utara kini terus menurun. Tahun 2013, produksi mencapai 2.060 ton. Pada 2014, turun menjadi 2.022 ton. Adapun tahun 2016, produksinya susut menjadi 1.942 ton.

KOMPAS/ AGUS SUSANTO

Tanaman kopi tumbuh subur di sekitar kuburan batu di kompleks pemakaman Lo’ko Mata di Lembang Tonga Riu, Lo’ko Mata, di Kecamatan Sesean Suloara’, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Sabtu (20/1/2018).

Petani di Enrekang, Sulawesi Selatan, pun dengan mudah bisa mengganti pohon kopi dengan komoditas lain jika terdesak kebutuhan, apalagi jika produksi kopi di kebun terus turun. ”Dari tahun ke tahun, produksi terus turun. Sepuluh tahun lalu, 1 hektar bisa menghasilkan 5 ton kopi, sekarang paling-paling 1,5 ton,” ujar Hasmin (48), petani kopi di Dusun Nating, Kecamatan Bungin, Enrekang.

Di Lampung, petani kopi juga dihadapkan pada persoalan produksi kopi yang tidak optimal. Selain faktor cuaca buruk, kondisi itu terjadi karena usia pohon kopi di Lampung sudah terlalu tua.

Di Kabupaten Tanggamus, Lampung, misalnya, sekitar 43.000 hektar lahan kopi juga tidak produktif. Usia pohon kopi lebih dari 25 tahun sehingga produktivitasnya berkurang 30 persen.

Perkebunan rakyat

Mengoptimalkan hulu menjadi tantangan Indonesia. Seperti diketahui, sebanyak 96 persen kebun kopi di Tanah Air adalah kebun kopi rakyat yang dikelola sekitar 2 juta petani. Hampir semua petani tak menerapkan pola tanam baik karena kekurangan modal, tenaga, dan ilmu.

Hasilnya, dengan luasan yang hampir sama dengan Vietnam, Indonesia hanya bisa memproduksi sekitar 0,72 ton per hektar. Hasil kopi Vietnam bisa mencapai dua kali lipat dan Brasil lebih dari tiga kali lipat.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Petani membersihkan lumut yang merambat pohon kopi varietas Typica di Dusun Nating, Kecamatan Bungin, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018). Kopi Arabika Typica telah tumbuh, dihibridisasi, dan disempurnakan selama berabad-abad. Kopi ini merupakan sesepuh dari semua varietas kopi.

Berharap transfer ilmu dari penyuluh pun sulit karena tenaga penyuluh tak tersedia banyak di daerah. Kalaupun ada, penyuluh akan memprioritaskan diri ke tanaman pangan, seperti padi, bawang merah, atau cabai.

“Jika dulu, saat di daerah ada dinas perkebunan, kopi bisa diurus satu bagian sendiri, kini setelah digabung dengan pertanian prioritas jadi beda,” kata Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang.

Padahal, lanjut Bambang, selama ini nilai ekspor pertanian didominasi produk perkebunan dengan persentase 96,36 persen atau 31,8 miliar dollar AS. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ekspor pangan, peternakan, dan hortikultura yang hanya 1,2 miliar dollar AS.

Dari sisi lingkungan, kopi pun bisa lebih diterima. Perkebunan kopi jika dipraktikkan dengan benar bisa menjadi bagian dari penghijauan kawasan gundul.

Kementerian Pertanian lewat Direktorat Jenderal Perkebunan mencatat, jika produktivitas kopi bisa mencapai 3 ton per hektar, potensi nilai produksi kopi bisa mencapai Rp 55,6 triliun atau bertambah sebanyak Rp 42 triliun. Angka ini bisa menyalip komoditas unggulan lain, seperti karet, dengan catatan angka produktivitas karet tak bertambah. Saat ini karet menghasilkan Rp 39,9 triliun dengan nilai potensi mencapai Rp 57 triliun.

Dari sisi lingkungan, kopi pun bisa lebih diterima. Perkebunan kopi jika dipraktikkan dengan benar bisa menjadi bagian dari penghijauan kawasan gundul. Naungan pohon tinggi bahkan dibutuhkan agar pohon kopi bisa berusia lebih panjang.

Dengan berbagai pertimbangan keuntungan tersebut, pemerintah mulai mengupayakan pembenahan. Pembenahan dilakukan mulai dari revitalisasi tanaman, intensifikasi, peremajaan, hingga perluasan lahan seluas total 16.400 hektar. Anggarannya sebesar Rp 84,2 miliar.

“Daerah-daerah diberi kesempatan untuk mengusulkan areal tanamnya. Kami siapkan bibit yang unggul dan pupuk bagi petani,” ujar Bambang.

KOMPAS/ AGUS SUSANTO

Kebun kopi PT Toarco Jaya di Padamaran, Kecamatan Buntao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Kamis (18/1/2018).

Menurut Bambang, keseriusan pembenahan hulu kopi memerlukan dukungan dan komitmen pendanaan. Sesuai peta jalan (roadmap) kopi nasional, pada 2045, Indonesia ditargetkan menjadi produsen terbesar kopi di dunia. Produktivitas kopi bahkan dalam tiga tahun ke depan bisa didongkrak menjadi dua atau tiga kali lipat. “Namun, ini butuh dukungan semua pihak,” lanjutnya.

Di luar pemerintah, sejumlah lembaga dan komunitas kini bergerak mandiri untuk membenahi hulu. Selain untuk mendapatkan pasokan kopi stabil dan kualitas bagus, mereka juga ingin berkontribusi membantu petani. Pendampingan itu antara lain dilakukan Aliansi Petani Indonesia, Sustainable Coffee Platform Indonesia (SCOPI), Yayasan Ayo Indonesia, dan komunitas-komunitas pencinta kopi dari berbagai latar belakang.

Pembenahan dilakukan salah satunya dengan mengajari petani berbudidaya kopi dengan benar, seperti pemangkasan pucuk atau ranting serta pemupukan organik dengan membuat drainase di sekitar pohon. Mereka ikut pula mengajari petani dalam hal pascapanen, mulai dari petik merah hingga penjemuran.

Mereka juga menyediakan pasar dan membeli produk petani dengan harga yang lebih baik agar petani tetap tertarik menanam kopi. ”Petani akan mau menanam dan merawat kopi jika nilai ekonomisnya tinggi. Itulah yang kami dorong,” kata Veronika Herlina, Direktur Eksekutif SCOPI.

Hulu bisa menjadi titik awal gerakan bersama memajukan kopi nasional. Jika berbagai upaya dilakukan dengan baik, Indonesia bisa mendapatkan lagi panggung kopi dunia. (VDL/REN/GRE/ERN/CHE/VIO/NSA/FLO/NIT/ITA)