Sebelum tahun 1863 yang menandai era perkebunan di Sumatera Utara (dulu Sumatera Timur), tidak satu pun referensi menulis tentang komoditas kopi. Namun, catatan William Marsden, pejabat perusahaan Hindia Timur Britania, mengungkap bahwa kopi telah ditanam di wilayah itu jauh sebelumnya. Spesiesnya sama dengan yang dibudidayakan di Arab.

Dalam penyelidikannya di Sumatera tahun 1771, seabad sebelum budidaya kopi Sumatera berkembang, Marsden menyebut kopi telah umum ditanam masyarakat. Saat itu ia dapati kualitas buah kopinya buruk. Ia menduga hal itu disebabkan kurangnya keterampilan dalam pengelolaan.

Jarak tanaman terlalu dekat satu sama lain. Juga terlalu dibayangi oleh pohon lain sehingga matahari tidak bisa menyinari buahnya. Demikian ia tulis dalam buku berjudul The History of Sumatra yang terbit pertama kali tahun 1783.

Kopinya memiliki karakter kompleks, beraroma floral, dengan tingkat keasaman lembut hingga tinggi.

Temuan itu jauh berbeda dengan masa kini, ketika kualitas kopi asal Sumut dikenal begitu mendunia. Sebut saja kopi Mandheling yang sangat tersohor. Namanya mewakili identitas kopi asal Sumatera. Sampai-sampai dunia menyebut Sumatera adalah Mandheling.

KOMPAS/ IRMA TAMBUNAN

Petani kopi Lintong, Gani Silaban, menyeduh kopi di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, 13 Desember 2017.

Namun, tak kalah spesial pula kopi Lintong Ni Huta, Sidikalang, Sipirok, dan Simalungun. Semuanya mendunia karena memiliki cita rasa istimewa.

Dalam buku Kopi: Sejarah, Botani, Proses Produksi, Pengolahan, Produk Hilir, dan Sistem Kemitraan yang dikumpulkan dari hasil penelitian tim Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka), disebutkan dengan sortasi biji yang baik menghasilkan cita rasa kopi yang ditanam di sekeliling Danau Toba itu spesial. Bahkan melampaui cita rasa kopi spesial pada umumnya.

Kopinya memiliki karakter kompleks, beraroma floral, dengan tingkat keasaman lembut hingga tinggi. Cita rasanya berimbang. Karakter tambahannya cenderung earthy, grassy, dan yang paling unik adalah kesan spicy yang mengacu pada andaliman, bumbu rempah khas setempat.

Cita rasa itu paling kentara dirasakan pada kopi Lintong yang dihasilkan dari lereng-lereng Pegunungan Pinapah dan Sihab, sebelah selatan Danau Toba. Kawasan itu memiliki curah hujan tinggi.

Adapun kopi Mandheling ditanam pada dataran tinggi yang memiliki curah hujan sedang hingga tinggi.

Buah kopi di kebun rakyat di Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Rabu (13/12/2017). Perubahan iklim berdampak pada minimnya pasokan biji kopi dari sejumlah daerah di Sumatera Utara saat ini yang seharusnya masih dalam masa panen.

Penanaman awal

Kopi menjadi komoditas perkebunan di Sumatera Timur tahun 1878. Penanamannya menyebar di daerah Serdang Hulu seperti di Pertumbukan dan perbatasan Simalungun. Disebutkan dalam sebuah catatan, Sultan Serdang memiliki tanaman kopi di Pertumbukan di Serdang Hulu. Namun, tanaman itu musnah tahun 1883 karena serangan penyakit.

Budidaya kopi baru berhasil tahun 1890 sejalan dengan krisis tembakau di sana. ”Disebut bahwa budidaya kopi berhasil dikembangkan di Serdang Hulu yang dikembangkan oleh ahli tanam bernama Giovanni,” ujar Erond Damanik, peneliti di Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, awal April lalu.

Perkebunan kopi dibangun pula di Bandar Baru Sibolangit yang berbatasan dengan dataran tinggi Karo, tahun 1899. Hingga tahun 1922, sebagaimana diberitakan koran Pewarta Deli,17 Maret 1922, perkebunan kopi di Bandar Baru masih eksis.

Ekonomi pun tumbuh pesat sejak berkembangnya budidaya kopi di sekitar Barus Hulu di tanah Pakpak serta dataran tinggi Toba di kawasan Humbang.

Bibit kopi berusia 1 bulan yang dikembangkan oleh Serba Usaha Petani Organik Mandiri di Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Rabu (13/12/2017). Bibit itu diharapkan dapat digunakan untuk peremajaan pohon-pohon kopi di kawasan tersebut.

Dalam bukunya, Kisah dari Deli: Historitas, Pluraritas, dan Modernitas, 2006, Erond menyebutkan, komoditas kopi mulai ditanam di dataran tinggi Pakpak Dairi sejak 1935, yakni di Sidikalang. Pada era kolonial, kopi adalah satu-satunya komoditas yang dikembangkan di dataran tinggi Toba, Pakpak Dairi, dan Gayo sejalan dengan ciri-ciri geografis dan topografisnya.

Jenis kopi yang ditanam adalah arabika dan liberika pada ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut. Kedua jenis kopi ini dikembangkan di Serdang Hulu dan menjalar hingga daerah lain, mulai dari Humbang, Sidikalang, hingga Gayo.

Namun, sejak tahun 1900, kedua jenis kopi itu mengalami stagnasi karena lebih mudah diserang penyakit karat daun. Oleh karena itu, Belanda memperkenalkan jenis kopi lain, yakni kopi robusta (Coffea canephora) yang lebih tahan terhadap penyakit karat daun dan memerlukan syarat tumbuh serta pemeliharaan yang lebih ringan.

Kini, sepanjang dataran tinggi sekeliling Toba, arabika kembali marak ditanam. Banyak terlihat warga membawa hasil panen kopi, seperti Lasma Sitinjak (45), petani kopi dari Desa Parulohan, Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Humbang Hasundutan, yang membawa goni berisi gabah kopi arabika ke Pasar Siborong-Borong, Kabupaten Tapanuli Utara, akhir Desember 2017.

”Minggu ini saya jual 20 kilogram gabah kopi. Walau hasil panen sedang turun, tetapi lumayan bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Lasma.

Sigararutang

Pakar pertanian dari Universitas Sumatera Utara, Zulkifli Nasution, mengatakan, masih baiknya kondisi daerah resapan air di sekeliling Toba menghasilkan kualitas dan volume hasil panen yang baik. Kopi yang berkembang di wilayah Sumut kebanyakan arabika varietas S795 dan keturunan Catimor seperti Sigararutang, yang memiliki ciri khas bodi kuat. Sigararutang menjadi andalan petani kopi di sekeliling Danau Toba. Sesuai namanya, Sigararutang berarti si pembayar utang.

Buah kopi yang baru dipetik di Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Rabu (13/12/2017).

Varietas ini menjadi favorit karena produksinya yang terbilang tinggi. Hampir sepanjang tahun kopi dapat dipanen. Termasuk di luar masa panen raya, tanaman kopi tetap menghasilkan walaupun volumenya lebih sedikit. Akhirnya, Sigararutang menjadi kopi si pembayar utang, sekaligus menjamin pendidikan anak-anak petani di sekitar Danau Toba.

Lasma menceritakan, petani turun-temurun mengusahakan kopi Sigararutang. Hampir sepanjang tahun kebun kopinya memberikan hasil yang menopang kehidupan keluarganya. ”Anak-anak saya bisa sekolah dari hasil menjual kopi Sigararutang,” ujarnya.

Selain untuk membiayai sekolah, lanjut Lasma, hasil dari kopi Sigararutang sering sekali seperti namanya, yaitu untuk membayar utang. Saat panen raya, hasil dari kebun kopi yang melimpah bisa menutupi utang-utang sepanjang tahun. Lasma yang punya sekitar 2.000 batang tanaman kopi Sigararutang di lahan seluas 1 hektar dapat memanen 100 kilogram gabah kopi per minggu saat musim panen raya.

Musim panen raya dua kali setahun dan sekali panen raya dapat berlangsung dua hingga tiga bulan. Dengan harga gabah kopi Rp 25.000 per kilogram, Lasma bisa mendapat Rp 2,5 juta per pekan atau sekitar Rp 10 juta per bulan!

Menurut Lasma, hampir setiap petani di Lintong punya kebun kopi meskipun luas lahannya rata-rata di bawah 1 hektar. Petani mewariskan kebun kopi untuk anak-anaknya. Sebab, kebun itulah sumber pembiayaan kehidupan keluarga. (NIKSON SINAGA/AUFRIDA WISMI WARASTRI/IRMA TAMBUNAN)