Boleh jadi, secangkir kopi yang kita nikmati sekarang tak mudah dicecap oleh generasi mendatang. Biji kopi kian langka dan mahal seiring dengan menyusutnya luas kebun. Perubahan iklim mengancam masa depan kopi.
Para ahli telah memprediksi, kenaikan suhu permukaan Bumi dapat menimbulkan banyak masalah. Ketinggian tanam dari kopi, misalnya, kian bergeser ke atas. Akibatnya, lokasi sebagian kebun tak lagi tepat. Untuk arabika, tanaman kopi menuntut lokasi tanam yang lebih tinggi dan lebih sejuk.
Bagaimana jika lokasi tanaman kopi dipaksakan? Bukan hanya volume produksinya yang akan menyusut, serangan hama dan penyakit pun diprediksi mengganas.
Fenomena ini telah diamati Surip Mawardi dari Dewan Penasihat Kopi Spesialti Indonesia. Serangan hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei), ujarnya, makin mengganas di sejumlah sentra tanam di Sumatera. Kondisi ini terjadi dalam 10 tahun terakhir. Hama yang semula hanya bertahan hidup di bawah ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut kini beranjak naik.
Beberapa lokasi kebun bahkan diserang hama serupa menjelang ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut. “Itu berarti pemanasan Bumi memberi ruang pada makin parahnya serangan hama,” ucapnya di Berastagi, Sumatera Utara.
Hal yang tak kalah meresahkan, lanjutnya, adalah penyimpangan musim yang semakin tak menentu.
Penyimpangan musim terdeteksi sejak 2010. Penyimpangan itu mempertegas ancaman perubahan iklim yang kini dihadapi petani kopi. Kondisi itu terpantau pula oleh tim Jelajah Kopi saat menjelajahi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Flores, hingga Toraja selama beberapa bulan terakhir.
Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia Wilayah Sumatera Bagian Utara Saidul Alam, yang puluhan tahun bergelut dengan kopi, juga memperhatikan penurunan produktivitas kopi di kebun. Jika tahun 1990-an sebatang tanaman dapat menghasilkan 3-5 kg biji kopi, kini hanya 1 kg. “Penurunan produksi akibat perubahan iklim, diperparah minimnya perawatan tanaman,” katanya.
Sepanjang tahun 2017, produksi kopi arabika di kawasan Danau Toba hancur. Kehancuran terlihat mulai dari Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, hingga Karo. Akibatnya, sulit ditemukan biji-biji kopi yang biasanya menggunung dalam gudang-gudang penyimpanan.
Sebagian besar gudang pengumpul kopi juga kosong, termasuk di gudang PT Sumatera Specialty Coffees (SSC) di Siborong-Borong, Tapanuli Utara, yang merupakan salah satu pemasok kopi Starbucks. Jika biasanya produksi biji kopi di gudang itu 4.000-5.000 ton per bulan, tahun lalu turun menjadi hanya 1.000 ton. ”Ini masa-masa paling paceklik (kopi) sejak kami beroperasi tahun 2000,” kata Ahmad Supriyadi dari Humas PT SSC.
”Perubahan iklim ikut mengubah pola budidaya kopi di Toraja. Sepuluh tahun lalu, panen raya kopi bisa berlangsung hingga delapan minggu,” kata Sapi’ (77), petani di Lembang Tongariu, Kecamatan Batutumonga, Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Tiap empat tahun, biasanya memang ada siklus paceklik kopi. Namun belakangan, kondisinya semakin parah. Tahun 2005, satu batang pohon kopi masih bisa menghasilkan 1-2 liter gabah kopi di masa paceklik. Namun, tahun 2016, pohon kopi tak berbuah sama sekali.
Penyuluh pertanian Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Enrekang, Sutarjo, menilai perubahan cuaca yang kian ekstrem tidak menguntungkan untuk pembuahan kopi. “Pembungaan terjadi hanya sekali. Tapi begitu berbunga, cabang yang akan berproduksi justru patah,” ujarnya.
Kualitas fisik buah juga menurun. Dua puluh tahun lalu, biji kopi arabika Kalosi dari Enrekang berukuran hingga 7,5 milimeter, kini susut menjadi 4,5-5,5 milimeter. Volume panen menjadi berkurang. Tahun 2014, di Kecamatan Buntu Batu, panen kopi pernah mencapai 1.500 ton, tetapi pada tahun 2016 menjadi hanya 500 ton.
Kondisi serupa terjadi di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Gregorius Bawa (48), petani di Desa Wowowae, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, mengatakan, dari 1 hektar kebun, dirinya hanya bisa memanen 40 kilogram kopi olah kering. Itu jauh menurun dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 1 ton. “Cuaca makin sering berubah. Panas, hujan, panas, hujan. Tidak baik untuk pertumbuhan kopi,” lanjutnya.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Ngada Paskalis Wale Bai mengatakan, produktivitas kopi di sana 2-3 ton per. Namun, sejak muncul La Nina pada 2017, produktivitas turun menjadi 0,8 ton per hektar.
Bergeser naik
Kementerian Koordinator Perekonomian memprediksi lahan kopi arabika di Nusantara akan menyempit. Jika pada 2013 hampir seluruh kawasan yang mengelilingi Danau Toba cocok untuk kopi, tahun 2050 areal yang cocok ditanam kopi berkurang setengahnya.
Begitu pula di Aceh. Sebagian wilayah perkebunan kopi akan mengecil. Jika tahun 2013 ada 75-85 persen areal lahan yang cocok ditanami kopi, pada 2050 menjadi hanya 35-45 persen.
Cuaca ekstrem pun terjadi. Hujan merontokkan bunga dan buah kopi, sedangkan kekeringan memicu kematian tanaman muda.
Kondisi ini tidak hanya akan melanda Indonesia. Penasihat Kebijakan Menteri Koordinator Perekonomian Lin Che Wei mengatakan, hampir 50 persen lahan yang cocok untuk perkebunan kopi di dunia akan tereduksi pada 2050. Itu akibat peningkatan suhu.
Ini menjadi tantangan besar produsen kopi dunia di tengah meningkatnya konsumsi kopi. Kebutuhan kopi pada tahun ini diprediksi naik 4 kali lipat. Jika tak sanggup dipenuhi, krisis kopi bakal dihadapi.
Ancaman terbesar dialami jenis kopi arabika. Tanaman itu tumbuh dengan baik pada suhu 18-21 derajat celsius. Di atas itu, kualitas kopi akan menurun. Rasa kopi mungkin tak akan sama lagi.
Kekhawatiran serupa diungkapkan Misnawi, Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka). Penurunan produksi kopi yang terus-menerus bisa menempatkan Indonesia tak lagi sebagai pengekspor kopi, tetapi jadi pengimpor. Itu jika tidak dilakukan upaya khusus.
Adaptasi
Menurut Misnawi, mitigasi dan adaptasi diperlukan untuk mengakali dampak perubahan iklim. Salah satunya, menciptakan bibit kopi yang ramah bencana. Puslitkoka belum lama ini mengeluarkan bibit akar super yang disebut-sebut adaptif sekaligus tahan hama.
Ia juga menganjurkan konsep budidaya agroforestri yang membaurkan tanaman kopi dan penaung. Hal lain yang juga penting adalah perawatan intensif tanaman.
Praktik agrikultur yang baik diyakini dapat mempertahankan perkebunan kopi. Ini dilakukan dengan pemupukan dan pengairan yang baik serta pemilihan bibit unggul. Penanaman kopi dapat pula memanfaatkan lahan hutan produksi. Hal itu sudah berlangsung di sejumlah tempat, termasuk di Bondowoso, Jawa Timur.
Tahun ini, juga ada sekitar 14.000 hektar kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan untuk area kopi baru. Sistem inilah yang paling mungkin dilakukan karena kopi bisa tumbuh baik di ketinggian yang cocok. Kehadiran penaung bahkan baik bagi pohon kopi. Pohon kopi justru lebih rentan terkena penyakit jika berada di area terbuka.
Dalam peta jalan kopi, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian juga mengantisipasi perubahan iklim. Senada dengan Puslitkoka, langkah yang diambil dengan memanfaatkan varietas kopi yang resisten bencana.
Petani juga disarankan memangkas dan mencangkok agar hasil panen kopi tak menurun. Selain itu, dibutuhkan pencegahan hama, peningkatan dan pengolahan air dan tanah, pemupukan, serta penerapan jarak tanam. Dengan demikian, produktivitas kopi terjaga.
Hadi Daryanto, Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menambahkan, sifat pohon kopi yang butuh naungan membuat kopi bisa lebih ramah lingkungan. Naungan menghindari gugur bunga dan buah saat hujan lebat yang terjadi akibat cuaca ekstrem.
Naungan juga mencegah embun beku yang biasa terjadi di daerah dataran tinggi. “Jika strategi bisa dilakukan saat ini, tak perlu khawatir akan produksi kopi ke depan,” katanya. (REN/VDL/GRE/NSA/WSI/NIT/ITA)