Berawal dari sekadar kongko-kongko, rumah kopi di Ambon menjelma menjadi ruang rekonsiliasi konflik bernuansa agama. Kini, aroma kopi menarik kaum milenial untuk terjun menggelutinya.

Uap mengantar aroma kopi ke seisi ruang saat Ine Inge Sitania (25) menuangkan air panas bercampur bubuk kopi ke dalam cangkir. Sebagian dari belasan pria di dalam ruang berukuran 7 meter x 5 meter itu sedang menyeruput kopi dan yang lain menanti diantar.

Dalam kelompok yang terdiri atas 3-4 orang tiap meja itu, terdengar obrolan beragam tema. Sejak dibuka pukul 07.00 WIT, rumah kopi bernama Manise Coffee itu selalu diisi dengan pengunjung, mulai dari pegawai kantoran, guru, aktivis, politisi, hingga penjual koran keliling. Banyaknya pengunjung terkadang membuat mereka harus menutup orderan pukul 20.30 WIT atau molor hingga satu jam.

Ine bersama kembarannya, Inge Ine Sitania, memilih bisnis rumah kopi setelah mereka menamatkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura, Ambon, tahun 2014. Bagi mereka, bisnis rumah kopi di Kota Ambon cukup menjanjikan. Dengan modal dari orangtua, mereka menyewa bangunan yang berdiri di Jalan Ahmad Yani itu.

Kompas/Fransiskus Pati Herin

Albertina Maromon (47), peracik kopi di Rumah Kopi Trikora, Kota Ambon, Maluku, menyiapkan kopi untuk pengunjung pada Jumat (15/12/2017). Rumah Kopi Trikora dijuluki ”rumah kopi rekonsiliasi” karena dari situlah mulai terbangun rekonsiliasi antara umat Islam dan Kristen yang terlibat konflik belasan tahun silam.

Letak rumah kopi itu dianggap strategis karena dekat lokasi perkantoran, sekolah, dan tempat transit warga dari beberapa jalur angkutan kota. Dalam satu hari, mereka dapat meraup penghasilan paling banyak Rp 3 juta dan paling sedikit Rp 1 juta. Sejak berdiri pada Agustus 2016, mereka mempekerjakan empat orang sesuai upah minimum, sekitar Rp 2,1 juta per bulan per orang.

Sajian kopi yang ditawarkan adalah kopi susu seharga Rp 15.000 per cangkir dan kopi gula Rp 13.000. Selain itu juga aneka makan ringan.

“Banyak yang suka racikan dan suasana di sini. Jadi, meskipun sudah pindah ke kantor yang jauh, mereka pasti akan datang ke sini lagi,” kata Inge.

Di rumah kopi itu tersedia televisi dan Wi-Fi gratis. Ine belajar meracik kopi dari Joas Layan, barista kenamaan Ambon yang telah melahirkan banyak peracik. Merasa masih kurang ilmu, Ine kemudian ikut kursus meracik kopi di Lamongan, Jawa Timur, selama satu minggu. Selain secara manual, kini ia sudah punya mesin espresso.

Ine mendapatkan kopi dari Pulau Seram, Maluku, dengan harga Rp 35.000 per kilogram. Namun, semua kopi itu umumnya tumbuh liar di kebun warga, bukan kopi yang dibudidayakan secara khusus. Jumlahnya pun tak banyak. Selebihnya diperoleh dari Sulawesi Selatan.

Peredam konflik

Pengamat sosial dari Universitas Pattimura, Josef A Ufi, berpendapat, tumbuhnya rumah kopi di Ambon itu untuk menjawab kegemaran masyarakat yang suka kongko-kongko. Rumah kopi biasa menjadi media untuk bertemu kerabat atau kenalan. “Itu didukung budaya kewel atau bacarita yang kuat dalam tatanan masyarakat Maluku,” ujarnya.

Rumah kopi juga dijadikan ruang politik berupa pewacanaan dan pembentukan opini.

Berkumpul di rumah kopi juga tidak lepas dari budaya peninggalan Belanda, ketika mereka kerap bertemu untuk minum di kafe. Budaya peninggalan itu kemudian berpadu dengan budaya kewel atau basa-basi. Rumah kopi menjadi salurannya. “Obrolan di rumah kopi itu seriusnya hanya sekitar 30 persen,” ujar Josef.

Rumah kopi juga dijadikan ruang politik berupa pewacanaan dan pembentukan opini. Banyak politisi di Maluku menjadikan rumah kopi sebagai area diskusi, bertemu konstituen, serta ruang unjuk kekuatan politik dan pawai diri. Hal itu sama seperti agora yang dikenal bangsa Yunani.

Kompas/Budi Suwarna

Arsip foto tahun 2010 ini memperlihatkan Rumah Kopi Reno, salah satu warung kopi favorit tempat warga Ambon nongkrong dan menyanyi.

Kekuatan perekat di rumah kopi itu kemudian menjadi media rekonsiliasi bagi warga yang bertikai kala konflik sosial bernuansa agama melanda Maluku belasan tahun silam. Sebut saja Rumah Kopi Trikora yang berdiri di perbatasan komunitas Islam dan Kristen. Di ruang bekas terbakar itulah, warga dan tokoh perdamaian kedua komunitas kerap bertemu.

Pintu masuk rumah kopi yang berdiri di perempatan jalan itu ada dua, yakni dari Jalan Said Perintah dan Jalan AM Sangadji. “Dulu, waktu masih konflik, yang Muslim masuk dari AM Sangadji, sedangkan yang Kristen dari Said Perintah. Mereka bertemu di dalam, saling berbagi cerita, berpelukan, dan menangisi kondisi saat itu,” tutur Rudi Fofid, aktivis perdamaian, beberapa waktu lalu.

Di Jalan Said Perintah di dekat Rumah Kopi Trikora juga berdiri sejumlah rumah kopi lain dengan peran yang sama. Dalam hitungan sekitar 70 meter, berjejer enam rumah kopi yang juga tak pernah sepi.

Tak ada data resmi rumah kopi di Ambon, tetapi diperkirakan ratusan. Masyarakat membuat kota yang tak punya kopi itu layak disebut kota beribu rumah kopi. (FRANS PATI HERIN)