Akhir abad ke-17, VOC membawa bibit kopi dari Malabar ke Indonesia. Bibit kopi itu kemudian ditanam di Jakarta, tetapi akhirnya gagal karena kena banjir. Percobaan tanam kedua pun dilakukan tahun 1700. Kali ini berhasil (The Road To Java Coffee, Prawoto Indarto). Kini setelah lebih dari tiga abad, kopi menjadi bagian dari kekayaan Nusantara.

Varietas kopi Nusantara beragam. Satu varietas akan menghasilkan rasa yang berbeda jika ditanam di tempat yang berbeda. Kopi varietas Typika yang ditanam di Pegunungan Ijen di Jawa, misalnya, akan mempunyai rasa yang berbeda dengan Typika yang ditanam di Aceh atau Papua. Beda cara pengolahan, beda juga rasanya. Pengolahan kering atau natural bisa memunculkan berbagai aroma rasa. Adapun pengolahan basah bisa membuat kopi bercita rasa lebih ringan.

Selain arabika, Indonesia juga mempunyai liberika dan robusta. Keduanya dikenalkan ke Jawa untuk mengganti arabika varietas Typika yang saat itu banyak hancur karena karat daun. Dalam perkembangannya, robustalah yang kini mendominasi kebun Nusantara. Dari jumlah luas areal 1,2 juta hektar, 72 persen merupakan kebun robusta. Sebanyak 27 persen arabika dan 1 persen liberika (Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian).

Indonesia menjadi pengekspor terbesar kopi keempat dunia. Volume ekspor mencapai 415.000 ton pada 2016 (BPS, 2017). Amerika Serikat dan Malaysia menjadi pasar ekspor terbesar untuk kopi, beberapa bahkan telah menjadi pelanggan sejak berabad-abad lalu. Selain Java Coffee, nama Gayo, Mandailing, Bajawa, Toraja, dan Java Preanger kini dikenal di pasar internasional.

Meski menjadi produsen, tingkat konsumsi kopi di masyarakat ternyata masih kecil. Indonesia dengan produksi kopi mencapai 648.000 berada di peringkat ke-102 dalam hal konsumsi kopi. Konsumsi kopi hanya tinggi di daerah penghasil kopi, seperti Sumatera.

Kopi telah menjadi bagian dari kisah perjalanan manusia. Kisah tentang kopi akan memberikan rasa lebih pada secangkir kopi, apa pun jenisnya dan bagaimanapun cara menikmatinya.
(TIM JELAJAH KOPI NUSANTARA)