Jika dulu Komari (53), petani asal Kabupaten Tanggamus, Lampung, tidak merawat kebun kopinya, kini mungkin tak pernah ada klon kopi robusta komari di Lampung. Ribuan petani kini ikut bergantung pada keberadaan satu dari banyak klon kopi robusta Lampung ini.

Saat itu, dia takjub ketika ada satu pohon yang menghasilkan banyak buah, sedangkan pohon lain hancur berantakan diserang hama. Daunnya lebat, buahnya banyak. Namun, dia tak tahu jenis klon dari pohon kopi itu. “Kemungkinan kawin silang antarpohon di sana. Saat itu, di kebun ada belasan klon berbeda,” katanya, mengenang pengalaman 27 tahun lalu.

Robusta punya keunikan tersendiri. Untuk menghasilkan buah, satu pohon tak bisa berdiri sendiri karena dibutuhkan penyerbukan bersama klon lain. Tak heran apabila di satu kebun ada banyak klon berbeda. Keunikan itu disebut poliklonal. Beberapa klon yang akrab di telinga petani kopi robusta antara lain tugu sari, tugu hijau, dan casio.

Komari mengatakan, selain berbuah lebat, biji buah klonnya lebih besar dibandingkan jenis kopi lain. Kulit buahnya juga tipis dan produksi buahnya cenderung stabil. Satu pohon kopi dapat memproduksi 1,5-2 kilogram biji kopi.

“Dari situ, saya silangkan lagi dengan klon lain. Hasil persilangan dua tanaman kopi yang tidak diketahui namanya itulah yang kemudian menghasilkan kopi yang diberi nama klon komari oleh banyak orang, sama seperti nama saya,” ujarnya.

Sayang sekali, Komari tidak mencatat secara detail dengan klon mana jenis itu disilangkan.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kopi jenis robusta yang ditanam di kebun Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung di Kecamatan Natar, Lampung Selatan, Jumat (9/2/2018).

Tidak diduga, kopi hasil persilangan tersebut tumbuh subur dan berbuah lebat. “Saya pernah mendapatkan hasil panen sebanyak 3,3 ton kopi dari 0,75 hektar kebun. Hasil panen kopi di kebun saya paling banyak dibanding petani lain yang hanya 1 ton per hektar,” ucap Komari, di rumahnya di Desa Way Ilahan, Kecamatan Pulau Panggung, Tanggamus, Lampung, Februari 2018.

Dari situ, tanaman kopi di kebunnya mulai diperbincangkan petani di desanya. Petani yang penasaran datang ke rumahnya untuk meminta bibit kopi kepada Komari. Dia tidak pelit. Dengan senang hati, Komari memberikan begitu saja bibit kopi tersebut kepada para tetangganya.

Komari memberikan begitu saja bibit kopi tersebut kepada para tetangganya.

“Selain meminta langsung, ada yang meminta kepada petani lain yang sudah menanam kopi itu, hingga tanamannya tersebar ke beberapa daerah,” lanjut Komari.

Selama bertahun-tahun, Komari berbagi klon tanaman lokal miliknya dengan banyak petani di Lampung. Dia tidak pernah berpikir menjual bibit itu demi mendapatkan uang untuk dirinya sendiri. “Sebagai sesama petani, saya hanya ingin saling membantu,” ujarnya merendah.

Tambah saudara

Meski tidak mendapat uang dari bibit kopi yang diberikannya kepada para petani, Komari merasa ”imbalan” yang didapatkannya lebih besar. Imbalan yang dia maksud adalah persaudaraan. Saat bepergian, dia kerap ditawari singgah di rumah petani yang mengenalnya atau bahkan baru ditemuinya. “Mereka menganggap saya seperti saudara dekat. Saya punya banyak kenalan di berbagai tempat,” ujarnya.

Kompas/Raditya Helabumi

Deretan pohon kopi jenis robusta yang ditanam di kebun Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung di Kecamatan Natar, Lampung Selatan, Jumat (9/2/2018).

Menurut dia, banyak petani yang kaget saat pertama kali bertemu dengannya. Pasalnya, mereka mengira penemu atau pemilik pertama kopi “komari” adalah petani sepuh yang berusia lebih dari 70 tahun. “Mereka tidak menyangka kalau saya masih sehat dan bugar,” ucapnya terkekeh.

Kisah kopi “komari” tidak saja dikenal petani, tetapi juga sampai di telinga eksportir kopi. Menurut Komari, dirinya pernah didatangi salah seorang eksportir kopi di Lampung. Dia ditawari untuk mengajukan hak paten atas penemuan klon kopi komari. Namun, Komari menolak. Dia merasa tidak pernah meneliti, bahkan hanya sekadar menemukannya secara tidak sengaja saat menyilangkannya dengan klon lain.

Komari ditawari untuk mengajukan hak paten atas penemuan klon kopi komari. Namun, Komari menolak.

Uniknya, hingga kini, Komari mengaku belum pernah meminum kopi yang dikembangkannya. Dari dulu, dia selalu menjual seluruh hasil kebunnya dengan harapan mendapat uang lebih banyak.

Rindu kopi

Hujan menginterupsi pembicaraan kami. Hawa lembab semakin terasa mengundang tetesan keringat.

Sambil menyuguhkan minuman mineral di dalam kemasan, dia memberikan kejutan. “Sekarang, saya tidak punya satu pun klon komari. Semua pohon kopi sudah ditebang sejak 2008, diganti dengan kakao. Saya terdesak kebutuhan ekonomi,” ucapnya.

Komari kemudian memperlihatkan kebun di belakang rumahnya yang dipenuhi kakao. “Ini saya lakukan karena butuh uang untuk biaya hidup dan anak sekolah. Kalau tetap menanam kopi, saya hanya bisa panen satu kali setiap tahun. Padahal, saya butuh uang untuk anak sekolah setiap bulan. Karena itu, saya mengganti dengan tanaman kakao yang bisa dipanen setiap minggu,” tutur Komari lesu.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Komari, penemu klon pohon kopi lokal komari, sekaligus petani kopi dan cokelat, di Tanggamus, Lampung, Minggu (11/2/2018).

Saat itu, lanjutnya, harga jual kopi di tingkat petani sedang anjlok. Harga 1 kg kopi rata-rata hanya Rp 3.000, dengan harga tertinggi mentok di Rp 10.000 per kg. Bagi Komari yang hanya memiliki 0,75 hektar kebun, hasil panen itu tidak memadai.

Kondisinya berbeda saat dia menanam 4.000 pohon kakao. Dalam setahun, ia bisa mendapat 10 ton kakao dengan harga saat itu Rp 20.000 per kg. Keuntungan yang jauh lebih besar daripada menanam kopi. Dari situ, dia dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang SMA. Dia juga bisa membangun rumah, membeli kendaraan, dan memperluas kebun.

“Sekarang saya masih bisnis kopi, tapi sebatas jadi pengepul. Saya kumpulkan kopi petani dan jual ke konsumen besar,” katanya.

Akan tetapi, Komari mengatakan, hati kecilnya tak bisa berbohong. Dia masih rindu pada budidaya kopi. Mendengar klon komari menjadi salah satu penopang hidup ribuan petani Lampung, ia punya rencana untuk kembali menanam kopi. Tidak untuk mencari rupiah, tentu saja, tapi lebih sebagai tempat bertanya untuk memuaskan edukasi petani.

Sampai saat ini, ujar Komari, masih ada beberapa petani yang bertanya soal pertanian kopi seperti kapan jadwal pemupukan. ”Yang penting, pemupukan jangan saat musim hujan karena nanti pupuk tidak terserap ke tanah, tapi terbawa hujan,” demikian dia memberikan penjelasan.

“Tahun ini, saya akan buat laboratorium kecil-kecilan di antara pohon kakao. Semoga bisa membantu petani lain dan kerinduan saya untuk mencicipi kopi komari yang saya tanam sendiri,” ujarnya. (VINA OKTAVIA/CORNELIUS HELMY)

BIODATA

Nama : Komari

Lahir : Tanggamus, 15 Maret 1965

Pendidikan Terakhir : Sekolah Perkebunan Gisting