Kemunculan gerobak kopi menjadi simbol kritik terhadap monopoli kenikmatan kopi oleh gerai-gerai besar. Kini, menjelajah cita rasa kopi tak harus di tempat mewah dan tak mesti menguras kocek dalam-dalam. Inilah gelombang ketiga kopi yang mengempas hingga ke kaki lima.
Marasi Tua Situngkir (43) tampak sibuk menyeduh kopi dengan espresso maker manual di Gerobak Kopi City Plus di Jalan Setia Budi, Medan, Sumatera Utara, di suatu malam, Desember lalu. Aroma kopi menyeruak di sekitar gerobak berukuran sekitar 1,5 meter x 2,5 meter itu. Di atas gerobak tampak berjejer stoples kaca berisi biji kopi arabika sangrai dengan label asal daerah serta sejumlah alat seduh kopi manual.
Anak-anak muda duduk di kursi di sekeliling gerobak dengan memanfaatkan gerobak sebagai meja. Ada pula yang bersantai di kursi dan meja yang digelar di teras bengkel yang telah tutup sejak sore. Mereka asyik mengobrol, berselancar di gawai, atau sekadar mendengarkan musik dari boks musik kecil di atas meja gerobak. Beberapa pelanggan tampak menyeduh sendiri kopinya.
Marasi membuka kedai Gerobak Kopi City Plus sejak Juli 2017. Setiap hari, ia menyulap teras bengkel AC dan dinamo mobil menjadi tempat nongkrong asyik bagi kaum milenial. Teras bengkel berubah menjadi kafe ketika tutup pukul 17.00 hingga lewat tengah malam sekitar pukul 01.00. “Kafe-kafe mewah sudah banyak, tetapi kafe kaki lima sangat jarang. Saya ingin mendekatkan kenikmatan kopi kepada siapa saja,” katanya.
Meski dapur kopi Marasi hanya sebuah gerobak, ia menyeduh kopi dengan berbagai metode manual, seperti french press, v60 dripper, syphon, dan tubruk. Biji kopinya berasal dari sejumlah daerah dengan proses pengolahan semi-washed, full washed, natural, honey, dan wine. Gerobak Kopi juga menawarkan espresso, double espresso, latte, cappuccino, es kopi vanila, hingga kopi susu. Harganya mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 22.000 per cangkir. “Yang paling murah kopi tubruk dan paling mahal latte dan wine,” lanjutnya.
Marasi tidak hanya sekadar menjual kopi. Ia menjaga kualitas setiap cangkir kopi yang ia sajikan dengan mengontrol pengolahan kopi mulai dari budidaya di kebun. Ia mendampingi sejumlah petani di lingkar Toba, seperti petani di Lintong, Samosir, Karo, Muara, dan Sidikalang. Pendampingannya sederhana, seperti meminta petani memanen buah merah saja, melakukan pemangkasan tanaman, dan penjemuran biji dengan benar.
Marasi membeli biji kopi dari petani dengan harga yang layak, lalu menyangrainya di Medan. Ia juga memfermentasi sendiri kopi wine mulai dari buah kopi hingga menjadi bubuk. “Di Gerobak Kopi, pelanggan tidak sekadar meminum secangkir kopi, tetapi juga menyeruput cerita asal-usul dan pengolahan kopi yang ia minum,” katanya.
Sebelum membuka Gerobak Kopi, Marasi sebelumnya penjual bubuk kopi. Ia lalu memutuskan membuka kedai kopi setelah melihat peluang bisnis yang terbuka lebar menyusul meningkatnya kegandrungan masyarakat pada kopi. Ia kemudian belajar menyeduh kopi secara otodidak kepada teman-temannya.
Keterbatasan modal membuat Marasi harus bersiasat. Dengan modal awal sekitar Rp 30 juta, ia harus membeli sebuah gerobak, alat seduh manual, gelas, dan menyewa tempat. Ia juga harus mencari tempat di kawasan yang ramai, tersedia listrik, tempat menyimpan peralatan, dan toilet.
Pada hari pertama, Marasi hanya bisa menjual dua gelas kopi dengan omzet Rp 12.000. Lalu, pelanggannya terus bertambah terutama dari kalangan mahasiswa dan pekerja. Kini, ia sudah bisa menjual hingga 80 gelas kopi per hari. Marasi juga kini dibantu seorang teman untuk melayani pelanggan.
Pada era gelombang ketiga kopi seperti sekarang, kata Marasi, penikmat kopi tidak hanya sekadar ingin meminum kopi, tetapi juga ingin mendapat pengalaman terlibat dalam proses pembuatan kopi. Peminum kopi mulai mencari tahu asal-usul kopi dan cerita di balik pengolahan kopi itu. Teknik pembuatan kopi juga lebih transparan. Pelanggan sekaligus menjadi teman dekatnya.
Seorang pelanggan Gerobak Kopi, Jakky (22), malam itu menyeduh sendiri kopinya. Ia bolak-balik menaruh termometer ke dalam sebuah cerek, menunggu suhu air sesuai dengan keinginannya.
Setelah mengobrol sebentar dengan Marasi, ia kemudian memilih biji kopi, menggilingnya, lalu menyeduhnya dengan v60 dripper. “Saya senang ke Gerobak Kopi karena bisa menyeduh sendiri,” katanya. (NIKSON SINAGA)