Hidup Aries Sontani (44) seperti kopi yang ia tanam. Pengalaman pahit manis bergantian jadi cerita utama. Mulai dari meraup untung besar, jatuh bangkrut karena ditipu, hingga getol memberdayakan petani kopi di Garut.

Konsultan kopi abal-abal. Demikianlah Aries menjuluki dirinya.

Kamis (25/1/2018), wajah cerah penuh senyum Aries menyapa di kediamannya di Desa Sirnajaya, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. “Selamat datang di rumah konsultan kopi abal-abal,” ujar Aries merendah sambil berkelakar.

Konsultan kopi abal-abal. Demikianlah Aries menjuluki dirinya. Padahal, Aries bukan orang sembarangan di dunia kopi Jabar. Dia menampung hingga 500 ton kopi asal Garut sebelum memasoknya ke Surabaya dan Medan.

Hotel, restoran, dan kafe di seputar Garut dan Bandung juga ikut merasakan kopi Garut dari Aries. ”Lebih dari sekadar cari untung, saya ingin jadi saluran agar petani tetap bergairah mengelola kopi terbaik,” ujarnya.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Penjemuran biji kopi di Kelompok Tani Pasirwangi, Desa Sirnajaya, Tarogong Kaler, Garut, Jawa Barat, Rabu (24/1/2018).

Aries tidak sekadar bicara. Perbincangan kami ditemani bunyi mesin penyangrai kopi. Asalnya dari dapur yang menyatu dengan ruang tamu berukuran sekitar 5 meter x 5 meter. Ruang tamu juga menjadi ruang pamer dari merek produk kopi bikinannya sendiri, D’ARFFI Coffee.

Tak lama setelah mesin roasting itu berhenti, Aries menyuguhkan secangkir kopi buatan Angga. Mantan pelayan toko itu kini jadi salah satu barista andalan D’ARFFI.

“Ini anggacino, alias cappuccino buatan Angga. Saya ajarkan kepada dia dan anak muda lainnya agar kreatif meracik kopi,” ujar Aries.

Kopi anggacino yang terasa manis itu sejalan dengan senyum dan kisah manis Aries bersama kopi. Tapi, siapa kira, hidup Aries pernah pahit juga karena kopi.

Tertipu

Ingatan Aries kembali pada peristiwa 18 tahun lalu saat dia masih jadi konsultan pajak swasta. Saat itu, Aries ditawari rekannya berinvestasi di proyek pembenihan kopi tahun 2000. Tergiur untung besar, Aries menerimanya.

“Saat itu belum tahu apa-apa soal kopi. Cuma suka minum kopi saja,” ujar Aries, yang masih berdomisili di Kota Bandung, jauh dari kebun kopinya saat ini.

Dengan modal Rp 150 juta, ia beli 150.000 pohon kopi untuk ditanam di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Semua bibitnya ludes. Ia mendapat untung Rp 30 juta dalam waktu singkat.

Tergiur keuntungan besar, cepat, dan mudah, Aries setuju mendanai proyek kedua. Kali ini, untuk petani kopi di Kecamatan Pasirwangi tahun 2003-2004. Dananya lebih besar, Rp 500 juta untuk 750.000 bibit kopi.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Barista di D’ARFFI Coffee yang digerakkan dan menjadi bagian dari Kelompok Tani Pasirwangi, Desa Sirnajaya, Tarogong Kaler, Garut, Jawa Barat, Rabu (24/1/2018). Kelompok tani ini memberdayakan pemuda desa untuk berkiprah di dunia kopi, mulai dari hulu hingga hilir, termasuk membuka kafe di tengah pedesaan.

”Saya jual semua harta yang ada untuk biayai proyek itu. Dari usaha di bidang otomotif hingga barang elektronik di rumah,” katanya.

Namun, kali ini dia tak beruntung. Tak ada laba, dia justru ditipu rekan kerjanya. Hingga dua bulan setelah modal dikucurkan, ia tak mendapat kabar secuil pun.

Akibat kejadian ini, hidupnya berantakan. Ia bahkan mengungsikan keluarga ke rumah mertuanya di Bandung. Dia tak mampu membiayai hidup mereka. Dalam kondisi bangkrut, Aries masih berupaya mengejar sisa-sisa aset pendanaan pembenihan kopinya di Pasirwangi tahun 2005. Dengan sepeda motor pinjaman dan bekal Rp 1.000 di dompet, ia kembali ke Pasirwangi.

Nyaris tak menemukan aset seperti bangunan dan tempat pembibitan kopi, ia bertemu Ahut, petani setempat. Ahut mengenali Aries saat masih jaya sebagai investor bibit kopi setahun sebelumnya.

Dari Ahut, Aries mendapat titik terang. Masih ada 2.000 bibit kopi dari total 750.000 pohon yang pernah dibiayai Aries. Namun, Ahut tidak tahu apakah pohon itu masih bisa berbuah atau tidak.

Bibit itu sudah tak berdaun, hanya menyisakan batang hampir kering. “Dari situ saya mulai belajar kopi lagi, mulai dari nol,” lannut Aries.

Belajar

Minim ilmu, Ahut kembali jadi penyelamat. Aries diberi tahu harus mengupas batangnya untuk mengetahui pohon itu masih hidup atau tidak. Karena tak punya uang dan tak ada tempat tinggal, Aries menumpang hidup di rumah Ahut sembari menanam kopi.

Setiap hari, Aries mengupas satu per satu batang kopi itu selama berbulan-bulan. Dari 2.000 pohon, hanya 500 pohon yang masih bertahan. Sebagian dijual dan lainnya dirawat. Pada tahun 2007, kopi yang ditanam mulai berbuah. Aries panen hingga 1,2 ton kopi.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Aries Sontani

Akan tetapi, masalah tak berhenti sampai di sana. Ia tak tahu cara menjual kopi itu. Hingga akhirnya, dia mendapat informasi, ada pengepul Pangalengan yang terbiasa jual beli kopi.

”Sampai di sana, saya diarahkan menjual gabah kopi. Lagi-lagi, warga ikut membantu membuat kolam pengupasan dan pencucian,” katanya.

Usahanya berhasil. Dari 1,2 ton, ia mendapat 3,6 kuintal biji kopi. Namun, ketika membawa biji kopi itu kembali ke Pangalengan, pengepul itu ingkar janji. Biji kopi tak jadi dibeli karena jumlahnya terlalu sedikit. ”Saya kecewa dan nyaris membuangnya,” ujarnya.

Namun, nasib baik belum pergi. Dalam perjalanan pulang, ia bertemu dengan beberapa petani kopi setempat. Ternyata, mereka adalah mitra kopi yang didanainya pada proyek pertama. Setelah berkeluh kesah, para petani itu bersedia membantu. Aries lantas dipertemukan dengan orang yang mau membeli kopinya.

”Alhamdulillah, beras kopi itu dibeli. Harganya Rp 9.200 per kilogram. Total saya dapat Rp 3,31 juta. Sejak saat itu, saya ingin terus terjun ke kopi. Dengan kerja keras, kopi bisa jadi modal menata hidup,” tuturnya haru, sembari menahan air matanya.

Mantap memilih kopi sebagai jalan hidupnya, Aries pun mulai belajar lebih banyak tentang kopi dari pengalaman pribadi atau petani lain. Dia belajar penanaman, pemangkasan, hingga pemanenan biji merah.

Kerja keras itu berbuah hasil tahun 2010. Kopinya dilirik salah satu pabrikan kopi. Aries diberi alat pengupas buah untuk meningkatkan kualitas bijinya. ”Sejak bisa mengelola kopi sendiri, satu per satu konsumen mulai datang. Saya tidak perlu repot mencari pembeli,” katanya.

Akan tetapi, hatinya tak tenang saat hanya sekadar jual beli kopi. Ia ingin masyarakat Pasirwangi yang berjasa bagi hidupnya merasakan nikmat serupa. ”Tahun 2011, saya mulai membagi bibit kopi dan pupuk gratis. Petani juga diajarkan cara penanaman ideal,” ucapnya.

Untuk memudahkan pendampingan, mereka membentuk Kelompok Tani Kopi Andalan. Saat ini, anggotanya lebih dari 200 orang. Mereka menanam lebih dari 500.000 pohon dengan produksi mencapai 700 ton per musim panen.

”Kualitasnya lebih baik dari sebelumnya. Saat ikut ajang Kontes Kopi Spesialti Indonesia Ke-9, kopi Pasirwangi jadi pemenang ketiga dengan uji cita rasa 85,00,” ujarnya.

Kini, gairahnya belum berhenti. Sembari tetap secara lisan memberikan pemahaman mengolah kopi di kebun, Aries menyempatkan diri menulis buku bersama Dani Hamdani, rekannya. Judulnya Coffee, Karena Selera Tidak Dapat Diperdebatkan setebal 174 halaman. Sejarah, penanaman, pengolahan, hingga pascapanen jadi inti cerita. Tak lupa, ia bubuhkan beragam cara dan resep meracik kopi terbaik.

”Harapannya, perjuangan petani di Garut bisa jadi inspirasi bagi banyak orang,” katanya. (CORNELIUS HELMY/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA)

Biodata

Nama: Aries Sontani
Lahir: Bandung, 17 April 1973
Istri: Irawati (46)
Anak:
– Dea Chandra Febrianti (19)
– Arya Agung Ramdhani (15)
– Muhammad Firmansyah Raffi (12)
– Raisa Indriani (6)
Pendidikan terakhir: SMAN 1 Muhammadiyah, Bandung