Jadi salah satu yang terbaik di negeri ini, kopi tanah Sunda tak tumbuh sekadar mengandalkan kesuburan tanahnya. Peran di balik layar “para guru” kopi menjadi salah satu penopangnya.

Mata cangkul kembali dibenamkan Ayi Sutedja ke dalam tanah gembur. Polanya melingkar, dengan tanaman kopi di tengahnya. Di sekelilingnya, Ayi menumpuk serasah daun pinus jadi bahan pupuk organik. Dia melakukan hal yang sama pada puluhan pohon lainnya.

”Kebun ini adalah rumah bagi saya. Pergi sejauh apa pun tetap kembali ke sini bersama pohon kopi,” katanya, akhir Januari 2018.

Tak hanya masih terjun di kebunnya sendiri, ia membantu petani dari beragam daerah di Jawa Barat hingga dataran tinggi di Toraja dan Papua, mengembangkan kopi terbaik.

Dua tahun terakhir, Ayi tak mudah ditemui di kebunnya di Gunung Puntang, Banjaran, Kabupaten Bandung. Sejak kopinya menjadi yang termahal dalam lelang kopi Indonesia di Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo 2016, namanya naik daun. Dia bisa saja duduk manis dan menarik rupiah mengandalkan citra kopinya yang sudah ternama.

Akan tetapi, ia menolak diam. Tak hanya masih terjun di kebunnya sendiri, ia membantu petani dari beragam daerah di Jawa Barat hingga dataran tinggi di Toraja dan Papua, mengembangkan kopi terbaik.

Tak hanya di kebun, Ayi juga masih konsisten menggagas ajang “Ngopi Saraosna” yang digelar 3-4 bulan sekali sejak Maret 2017. Edisi paling muktahir digelar pertengahan Mei 2018 dihadiri ratusan petani kopi Jabar.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ayi, petani kopi Puntang, menyajikan cupping kopi Puntang di rumahnya di Puntang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (25/1/2018). Kopi Puntang pernah merajai pasar kopi internasional dengan menjadi kopi terbaik.

“Acara itu juga jadi ajang diskusi dan menambah ilmu pengetahuan antar petani. Ini memberi pengalaman bagi petani terus semangat menanam dan menjual kopi,” katanya.

Amir Sutisna (60) adalah salah satu petani yang terinspirasi. Petani kopi asal Palintang, Kecamatan Manglayang, Kabupaten Bandung ini belajar banyak dari Ayi, mulai dari penataan kebun hingga teknik pascapanen.

“Selama 17 tahun jadi petani kopi, baru tahun ini saya merasakan manis kopi. Kuncinya ternyata di pascapanen,” ujar Amir.

Saran Ayi membuat rumah kaca (greenhouse) diterapkan Amir. Ukurannya 30 meter x 7 meter. Dengan fasilitas anyar, ia belajar beragam teknik mengolah kopi, mulai dari natural, semi wash, hingga honey process.

Hasilnya memuaskan. Panen hingga 25 ton dari lahan lebih dari 10 hektar kini terasa menguntungkan. Bila sebelumnya harga biji kopi (green bean) Rp 2.500 per kg, Amir kini bisa menjualnya hingga Rp 80.000 per kg.

Uniknya, Amir tak ingin menyimpan semuanya sendiri. Giliran dia berbagi pada petani di sekitar rumahnya. Kini, ada puluhan petani yang ia dampingi, mulai dari penanaman hingga panen.
“Petik merah dan penyortiran buah kopi jadi pengetahuan paling dasar yang kami berikan pada warga,” katanya.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Petani kopi memetik biji kopi yang sudah matang di lahan perkebunan kopi di Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat Kamis (25/1/2018). Kopi Puntang pernah merajai pasar kopi internasional dengan menjadi kopi terbaik.

Kiprah guru yang berbagi ilmu juga dilakukan Slamet Prayoga, petani kopi Pangalengan, Kabupaten Bandung. Dengan tangan dan biaya sendiri, Yoga juga membakar semangat petani kopi di Pangalengan, sejak 13 tahun terakhir. Tak mudah. Minim pengalaman, kopi Yoga pernah dicap berasa tahi ayam.

Dia tak menyerah dan terus belajar bahkan hingga saat ini. Salah satu hal yang sampai kini masih ia tekankan adalah fokus merawat pohon di kebun.

Dalam sehari, ia menargetkan petani menanam dan merawat sekitar 10 pohon. Estimasinya, dalam sebulan, ada 300 pohon yang mendapat perhatian. Bila dilakukan dalam setahun, mereka bisa merawat hingga sekitar 4.000 pohon. Mulai dari pemupukan, pembersihan lahan, hingga pemangkasan tangkai.

“Petani punya potensi sejahtera. Bila ada petani yang miskin, berarti ada yang keliru dan itu harus diperbaiki,”katanya.

Yoga tak asal bicara. Dia mengambil kalkulator dan menghitung potensi pendapatan petani. Dengan 4.000 pohon, maka setelah lima tahun, bisa menghasilkan 5 kilogram per batang atau 20.000 kg kopi per panen. Dengan perhitungan harga buah kopi dipetik merah Rp 8.000 per kg, petani bisa mendapatkan 160 juta per tahun atau sekitar Rp 13 juta per bulan.

“Hidup petani tidak ada di buku. Semua harus dijalani langsung di kebun,” kata Yoga.

Bukan omong kosong, Yoga sudah membuktikannya di kebun sendiri seluas 2 hektar. Kini, namanya tersohor di kancah kopi spesialti internasional. Dalam SCAA 2016, kopi milik Yoga menjadi termahal ketiga dalam lelang.

Dari awalnya dipandang sebelah mata, pembeli dari Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, dan Korea Selatan antre ingin memiliki kopinya. Kapasitasnya tak terbatas. Namun, Yoga menolak. Dia masih memprioritaskan kopinya untuk dalam negeri.

“Ada yang minta 4 ton per bulan, hanya saya kasih 150-300 kg. Minta 900 kg saya kasih 60 kg,” katanya.

Alih-alih mengambil keuntungan besar, ia mengajak petani agar kelak jadi eksportir mandiri. Dengan akses informasi yang luas, harga pasar kopi dunia bisa dengan mudah diketahui. Saat ini, setidaknya ada sekitar 300 petani dengan luas lahan sekitar 700 hektar.

Salah seorang petani yang tengah belajar pada Yoga adalah Agus Rusman, petani setempat. Dia berencana menjual kopi kualitas spesial, lebih dari kopi asalan. Pasar luar negeri jadi salah satu incarannya.

Agus mengatakan, ilmu kopi yang ia dapatkan dari Yoga mulus mengubah hidupnya sejak 2002. Mantan petani sayur itu kini menjadi penyuplai beras kopi untuk perusahaan raksasa kopi di Indonesia.

“Sekarang saya mendapat kepercayaan banyak konsumen. Tahun 2016, ada 7 perusahaan yang bermitra. Kopinya saya ambil dari ratusan petani dan 23 pengepul kecil. Potensinya mencapai 300 – 700 ton per panen,” katanya.

Keinginan serupa juga tengah dijalani Nathanael Charis, pendiri Morning Glory (MG), kafe dan tempat pengolahan kopi di Bandung. Dia adalah otak dibalik ekspor kopi Jabar tahun 2009. Totalnya 18 ton dengan harga Rp 30.000 per kg atau dua kali lipat lebih mahal dari harga normal.

Ekspor itu jadi dahaga setelah hama karat daun menyerang di akhir tahun 1800-an. Ekspor terakhir terakhir terjadi tahun 1924 dan vakum setelah itu.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Uji citra rasa kopi di kafe Morning Glory, Setrasari, Bandung, Jawa Barat, Senin (29/1/2018).

Waktu berjalan, ekspor itu jadi inspirasi. Petani semakin percaya diri menanam kopi terbaik berstandar internasional. Data Dinas Perkebunan Jabar mencatat, dalam kurun waktu 2009-2015, ekspor biji kopi mencapai 187 ton dengan nilai 1,3 juta dollar AS.

Akan tetapi, Nathanael menolak jadi aktor tunggal di balik kesuksesan itu. Dia mengatakan, semuanya adalah buah dari kolaborasinya dengan petani di Pangalengan, Kabupaten Bandung. Bukan hal mudah, karena awalnya ia mendapat penolakan. Nael dianggap sok tahu.

“Pelan-pelan saya beritahu cara tanam hingga petik merah. Sortir kopi bebas dari buah busuk, batang, dan batu dilakukan. Dulu, satu karung kopi, batunya bisa sampai setengah. Kini biji merah semua,” katanya.

Tidak hanya membuka pintu, ia juga menyediakan saluran pembelian sendiri lewat MG. Di kedai yang didirikan pertama kali di Bandung ini, semua biji kopinya berasal dari Jabar. Sebagian besar dari panen kopi petani yang didampinginya dari pegunungan di Tasikmalaya, Sumedang, hingga Garut.

“Sekarang ada 13 kedai MG di berbagai daerah di Indonesia. Terakhir, kami buka di Australia. Kopi yang dijual tetap kopi Jabar. Sejak awal, saya yakin kopi Jabar punya potensi besar dikembangkan. Kami berharap bakal semakin banyak petani dan kedai kopi bangga dengan kopi yang ditanam di tanah ini,” ujarnya. (CHE/NIT/RTG/TAM)