Dalam sebuah ”h’elay” atau loyang, masyarakat Papua bercerita tentang kekayaan tanah dan kultur mereka. Di pulau itu, sagu, umbi-umbian, dan ikan jadi bagian dari perayaan.
Glorio Ledhang dan Charles Toto menyambut hangat kedatangan kami, Tim Jelajah Kopi. Malam itu, di Kafe Otentik, Sentani, Glorio menyuguhkan kopi, sedangkan Charles Toto alias Chato menghidangkan papeda dan masakan ikan kuning.
Kopinya istimewa karena didatangkan dari Pegunungan Bintang yang dipetik dan dikelola sendiri oleh Rio, si pemilik kedai. Adapun papeda yang dihidangkan tak kalah istimewa karena Chato mengolahnya langsung di hadapan kami. Baik Rio maupun Chato adalah aktivis kuliner yang tergabung dalam komunitas Papua Jungle Chef.
Tepung sagu dan air panas menjadi bahan utama. Chato dengan cekatan mengaduknya dalam wadah tembikar atau disebut h’elay. Terus diaduk-aduk dengan sendok kayu atau yanggalu. Ketika sagu melarut dan kian mengental seperti lem kertas, barulah Chato melambatkan gerakan tangan.
Tak berapa lama, papeda pun jadi. Rio membawakan ikan kuah kuning dan bunga pepaya muda dari dapur, sementara Chato mulai membagikan papeda dengan hiloi garpu bermata tiga dari kayu. Biasanya orang menikmati papeda dengan cara mengambil makanan itu dengan hiloi dengan ukuran sekali telan. Cara itu dilakukan sampai papeda habis. Makan pun harus bersama-sama agar suasana bertambah hangat dan akrab.
Kenalkan pangan lokal
Lewat papeda, Chato memperkenalkan kami pada budayanya. Di Papua, papeda tak sekadar makanan, tetapi juga cerminan adaptasi manusia dengan lingkungan sekitar. Orang Sentani percaya bahwa nenek moyang pertama mereka yang keluar dari bumi tak sendirian, tetapi diikuti saudara-saudaranya, salah satunya berubah menjadi sagu.
Legenda itu dituturkan dalam buku Papeda Kuliner Masyarakat Papua yang ditulis Enos Rumansara dan Enrico Kondologit. Oleh karena itu, sagu bagi orang Sentani
adalah saudara mereka, yang menjamin mereka bisa bertahan hidup dulu, sekarang, dan masa mendatang.
Orang Sentani mengenal 11 jenis pohon sagu. Nenek moyang mereka telah berburu berbagai pohon sagu terbaik di beberapa tempat, mulai dari pesisir Dempta, Bukisi, hingga Papua Niugini. Mereka memilih pohon sagu terbaik untuk ditanam di dusun dan dibudidayakan. Sagu juga hadir dalam setiap upacara kelahiran, pernikahan, dan kematian. Di tiap acara, bisa jadi sagu yang diolah berbeda. Dengan penganan pendamping yang berbeda, lain pula sagunya.
Tak hanya sagunya, tetapi ulat sagu pun dapat diolah menjadi penganan berprotein tinggi. Bagi kalangan pendatang, makan ulat sagu mungkin terlihat aneh. Namun, di kampung adat Korowai, tempat berdiamnya komunitas penghuni rumah pohon, ulat sagu dinikmati dalam sebuah pesta adat yang disebut Pesta Ulat Sagu. Ulat sagu bisa juga dinikmati dalam acara bakar batu.
Selain sagu dan ulat sagu, Papua juga kaya akan ragam umbi-umbian. Selama bertahun-tahun, Chato telah menjelajahi berbagai pelosok di pedalaman Papua. Menyisir ragam sumber bahan makanan asli daerah itu. Ia pun mendapati ada lebih dari 20 jenis petatas (ubi) dan 10 jenis keladi. ”Jenis-jenis itu punya keunikan pengolahannya di tiap-tiap wilayah,” kata Chato.
Dari situlah kami jadi penasaran untuk mencicipi petatas dan keladi. Beruntung, Agustha Kopeuw, perempuan pejuang asal Distrik Sentani, mengundang kami mampir. Rumahnya berada tak jauh dari Danau Sentani. Pagi-pagi sekali, Ketua Papua Tour Guide Community Andre Liem menemani kami berkunjung ke rumah Agustha. Andre dan Agustha adalah kawan seperjuangan dalam upaya penyelamatan lingkungan dan pengembangan wisata.
”Surganya makanan olahan dari sagu, petatas, dan keladi, ada di kampung-kampung sekitar Danau Sentani ini,” kata Andre.
Mirip getuk
Tiba di rumah Agustha, kami diperkenalkan kepada ibundanya, Mama Wehelmina Monim (76). Dari Mama Weli, demikian ia biasa dipanggil, kami diajari cara mengolah petatas dan keladi menjadi bhra, getuk ala Papua.
Brha dibuat dari kukusan singkong, ubi manis, dan keladi. Membuat bhra cukup sederhana. Setelah dikukus, petatas, singkong, dan keladi ditumbuk dalam lumpang hingga halus. Lalu diambil segenggam kecil dan dibentuk lonjong dengan bantuan tangan dan daun pisang, lantas digulirkan ke kelapa parut. Rasanya persis getuk. Namun, manis dan gurihnya alami tanpa tambahan gula ataupun garam.
Selanjutnya, Mama Weli membuatkan pula variasi bhra. Adonan dicampur dengan kacang goreng, gula merah, dan kelapa parut. Adonan dibentuk dengan cara yang sama, Garam pun ditambahkan untuk memperkuat rasa. ”Anak muda suka sekali dengan yang manis-manis ini,” kata Weli.
Agustha menambahkan, bumbu tambahan kini dikreasikan pada masakan Papua, seiring dengan masuknya beragam jenis bahan makanan. Gula jawa, misalnya, datang dari Surabaya, sedangkan garam datang dari pesisir.
Bhra pun dapat dinikmati bersama sup ikan gabus Sentani. Ikan tersebut direbus dan diberi tambahan daun keladi yang sudah dikeringkan. Daun keladi akan memberi tambahan rasa selayaknya daun salam.
Bhra juga punya arti penting dalam kuliner Papua. Makanan ini biasanya dihidangkan sebagai penutup. Saat bhra dihidangkan, artinya pertemuan sudah akan berakhir.
Memakannya pun harus sesuai aturan. Bhra disajikan dalam h’elay dan kemudian dinikmati bersama-sama. Para perempuan yang berkeluarga bisa duduk bersila sambil memangku anak, sedangkan anak gadis duduk bersimpuh. Mengambil makanan dengan hiloi secukupnya. Tak boleh menyisakan makanan karena itu tidak sopan.
Warga Papua pun menikmati brha bersama-sama sembari berbincang, persis dengan tradisi saat menikmati papeda. Akhirnya brha dan papeda menjadi perekat kebersamaan di antara mereka. (SIWI YUNITA C/IRMA TAMBUNAN)