Kopi tak sekadar pemacu semangat dan pelepas penat warga Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sejak dulu, warung-warung kopi tradisional langgeng sebagai ruang perekat sosial. Meski teknologi merevolusi seduhan kopi, di ”Kota Anging Mammiri” kopi susu tetaplah favorit.
Pagi cerah saat kursi-kursi mulai terisi pengunjung Warkop Tong San di kawasan Pasar Ikan, Makassar, Januari 2018. Warung kopi ini tak seberapa besar. Cukup dekat jaraknya dari Pelabuhan Makassar. Karena letaknya persis di pojokan pertigaan jalan, kerap orang-orang tak mengira bangunan tua ini sebuah warung kopi. Apalagi tak ada pula papan nama sebagai penanda di bagian luar bangunan sebagaimana lazimnya warung kopi.
Akan tetapi, bagi pelanggan kedai tertua di kota itu, Tong San lekat dalam ingatan warga. Warung kopi ini didirikan Liem Sie sejak 1943. Yang mengelola sekarang adalah cucu Liem Sie, bernama Tuti Holis.
Bertahan hingga generasi ketiga, tentu bukan perkara mudah. Terlebih pelanggan yang datang sebagian adalah anak-anak keturunan pelanggan-pelanggan terdahulu. Ini berarti tak hanya warung kopi tersebut yang dikelola turun-temurun, pelanggannya pun dari generasi ke generasi.
Pagi itu, kopi yang terhidang di meja pengunjung hanya dua macam, kopi susu dan kopi hitam. Sebenarnya ada juga teh hitam dan teh susu sebagai alternatif, tetapi hanya sedikit yang memilih teh. Sama sedikitnya yang memilih kopi hitam. Pengunjung umumnya memesan kopi susu.
Menurut Tuti, sejak dulu kopi susu menjadi primadona di kedai tersebut. Seduhan itu memanfaatkan kopi arabika dan robusta dari Toraja, Enrekang, dan sentra kopi lain di Sulawesi Selatan. Pengunjung pun dapat memesan sesuai selera tebal tipisnya kopi. ”Kalau yang suka lebih kental, biasanya mereka minta kopinya tebal. Tapi tetap saja pakai susu,” kata Tuti .
Tak suka pahit
Muslimin (70) adalah salah satu pelanggan setia Tong San. Pensiunan pegawai negeri ini mengaku sudah lebih dari 30 tahun menjadi konsumen tetap kedai tersebut. Kopi susu pun jadi kegemaran utamanya. Namun, selain karena nikmatnya seduhan kopi susu, Muslimin pun nyaman berada di kedai. Baginya, warung kopi bagaikan rumah kedua. “Saya kenal dengan hampir semua pelanggan kedai ini. Dulu, waktu masih bekerja, hampir setiap hari menyempatkan diri ke sini sebelum ke kantor,” ujarnya diimbuhi tawa.
Baginya, warung kopi bagaikan rumah.
Muslimin menuturkan, orang Makassar tak terlalu suka kopi kental dan pahit. Untuk itu, mereka kebanyakan memesan kopi susu. Dalam sehari, dia mengaku bisa minum kopi susu hingga tiga cangkir.
Selain Tong San, tempat ngopi legendaris lain di Makassar adalah Warkop Phoenam, Warkop Dottoro, Warkop Daeng Anas, Warkop Daeng Sija, dan Warkop Hei Hong.
Kopi susu juga menjadi kegemaran Rahman (35), salah satu pengunjung Warkop Daeng Anas, di Jalan Pelita Raya. Di warkop ini, boleh dikata lebih dari 80 persen pengunjung memilih kopi susu. Pengunjungnya pun beragam. Mulai dari tukang ojek, pegawai bank, pegawai negeri, hingga politisi.
”Rasanya lebih enak minum kopi pakai susu. Kadang saya juga pesan kopi hitam, tapi di waktu-waktu tertentu saja,” ujar Rahman.
Di Makassar, warung-warung kopi menjamur di banyak tempat, mulai dari warung kopi kaki lima, kelas menengah, hingga kafe. Sejumlah warung kopi yang dikelola pengusaha kecil menengah di daerah ini bahkan sudah buka cabang di banyak tempat dengan sistem waralaba, misalnya Warkop Deng Annas, Daeng Sija, Dottoro’, dan Phoenam.
Peracikan kopi susu umumnya hampir sama di setiap kedai. Setelah bubuk kopi robusta dan arabika dicampur, lalu dimasak di dalam ceret dari besi kuningan. Sebelum disajikan, kopi dipanaskan terus di atas kompor.
Kopi ditempatkan dalam wadah serupa saringan besar dari kain halus, lalu dicelup beberapa waktu ke dalam air yang dididihkan di dalam teko kuningan. Selanjutnya kopi saring dituang ke dalam gelas berisi susu kental manis.
Tempat kumpul
Sejak dulu, warung kopi di Makassar selalu dihiasi orang-orang dari beragam latar belakang. Dalam warung kopi pun beragam topik mencuat. Ada yang membicarakan hal-hal ringan. Ada juga yang membahas pekerjaan serius. Bahkan, situasi politik terkini pun diperdebatkan di sini. Akhirnya, suasana riuh pun begitu terasa di dalam warung.
Warkop Daeng Anas merupakan tempat favorit kalangan pejabat daerah. Gubernur dan wali kota kerap mampir bersama rombongan mereka. Selain itu, warkop juga menjadi tempat persinggahan berbagai profesi, seperti pegawai negeri, karyawan perusahaan swasta, hingga komunitas jurnalis di Makassar.
Tak hanya di pusat keramaian atau di pinggir jalan besar atau protokol, warkop dan kafe bahkan sudah masuk ke lorong-lorong. Sejumlah jalan, yang dahulu tak pernah dilirik sebagai lokasi untuk membuka warkop atau kafe, kini bahkan dipenuhi jejeran warkop. Meski memiliki beragam konsep tempat minum kopi, beragam racikan, dan cara penyajian, tetap saja kopi susu menjadi pilihan favorit.
Berbeda dengan warkop yang umumnya memanfaatkan campuran kopi robusta dan arabika satu jenis saja, penyajian dan pilihan kopi lebih beragam di kafe. Sebut saja Kafe Kopi Teori, Kopi Api, Ada Pada Kedai, Enreko. Umumnya kafe-kafe itu didirikan oleh pengusaha lokal.
”Di tempat kami, kopi specialty ada. Jenis dan daerah asal kopi juga banyak. Penyajiannya macam-macam. Kami juga berusaha mengedukasi pengunjung untuk mengenal dan merasakan beragam kopi,” tutur M Syarif Hidayatullah, salah satu barista di Kopi Teori.
Kendati kafenya menyajikan kopi kontemporer, seperti espresso, latte, dan cappuccino, Syarif mengakui bahwa kebanyakan pengunjung lebih menyukai kopi dicampur susu saja. Hanya sebagian kecil pengunjung yang secara khusus memesan kopi spesial dengan seduhan tanpa gula atau susu.
Dahulu, letak kedai yang dekat dengan pelabuhan memungkinkan intensnya interaksi antara pelaut Bugis, pedagang Arab, hingga juragan lokal dan Tionghoa.
Antropolog Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Dias Pradadimara, mengungkapkan, seperti halnya kota-kota pelabuhan lain, warung kopi di Makassar seperti jadi ruang lebur. Dahulu, letak kedai yang dekat dengan pelabuhan memungkinkan intensnya interaksi antara pelaut Bugis, pedagang Arab, hingga juragan lokal dan Tionghoa.
Kopi juga menghiasi mitos yang berkembang di kalangan orang Bugis di Makassar. Salah satu yang dianggap keramat adalah mitos menolak suguhan kopi buatan tuan rumah bersuku Bugis Makassar. Mitos itu menyebutkan, ketika tuan rumah menawarkan kopi buatannya kepada tamu yang bertandang, orang yang ditawari wajib mencicipi. Jika tak sedikit pun disentuh, tamu tersebut diyakini bisa dapat celaka. Kisah yang diwariskan oleh nenek moyang suku Bugis-Makassar tersebut tak hanya terjaga oleh kalangan orangtua, tetapi juga diyakini generasi muda di masa kini.
Kini, antusiasme warga akan kopi susu kian meluas. Tak hanya Makassar, banyak warung kopi menjamur di pinggiran kota hingga kabupaten sekitarnya. Kopi susu bagaikan gairah yang selalu memikat manusia di sana. (RENY SRI AYU/GREGORIUS M FINESSO)