Toraja, tempat tetirah dengan rajutan eksotik alam dan warisan budaya seperti tak bosan membuat nyaman para peziarahnya. Lolai, satu di antaranya. Menyeruput secangkir kopi Toraja di muka hamparan kabut berlatar belakang matahari terbit seperti candu yang menyirep sukma.

Langit masih gelap saat kami meninggalkan kamar hotel di jalan poros Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Sabtu (20/1/2018) pagi. Udara pada awal tahun cukup dingin dan menusuk kulit.

Tiba di halaman hotel, situasi cukup ramai. Puluhan wisatawan lain ternyata juga tengah bersiap meninggalkan hotel. Mereka tampak bergegas naik ke mobil wisata yang sudah siap sejak malam. Walau tak janjian dan tak satu rombongan, kami dan pengunjung lain punya satu tujuan meninggalkan hotel pada pagi buta itu, menuju Lolai.

Lolai adalah kata yang sangat tenar dan menjadi tujuan wisatawan di Toraja, setidaknya dalam dua tahun terakhir. Terkenal dengan sebutan ”Negeri di Atas Awan”, Lolai adalah dataran tinggi di Kecamatan Rindingallo, Toraja Utara.

Kampung-kampung di kecamatan ini berbatasan dengan lembah dan pegunungan di kejauhan. Daerah ini menjadi tujuan wajib bagi wisatawan yang datang ke Toraja.

KOMPAS/ AGUS SUSANTO

Tanaman kopi tumbuh subur di sekitar kuburan batu di kompleks pemakaman Lo’ko Mata di Lembang Tonga Riu, Lo’ko Mata, Kecamatan Sesean Suloara’, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Sabtu (20/1/2018).

Daya tarik Lolai bukan hanya pemandangan lembah dengan hamparan sawah, bebatuan besar di dasarnya, dan pegunungan yang mengelilinginya. Ribuan wisatawan mengunjungi tempat ini pada pagi buta untuk menunggu keluarnya gumpalan kabut serupa awan yang menutup seluruh permukaan lembah dan gunung.

Saat kabut semakin tebal, sejauh mata memandang, di atas lembah dan pegunungan hanya gumpalan putih. Warna putih ini akan berubah keemasan di sebagian sisi kala matahari muncul dari balik gunung. Saat seperti ini, siapa pun yang berada di Lolai akan merasa seperti berada di atas awan. Itu pula mengapa Lolai kemudian terkenal dengan sebutan ”negeri di atas awan”.

Pagi itu, melewati jalan dan perkampungan sepanjang Rantepao-Rindingallo, rumah-rumah warga terlihat masih tertutup rapat. Deretan mobil yang melintas bisa dipastikan punya tujuan sama, yakni Lolai.

Benar saja, tiba di pelataran Tongkonan Lempe, pengunjung sudah padat. Tongkonan Lempe adalah salah satu lokasi yang terkenal dan jadi favorit untuk menyaksikan munculnya kabut. Hal sama terlihat saat sebelumnya melintas di To’tombi, satu lokasi lain untuk menikmati kabut di kawasan Lolai.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pengunjung menanti matahari terbit dari atas Tongkonan Lempe di Lolai, Lembang Benteng Mammullu, Kecamatan Kapala Pitu, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Sabtu (20/1/2018).

Menunggu mentari

Sembari menunggu cahaya mengusir gelap, kami dan pengunjung lain menyambangi warung-warung kopi di sekitar pelataran tongkonan (rumah adat Toraja). Menyeruput kopi sembari menunggu matahari terbit di antara gumpalan kabut seperti menjadi kegiatan wajib pengunjung yang datang ke Lolai.

Sebagian besar pengunjung yang duduk di pelataran atau berdiri di tepi bukit menghadap lembah memegang gelas berisi kopi. Melingkarkan telapak tangan ke cangkir, sambil mencoba mengusir dingin dengan setiap tegukan kopi.

”Ah, kalau saja minumnya kopi Toraja, pasti suasananya lebih pas. Sayang, kopinya pakai kopi kemasan,” kata Allang (30), salah seorang pengunjung.

Allang sedang tak beruntung pagi itu karena dari warung tempatnya memesan kopi, pemilik warung memberinya kopi kemasan. Tetapi, tentu saja tak semua warung menyajikan kopi kemasan karena di banyak warung lain, mereka tetap menyajikan kopi Toraja. Yang menyajikan kopi Toraja pun tak semua arabika, malah kebanyakan menggunakan robusta.

Saat cahaya mulai merekah di balik perbukitan, satu per satu wisatawan dan fotografer mulai menyiapkan kamera dan tripodnya untuk membidik serta mengabadikan momen. Mereka setia menunggu, berharap mendapat foto istimewa.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Lanskap dari atas Tongkonan Lempe di Lolai, Lembang Benteng Mammullu, Kecamatan Kapala Pitu, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Sabtu (20/1/2018).

Sejumlah gadis belia hingga ibu-ibu tak ketinggalan berswafoto ria dengan tongsis andalan mereka. Karena lokasi tersebut berada di bibir tebing, pengelola Lolai memasang pagar pembatas untuk menjaga keamanan pengunjung saat berfoto.

Sekitar pukul 05.30, selimut kabut hanya menghampar tipis. Matahari yang dinantikan pun sedikit tertutup mendung.

Namun, itu tak menghalangi wisatawan mengambil momen-momen emas. “Walaupun tidak sempurna, tapi lumayanlah. Yang pasti, saya masih penasaran. Saya pasti akan kembali lagi ke Lolai saat cuaca cerah,” tutur Hendrik (45), wisatawan pehobi fotografi asal Surabaya.

Walau lebih mahal, banyak pengunjung terpuaskan dengan kopi Toraja.

Warga setempat memberi masukan agar kembali ke Lolai saat musim kemarau. Jika pada musim hujan, seperti akhir tahun, fenomena hamparan kabut dan matahari terbit memang tidak akan terlalu sempurna.

“Tapi, kalau malamnya hujan, kemungkinan besar esok paginya akan terlihat jelas. Sayang semalam tidak hujan, paginya justru mendung,” ucap Arifin, salah seorang pemilik warung kopi di Lolai.

Biasanya, fenomena hamparan kabut dan matahari terbit itu selesai pukul 06.00-06.30. Sebagian wisatawan berangsur pulang dan sebagian lain masih tinggal untuk sekadar sarapan dan melanjutkan minum kopi.

Arifin mengatakan, semakin banyak pengunjung Lolai yang menanyakan kopi Toraja saat singgah di warungnya. Untuk itu, sejumlah pemilik warung berinisiatif menyediakan kopi Toraja, baik jenis robusta maupun arabika. Walau lebih mahal, banyak pengunjung terpuaskan dengan kopi Toraja.

Magnet baru

Soal kopi, siapa yang tak mengenal kopi Toraja? Selama puluhan tahun komoditas ini pernah menjadi salah satu urat nadi perekonomian warga.

Di Toraja, kopi memang sudah jadi bagian tak terpisahkan dalam keseharian warga. Pada hampir semua acara dan pesta adat, kopi merupakan minuman untuk menyambut tamu. Kopi juga menjadi minuman penghargaan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Muslimin, mantan pemain PSM, menikmati kopi susu di warung kopi Tong San di pertigaan Jalan Pasar Ikan dan Jalan H Bora, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (15/1/2018).

”Kalau ada acara adat, biasanya kopi disajikan untuk menyambut tamu. Kalau di acara rambu solo’, kopi menjadi minuman orang-orang yang berkumpul dan begadang mengikuti rangkaian prosesi. Kalau sehari-hari, kopi seperti minuman wajib di rumah-rumah warga. Jadi, kopi dan Toraja seperti tak bisa dipisahkan,” tutur Sulaiman Miting, salah satu pemangku adat dan juga pelaku wisata kopi.

Menurut dia, banyak pengunjung terutama dari luar negeri minta diantar ke kebun-kebun kopi di pegunungan sekadar untuk melihat-lihat dan bertualang. Bahkan, mereka juga berburu untuk membeli kopi langsung dari petani walaupun hanya 500 gram atau 1 kilogram kopi.

Pernah redup, pamor kopi Toraja kembali naik. Ini tak bisa lepas dari geliat pariwisata. Tak bisa dimungkiri, Lolai salah satu magnet yang punya peran besar dalam geliat pariwisata Toraja dalam dua hingga tiga tahun terakhir. Wisatawan yang ramai berkunjung ke Toraja juga membuat kopi sebagai buah tangan yang banyak dicari.

Peran sejumlah pelaku usaha dengan membuka kafe-kafe yang menyajikan kopi Toraja juga cukup besar. Kafe, yang lima tahun lalu masih sesuatu yang langka di Toraja, mulai bermunculan, antara lain Kaa Coffee, Jak Koffie, dan Kelana Street Coffee.

”Pariwisata bergeliat, pengusaha kopi bangkit, lalu tren kopi yang jadi gaya hidup menjadi sejumlah faktor yang membuat kopi dan wisata jadi dua hal yang tak dapat dipisahkan di Toraja,” ucap Micha Pali, pengelola Jak Koffie di Toraja Utara.

Hampir di setiap gerai selalu tersedia kopi sebagai buah tangan khas Toraja. Wisatawan domestik dan mancanegara tak pernah absen menjadikan kopi dalam daftar utama buruan oleh-oleh.

Pernah redup, pamor kopi Toraja kembali naik. Ini tak bisa lepas dari geliat pariwisata.

Mereka juga mau menikmati kopi di Toraja yang tidak lagi sekadar robusta. Mereka mencari kopi spesial dengan bentuk racikan dan penyajian beragam.

Saat berkunjung ke Lolai awal 2017, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga meminta masyarakat terus membenahi sektor pariwisata Toraja agar terus menggeliat. Kalla bahkan meminta pengelola tempat-tempat wisata lebih memperkenalkan dan mengangkat kopi Toraja dengan menjadikan kopi sebagai salah satu daya tarik. (RENY SRI AYU/GREGORIUS M FINESSO)