Gelombang ketiga kopi yang dipopulerkan Trish Rothgeb, salah satu ”roaster” (penyangrai) kopi dari Amerika Serikat sekitar enam belas tahun lalu, dirayakan gembira di Jawa Barat. Kopi tak sekadar diulik rasa dan pengolahannya, kreativitas pelakunya juga jadi bumbu penyedapnya.

Bermodal keuletan, petani lokal percaya diri mengekspor kopi secara mandiri. Kedai kopi yang bangga dengan kebun sendiri bermunculan. Koperasi dan kelompok tani bervisi hadir melindungi petani.

Hubungan dengan pelanggan itu seperti suami istri. Harus saling melayani dan terus dipertahankan.

Di antara tiupan angin malam pancaroba awal tahun 2018 di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, tekad kuat itu terlihat. Semangat 10 pekerja di tempat pengolahan kopi milik Wildan Mustofa, salah seorang petani kopi dari Pangalengan, masih menyala.

”Ada 9 ton kopi untuk dikirim ke Inggris. Varietasnya Friensa. Persilangan beberapa varietas arabika ini terjadi di kebun saya di Gunung Halu Bandung,” kata Wildan.

Tak ada di kebun petani lain, Wildan memperlakukan beras kopi Friensa seperti bayi. Karung kemasan berbahan kain halus, bukan goni yang kasar. Setiap sudut bak truk bakal pengangkut kopi menuju Pelabuhan Tanjung Priok diperiksa. Lantai bak truk bahkan dilapisi papan dan terpal, mencegah sobek memicu cacat pengiriman.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Karung-karung kopi diangkut dari gudang Frinsa Coffee di Pangalengan, Bandung, Jawa Barat, untuk diekspor, Rabu (29/11/2018).

”Hubungan dengan pelanggan itu seperti suami istri. Harus saling melayani dan terus dipertahankan,” ujar Wildan.

Ia mengatakan, kepercayaan konsumen mancanegara tak datang instan. Tujuh tahun terakhir, ia banyak belajar tentang kopi dari nol, mulai dari kebun di hulu hingga tata niaga di hilir.

Wildan juga rajin menantang diri. Ia rajin ikut uji cita rasa di beberapa negara dengan biaya sendiri. Hal itu berhasil membuka komunikasi mulus dengan konsumen beragam negara. ”Saya ingin terlibat menyusun kepingan kebangkitan kopi Jabar. Caranya, memberikan beras kopi terbaik untuk masyarakat dunia,” ucapnya.

Wildan tidak sendirian. Petani di Cikandang, Garut, percaya diri dengan kopi yang mereka tanam dengan cinta. Tahun ini, sebanyak 42 ton kopi arabika berbuah kuning milik petani Cikandang dikirim ke Korea Selatan.

”Orang Korea Selatan datang untuk uji cita rasa di Garut. Kopi koneng andalan kami memperoleh skor 86,97,” kata Uloh Sutarman, tokoh petani setempat.

Saat kebutuhan rumah tangga petani terpenuhi dan mampu merasakan harga panen lebih baik, petani bisa fokus menghasilkan kopi terbaik.

Uloh menyebutkan, keberhasilan ini tak lepas dari kemauan petani membangun masa depan kopi lewat Koperasi Karya Mandiri yang dimulai enam tahun lalu, kini anggotanya mencapai 223 orang. Jumlah pohon kopi yang dikelola bervariasi, 500-2.000 batang.

Koperasi memberikan banyak manfaat. Mereka sepakat menerapkan penjualan satu pintu. Ulah saling banting harga demi keuntungan instan tak ada lagi. Terakhir, kemauan mereka untuk berserikat memuluskan kerja sama permodalan dengan salah satu bank skala nasional.

”Saat kebutuhan rumah tangga petani terpenuhi dan mampu merasakan harga panen lebih baik, petani bisa fokus menghasilkan kopi terbaik,” lanjutnya.

Kawasan perkebunan Gambung, Desa Mekarsari, Kabupaten Bandung, yang diduga menjadi salah satu daerah awal kopi ditanam sebagai komoditas perkebunan awal tahun 1700, juga punya gairah serupa. Kejayaan kopi Gambung yang pudar tahun 1870-an coba diangkat lagi di antara hamparan kebun teh.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Perkebunan kopi di kawasan Gambung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (27/1/2018). Selain teh, kopi mempunyai sejarah panjang bagi masyarakat Gambung. Kedua komoditas tersebut kini menjadi salah satu sumber penghidupan masyarakat.

Tergabung dalam Lembaga Masyarakat Dalam Hutan (LMDH) Desa Mekarsari, petani dibantu bercocok tanam, pemetikan, dan pencucian kopi yang baik. Sejumlah alat pascapanen juga bisa dipakai bersama untuk meningkatkan kualitas biji kopi. Javanero, perusahaan swasta yang fokus pengembangan kopi Nusantara, ikut mendampingi petani.

Sekretaris LMDH Mekarsari Dedi Darmadi mengatakan, penjualan kopi juga dikelola mandiri. Semua pengepul, wajib membeli kopi petani dari LMDH. Tujuannya, menghindari kopi petani dihargai terlalu murah.

”Seluruh data menyangkut kopi di Mekarsari ada di LMDH, misalnya data panen awal ataupun basis data panen secara keseluruhan. Sebanyak 20 persen dari penjualan dibagi untuk Perhutani, pendapatan desa, dan LMDH,” tutur Dedi.

Pemerintah desa pun tak tinggal diam. Kepala Desa Mekarsari Ferry Januar Pribadi mengatakan tengah menggagas anjungan tunai mandiri kopi yang bakal bekerja sama dengan badan usaha milik desa (BUMDes). Nantinya, petani yang hendak menjual kopi bisa memanfaatkan layanan ini. Uangnya langsung masuk ke rekening tabungan masing-masing.

“Pencairan rekening disesuaikan dengan kebutuhan petani. Bila butuh sembako (bahan kebutuhan pokok), BUMDes bisa menyediakannya. Harapannya, perputaran uang tetap ada di kawasan Mekarsari,” katanya.

Dengan mengusung merek “Kopi Aing”, Gani Rustendi (38) dan Evin Brenda Firmansyah (33) punya acara lain. Mereka tak hanya fokus merawat kebun hulu, tetapi juga terjun dalam penyangraian hingga buka kafe di hilir. Kebun kopi mereka di Puntang, Kabupaten Bandung, ditanami sekitar 4.000 pohon sejak tujuh tahun lalu. Sementara rumah sangrai dan kafe, yang menyediakan 70 racikan kopi, ada di Kota Bandung.

Gani menyebutkan, menggarap kebun dan melakukan penyangraian sekaligus bukan sekadar mencari rupiah. Metode ini memudahkan kontrol untuk mendapat biji terbaik. Mulai dari mengawal kualitas penanaman, evaluasi biji kopi, hingga meminimalkan kerugian akibat biji kopi cacat saat digoreng.

Evin yang bertanggung jawab mengelola kafe mengatakan, semua kopi yang digunakan di Kopi Aing berasal dari Puntang. Pernah menimba ilmu tentang kopi di Italia selama setahun, dia mengatakan, penting bagi barista untuk mengetahui biji kopi yang akan dipakai. Apabila sekadar membeli, barista rentan tak tahu kualitas keseluruhan biji kopi.

“Hal itu akan memengaruhi rasa kopi, akan diminati atau tidak,” kata Evin, yang kerap memberikan pelatihan gratis bagi calon barista.

Tidak hanya menjaga kualitas kopi saat diseduh, cara ini juga jadi modal memakmurkan kebun. Sebagian keuntungan digunakan membayar upah pekerja Rp 50.000 per hari, membiayai penanaman pohon pelindung, pemupukan, penyiangan, serta penjarangan daun dan ranting kopi.

“Selama tujuh tahun terakhir, kami percaya, saat kualitas di hulu terjaga, usaha di hilir bakal tanpa kendala. Bila kebun rusak, kopi tidak akan bertahan lama,” ucapnya.

Seperti kata Kahlil Gibran, pujangga besar yang juga penikmat kopi, “Kerja adalah wujud nyata cinta. Jika tak dapat bekerja dengan cinta, tinggalkanlah kerja itu”.

Perlahan hal itu tetap dilakukan. Tak hanya dengan cinta, tapi setia, penuh kreativitas, dan bahagia. (CORNELIUS HELMY/SAMUEL OKTORA/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA)