Perjumpaan Samuel Sihombing (50) dengan petani kopi di dataran tinggi Dairi, Sumatera Utara, menyisakan gelisah. Harga kopi saat itu terpuruk. Banyak petani nekat membabati tanamannya. Mereka lupa bahwa harga dapat jatuh, tetapi juga dapat naik kembali.
Praktik gonta-ganti tanaman karena terprovokasi fluktuasi harga bagaikan momok di wilayah itu. Satu persoalan direspons cepat. Sering kali tanpa pertimbangan jangka panjang. Padahal, kopi merupakan komoditas jangka panjang. Semestinya dapat menjadi tabungan seumur hidup.
Samuel masih ingat, harga kopi semula stabil Rp 20.000 per kilogram. Sepanjang 2011 hingga 2012, harga kopi mulai jatuh, sementara harga jeruk beranjak naik.
Perkembangan itu membuat petani galau. Mereka pun nekat membabati tanaman kopinya, menggantinya dengan jeruk. ”Petani lupa, budidaya jeruk berisiko lebih tinggi. Harganya fluktuatif. Ancaman hamanya bahkan lebih tinggi,” ucapnya.
Ia pun mendekati petani kopi yang tersisa. Mereka diajak tetap bertahan merawat tanaman yang ada. Namun, petani pun ragu, sampai kapan mereka dapat bertahan jika harga tak kunjung membaik. ”Kapan harga kopi akan kembali naik? Itu yang selalu ditanyakan kepada saya,” ungkapnya.
Dihadapkan pada pertanyaan yang sama, Samuel pun berpikir harga pasar mungkin sulit dikendalikan. Akan tetapi, ada cara lain yang bisa mereka upayakan, yakni membangun pasar alternatif.
Organik
Sebelum akrab dengan dunia kopi, lulusan Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, itu dikenal sebagai pendeta. Samuel rutin berkhotbah dari satu mimbar ke mimbar lain.
Namun, ia tak mau hanya mengabdi di atas mimbar. Samuel aktif dalam pendampingan petani menuju pertanian berkelanjutan. Ia pun membangun lembaga swadaya masyarakat Petrasa.
Lembaga itu bergelut pada pengembangan ekonomi dan teknologi selaras alam, yang beraliansi dengan Bread for the World (Brot fuer die Welt). Lokasi dampingannya di Kabupaten Dairi dan sekitarnya.
Sejak adanya pendampingan, Samuel melihat, biji kopi arabika petani Dairi telah jauh lebih berkualitas. Petani sadar menjalani praktik budidaya kopi yang selaras dengan alam. Pupuk dan pembasmi hama diproduksi dari bahan-bahan alam yang ada di sekitar mereka.
Budidaya juga dibangun secara agroforestri. Di sela tanaman kopi, ditanami pula jenis tanaman penaung, seperti lamtoro, alpukat, atau durian. Penaung bermanfaat menghalangi sinar matahari langsung, hujan, ataupun angin kencang yang berpotensi mengeringkan daun dan merontokkan bunga kopi.
Petani telah diajari membibitkan tanaman dengan benar. Mereka tidak mengambil buah sembarangan untuk ditanam. Bibit harus berasal dari biji kopi yang berkualitas baik.
Samuel mendatangkan ahli perkopian untuk mengajari pengolahan buah hingga biji beras kopi. ”Selama ini, petani terbiasa menjual buah merah yang harganya rendah. Untuk mendapatkan nilai tambah, mereka perlu mengolahnya sampai minimal jadi biji beras,” tuturnya.
Bisa dikatakan, petani setempat sudah selangkah lebih unggul. Namun, kebiasaan menjual hasil panen kopi langsung ke Medan mengakibatkan kopi petani selalu berharga rendah. Tantangan besar adalah membuka pasar alternatif.
Memacu
Tahun 2014, Samuel berkesempatan menghadiri sebuah pameran pertanian organik di Nuernberg, Jerman. Ia bertemu dengan sejumlah pengusaha kopi. Salah satu calon pembeli langsung menyatakan minat untuk mencicipi kopi yang dibawanya.
Setelah uji cita rasa, didapatkan skor 88. Si pembeli pun tertarik untuk langsung memesan satu kontainer biji kopi atau sebanyak 18 ton. Harga kontraknya pun lebih tinggi 1,4 dollar AS per kilogram dari harga pasaran saat itu. Namun, pembeli menuntut kualitas kopi yang prima.
Hal itu memacu petani untuk menghasilkan kopi yang baik. Saat harga gabah pasaran mencapai Rp 24.000 per kilogram, gabah petani setempat dibeli Rp 27.000. “Karena itu, orang berlomba-lomba menghasilkan kopi yang bagus karena hanya kopi bagus yang diterima,” ujarnya.
Samuel tahu betul perjuangan petani bertahan dari godaan menanam komoditas lain. Demi menjaga penghidupan keluarga petani, dari hasil penjualan biji dan bubuk kopi, ia mendonasikan 10 persen keuntungan dari penjualan kopi untuk beasiswa anak-anak petani kopi.
Ia pun mengerahkan perantau asal Dairi di Jakarta untuk berdonasi kopi. Caranya, setiap orang memberikan bantuan bibit kopi untuk keluarga petani dampingan. Jumlah bibit yang wajib dibantu minimal 500 batang kopi per petani. “Kalau satu petani mendapat bantuan 500 bibit baru, bisa dibayangkan luasnya hamparan baru kopi dalam beberapa tahun ke depan,” lanjutnya.
Samuel juga membuka gerai dan kedai kopi sederhana di Sidikalang. Kedai itu diberi nama Poda, singkatan dari petani organik Dairi. Di kedai itu, seduhan kopi hasil olahan petani dapat dinikmati. Dipasarkan pula biji dan bubuk kopi dengan beragam bentuk olahan.
Tak sampai di situ, ia juga mendorong wisata edukasi kopi. Banyak mahasiswa dan peneliti dari luar negeri atau luar daerah berkunjung untuk studi banding kopi. Ia mengelola itu dengan serangkaian kegiatan, mulai dari kebun hingga minuman hangat kopi ”from the field to the cup”. Tamu diajak ke kebun petani untuk melihat langsung budidaya hingga proses pengolahan. Ujungnya adalah menikmati seduhan kopi di tepi Danau Toba.
Kesibukan mendampingi petani kopi kian mengurangi intensitasnya berkhotbah di atas mimbar. Dalam setahun terakhir, praktis hanya sekali. Sebagian besar waktunya tercurah di kebun kopi dan kedai.
”Akhirnya, sekarang lebih banyak khotbah kopi,” ujarnya tertawa. (NIKSON SINAGA/IRMA TAMBUNAN)
Biodata
Nama: Samuel Sihombing
Lahir: Tapanuli Utara, 8 Juni 1967
Pendidikan: S-1 Teologi di Universitas Kristen Duta Wacana
Anak: Grace, Poda, Gloria
Istri: Elka Natalia Tampubolon (35)