Belasan tahun, Yusianto (57) menekuni profesi sebagai penguji cita rasa kopi (Q grader) pada Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, Jawa Timur. Lidahnya telah mengecap kopi dari sejumlah daerah di Tanah Air. Perpaduan konsentrasi dan ketajaman indera menjadi kunci utama saat ia bekerja.
Sudah tidak terhitung berapa cangkir kopi yang mampir ke lidahnya sepanjang Yusianto berkarier. Mulai dari kopi enak dengan grade tinggi sampai kopi yang dapat dikatakan bercampur “kotoran kerbau” pernah disodorkan kepadanya untuk diuji. Hasilnya ia torehkan dalam wujud skor.
Klien Yusianto bahkan berasal dari seluruh Indonesia hingga luar negeri. Selain menjadi penguji, ia juga menjadi instruktur pelatihan cita rasa kopi. Sejumlah pelaku industri kopi dari luar negeri, antara lain Malaysia, Korea, Jepang, serta Amerika, juga pernah kursus di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) dan bersinggungan dengannya.
“Uji cita rasa itu masalah konsentrasi, bukan kepekaan hidung atau lidah. Kalau sudah terbiasa konsentrasi, kita akan lebih peka. Dan, karena ini keterampilan, kuncinya terus belajar,” ujar Yusianto, akhir Januari lalu. Siang itu, kopi milik delapan klien telah menunggu untuk diuji olehnya.
Menurut Yusianto, indera penciuman dan perasa diandalkan untuk mencicipi kopi. Namun, sebelum itu, mereka harus menguasai uji dasar lebih dulu, antara lain membedakan cita rasa seperti asin, manis, masam, dan pahit. Selain itu, mereka juga harus mampu mengidentifikasi berbagai aroma.
Dari 36 panduan aroma, ujar Yusianto, bahkan hanya beberapa aroma yang biasa muncul pada kopi, mulai dari jamu, bunga, buah, hingga kayu, cengkeh, lada, dan jahe. Dari aroma dapat dideteksi jenis kopi, apakah robusta, arabika, atau liberika. Meski demikian, terkadang, dari aroma belum tentu dapat diidentifikasi jenis-jenis kopi.
Aroma juga dapat menentukan daerah asal kopi meski tidak mutlak. Kopi yang ditanam di Jawa Barat, misalnya, memiliki kemiripan aroma dengan Aceh. Namun, aroma itu terkadang menjadi netral akibat proses pengolahan. “Bila kopi Aceh dan Jawa Barat diolah natural semua, ya, akhirnya sama. Baunya bau ‘buah’ semua. Tidak semua ciri khas aroma mencirikan daerah,” tutur pria yang lahir di Nganjuk itu.
Bicara soal kualitas, lanjut Yusianto, kopi Indonesia rata-rata memiliki grade tinggi. Kopi Jawa Timur, misalnya, memiliki nilai 83-84; kopi Jawa Barat 85; sementara kopi Aceh, Gayo, dan Toraja dapat mencapai 86-87. Namun, di Aceh, Gayo, dan Toraja dapat pula ditemukan kopi dengan skor 79 akibat buruknya perawatan tanaman.
Yusianto menekuni Q grader sejak tahun 2009 saat dirinya memperoleh sertifikat penguji cita rasa internasional dari Asosiasi Kopi Spesialti Amerika (SCAA). Ia merupakan angkatan pertama dari Indonesia sekaligus orang pertama di Puslitkoka yang mendapat sertifikat. Sebelumnya, di Puslitkoka Yusianto berprofesi sebagai peneliti pascapanen untuk bagian pemrosesan.
Sertifikat yang diraih Yusianto khusus pada jenis kopi arabika meski dia juga terampil menguji robusta. Q grader lain di Puslitkoka, Dwi Nugroho, juga akhirnya mahir menguji berbagai jenis kopi meski hanya mendapatkan sertifikat untuk satu jenis kopi.
Anak peminum kopi
Yusianto, ayah lima anak itu, memulai karier di Puslitkoka sejak 1988. Setelah lulus dari Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian, ia langsung ke Jember. Lima tahun pertama, ia meneliti kakao. Kemudian, Yusianto muda mulai diizinkan ikut meneliti kopi.
Meski setiap hari “menjamah” kopi, Yusianto mengaku tidak fanatik dengan kopi tertentu. Bahkan, dia tidak alergi dengan kopi produksi pabrik jika sedang jauh dari kopi spesialti. “Saya harus bisa (minum) semua, tidak fanatik. Kopi saset kalau bisa dihindari, ya, dihindari. Tapi jika tidak ada pilihan, ya, diminum, soalnya kepala pusing kalau tidak minum kopi,” ujar pria yang sering membawa kopi sendiri saat bepergian ini.
Dari semua kopi di Indonesia, Yusianto paling suka kopi Gayo. Alasannya, kopi Gayo memiliki cita rasa khas dan kompleks dibandingkan kopi-kopi lain. Terlebih lagi karena ada aroma khas, yakni karamel dan floral. “Pada kopi Gayo hampir semua flavour ada,” ucap Yusianto.
Kedua orangtua Yusianto adalah peminum kopi. Begitu pula dengan sebagian anaknya, yang kini menyukai kopi meski ada yang lebih suka dengan kopi saset buatan pabrik.
Asah kemampuan
Menjadi seorang ahli uji cita rasa kopi membuat Yusianto harus terus mengasah kemampuan indera pencecap dan penciumannya. Indera pencecapnya dituntut bisa membedakan rasa dasar, sementara indera penciumnya harus tetap peka untuk mendeteksi aroma.
Kepada Kompas, Yusianto menunjukkan sebuah kotak berisi 36 botol seukuran jari kelingking orang dewasa. Botol tersebut berisi ekstrak aneka aroma. Di atas kotak tersebut terdapat buku panjang bertuliskan Le Nez du Cafe yang dalam bahasa Inggris berarti ’The Nose of Coffee’ atau Hidung Kopi.
“Berdasarkan Le Nez du Cafe, ada 36 jenis aroma dasar dalam kopi. Kami bukan tebak-tebakan, melainkan mendeteksi aroma dan cita rasa yang muncul dari kopi,” ujarnya.
Walau bertahun-tahun menekuni bidang tersebut, Yusianto merasa masih perlu mengasah ilmu. Baginya, uji cita rasa kopi itu merupakan ilmu keterampilan, bukan ilmu pengetahuan yang cukup dihafal. Lidah dan hidungnya harus terus diasah. Selanjutnya, ia juga perlu melatih konsentrasi agar bisa fokus pada apa yang ia cium dan sesap, juga supaya lebih mudah dalam membedakan seruputan kopi yang satu dengan yang lain.
Uji cita rasa kopi itu merupakan ilmu keterampilan, bukan ilmu pengetahuan yang cukup dihafal.
Karena bertekad terus-menerus mengasah keterampilan, Yusianto tak pernah menolak jika diminta mencicipi atau menilai kopi siapa pun. Sering kali, ketika jalan-jalan atau tugas di suatu tempat, ia bertemu pelaku industri kopi yang memintanya memberikan penilaian.
“Beberapa kali saya lagi jalan-jalan, eh, ada yang meminta saya mampir ke kedainya untuk ngincipi kopinya, sekaligus memberikan scoring. Ya, saya beri skor sejujurnya dan gratis. Kalau skor dari saya gratis, tapi tidak dapat sertifikat penilaian dari Puslitkoka,” tutur Yusianto sambil tertawa.
Memperluas persahabatan
Yusianto mengakui, kopi membuat persahabatannya semakin luas. Berkat kopi, ia dikenal banyak orang dan jaringannya tersebar hingga ke luar negeri. Tidak jarang Yusianto diminta untuk menjadi penguji cita rasa kopi di sejumlah negara.
“Kopi enak itu kalau dia juga bisa enak saat dicampur yang lain. Dicampur gula atau dicampur susu tetap enak. Demikian juga dengan hidup, harus mudah bercampur dan berbaur dengan orang lain. Semakin banyak kawan, semakin bahagia. Kunci kebahagiaan bukan hidup menyendiri,” ujarnya.
Sampai kapan Yusianto akan menjadi penguji cita rasa kopi? Ia hanya tersenyum. Ketika didesak, ia menjawab, ”Sampai keterampilan saya tidak bisa digunakan lagi.”
Bagi Yusianto, kopi bukan sekadar minuman. Ada filosofi khusus saat dirinya mencicipi kopi, yakni jangan percaya pada seruputan pertama. Alasannya, pada seruputan pertama, biasanya lidah masih beradaptasi. “Begitu pula dalam kehidupan, jangan percaya pada pandangan pertama terhadap orang lain. Pandangan pertama biasanya tidak bisa menggambarkan sikap seseorang secara keseluruhan,” katanya sambil tertawa kecil. (DEFRI WERDIONO/ANGGER PUTRANTO)
Biodata
Nama: Yusianto
Lahir: Nganjuk, 12 Mei 1961
Istri: Pujiati (54)
Anak:
- Alif M Ahmad
- Zihaulhaq Muhammad
- Bernas Panduhusna
- Thursina FU Muhammad
- Maryam I Istiqomah
- Sarah M Hasanah
Pendidikan:
- SD Selorejo, Bagor, Nganjuk
- SMP PGRI 6 Bagor, Nganjuk
- SMA 1 Nganjuk