Kalimantan Barat tidak memiliki perkebunan kopi besar. Meskipun demikian, di Pontianak, warung kopi tumbuh dan menjadi ruang publik yang digandrungi. Warung kopi tak hanya menyajikan secangkir kopi, tetapi juga menyediakan ruang ekspresi bersama, meneguhkan kebersamaan serta tempat meracik berbagai ide.
Senin (14/5/2018) sejak pukul 04.00 WIB, Warung Kopi Asiang di Jalan Merapi, Pontianak, sudah dipadati warga dari berbagai lapisan, antara lain pedagang dan pegawai pemerintahan. Warung kopi tersebut berdiri sejak 1958 dan kini dipegang generasi kedua.
Pagi-pagi buta, Asiang (63), pemilik warung kopi sekaligus barista, sudah sibuk meracik kopi hitam dan kopi susu. Jari-jemarinya lincah. Penampilan Asiang yang khas tanpa menggunakan baju saat meracik kopi menjadi brand warung kopi tersebut. Bahkan, wisatawan belum sah datang ke Pontianak jika belum minum kopi di warung kopi Asiang.
Ia menyeduh dengan cara tradisional, tidak ada mesin yang modern. Namun, banyak yang suka dengan racikannya. Ia menggunakan kopi robusta yang dipesan dari petani kopi di Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya.
Dalam sebulan ia memesan sekitar 3 ton kopi, tetapi tidak semuanya diseduh, ada pula dijual dalam bentuk kemasan. Setiap hari sekitar 600 cangkir kopi terjual. Kopi hitam dijual 8.000 per cangkir, sedangkan kopi susu Rp 9.000 per cangkir.
“Saya selalu ngopi di sini hampir setiap pagi karena racikannya pas dengan selera saya. Perpaduan pahit dan manis pada kopi susu yang pas. Sering juga saya membawa relasi saya ke warung kopi ini untuk membahas berbagai hal,” ujar Benus Syamsiar (35), pelanggan di Warung Kopi Asiang.
Di Pontianak terdapat ratusan warung kopi yang sebagian besar terletak di Jalan Tanjungpura dan Jalan Gajah Mada serta sekitarnya. Di situ terdapat ratusan warung kopi. Bahkan, di Jalan Gajah Mada terdapat tulisan ”GM Coffee Street” yang menjadi julukan untuk jalan tersebut karena banyaknya warung kopi di pinggir jalan itu.
Ketika malam Minggu, kursi dan meja di warung-warung kopi dan kafe disusun hingga teras karena banyaknya pengunjung yang datang. Masyarakat menikmati malam Minggu sambil ngopi di ruang terbuka. Pada hari-hari biasa pun orang bisa bertahan nongkrong di warung kopi membahas berbagai macam hal.
Ruang alternatif
Warung kopi menjadi ruang tersendiri bagi masyarakat di Pontianak. Belum optimalnya ruang publik lainnya, misalnya taman untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat terhadap ruang publik, membuat warung kopi digandrungi. Ditambah lagi pada tahun 2000-an muncul demam kopi.
Penulis buku mengenai warung kopi di Pontianak, Ahmad Sofian, mengatakan, di warung kopi berkembang suasana egaliter. Pejabat hingga masyarakat bisa juga datang ke warung kopi di pinggir jalan. “Mereka menggunakan jenis kursi dan cangkir yang sama. Tidak ada sekat dan perbedaan strata sosial di sana,” kata Ahmad.
Bahkan, Presiden Joko Widodo pun nongkrong di warung kopi saat berkunjung ke Pontianak beberapa waktu lalu. Masyarakat dari lintas agama dan suku pun duduk dalam satu meja dalam suasana kebersamaan.
Warung kopi juga menjadi tempat meracik ide-ide besar, misalnya dalam membuat kesepakatan politik.
Saat situasi sedang “panas”, kebersamaan tetap terjaga di warung kopi. “Bahkan, ada yang mengatakan, dalam situasi sosial yang sedang tidak kondusif pun, selama warung kopi masih buka, artinya situasi masih terkendali,” ujar Ahmad.
Warung kopi juga menjadi tempat meracik ide-ide besar, misalnya dalam membuat kesepakatan politik. Selain itu, ruang alternatif kalangan muda berdiskusi mengenai keberagaman. Komunitas Satu Dalam Perbedaan (Sadap), misalnya, kerap menjadikan warung kopi sebagai tempat lahirnya ide-ide mengampanyekan keberagaman.
“Di warung kopi lebih santai. Bagi anak muda seperti kami, ide kreatif sering muncul di warung kopi, misalnya membuat web yang mengampanyekan keberagaman serta aksi nyata di lapangan,” ujar Koordinator Sadap Isa Oktaviani.
Kedai kopi di Kanopi Center, misalnya, memberikan ruang alternatif bagi berbagai komunitas, antara lain seni, film, dan terkait keberagaman. Bahkan, Deny Sofian, pendiri Kanopi Indonesia, tidak memungut biaya bagi komunitas yang melaksanakan kegiatan baik diskusi terkait politik dan keberagaman maupun seni di kedai kopi.
Sejarawan dan juga budayawan Pontianak, Syafaruddin Usman, menyebutkan, Pontianak sebetulnya pernah memiliki perkebunan kopi besar, tepatnya di Sungai Kakap, yang sekarang bagian dari Kabupaten Kubu Raya dan daerah Pal 9. Perkebunan itu dibangun tahun 1930-an. Bahkan, dari kopi, penduduk di daerah tersebut kala itu bisa naik haji dari penghasilan mereka bertanam kopi.
Namun, ketika Jepang masuk Kalbar sekitar 1941, petani menjadi tidak berminat lagi memelihara kopi. Masyarakat berpikir, kalaupun mereka masih memelihara kopi, toh, akan jadi milik penjajah. Meski demikian, kebunnya masih ada.
Kedai kopi pun sebenarnya muncul duluan saat orang Tionghoa datang ke Pontianak sekitar tahun 1770. Mereka melihat peluang bisnis itu setelah mengamati pedagang dari Timur Tengah yang suka minum kopi robusta arabika. Apalagi, Sungai Kapuas pernah menjadi jalur perdagangan yang sibuk. Dari sanalah muncul budaya ngopi.
Selama berpuluh-puluh tahun, bahan baku kopi masih didapat dari petani di sekitar Sungai Kakap dan Pal 9. Ketika kebun kopi tidak lagi luas, faktanya masih bisa untuk memasok ke kedai kopi milik masyarakat Tionghoa.
Seiring dengan waktu, pada 1927, kedai kopi di Pontianak kian tumbuh di sekitar Jalan Tanjungpura. Hal itu sekaligus menandai berdirinya Pasar Tengah Pontianak. Kini, warung-warung kopi pun tersebar di berbagai sudut ”Kota Khatulistiwa” tersebut. (EMANUEL EDI SAPUTRA)