Jangan heran berkunjung ke Kedai Kopi Apek di Jalan Hindu, Kota Medan. Siapa pun rela mengantre demi secangkir kopi dan berbaur dengan lainnya. Kedai berusia seabad itu pun menjadi saksi sejarah singgahnya tiga masa peradaban.

Giliran di masa pergerakan kemerdekaan RI, para pejuang Tanah Air berkumpul di sana untuk membahas strategi perang sembari menyeruput kopi.

Saat pembangunan kebun karet meledak di Sumatera Timur, awal abad ke-20, pegawai-pegawai perkebunan singgah di Kedai kopi Apek untuk menikmati kopi. Pada zaman pendudukan Jepang, tentara penjajah pun kerap mampir. Giliran di masa pergerakan kemerdekaan RI, para pejuang Tanah Air berkumpul di sana untuk membahas strategi perang sembari menyeruput kopi.

Mungkin hampir semua orang yang singgah di kota itu akan menyempatkan diri mampir ke Kedai Kopi Apek yang terletak di Jalan Hindu, kawasan kota lama, Medan. Ada yang sekadar ingin merasakan sensasi berbaur. Ada pula yang khusus menikmati seduhan kopi susu dan kopi hitam yang melegenda itu.

Sebagaimana kedai-kedai kopi tua, hampir tak ada yang berubah dari wajah Apek meski usianya telah hampir seabad. Meja-meja bulat yang mengisi ruangan masih sama: meja kayu dan marmer.

Meski sederhana dan cenderung bernuansa kuno, di kedai itu, orang rela mengantre untuk mendapatkan jatah tempat duduk. Peneliti agrarian asal Denmark, Christian Lund, sewaktu singgah beberapa waktu silam, merasakan sensasi menikmati kopi hitam atau yang biasa disebut ”kopi O”.

“Saya dengar kopi Sumatera enak, dan benar, ini enak,” kata Christian.

Suasana di Kedai Kopi Apek di Jalan Hindu, Kota Medan.

Tak hanya dari Denmark, pengunjung kedai datang dari mana-mana, mulai dari Belanda, India, China, hingga tanah Batak, Mandailing, Karo, dan Jawa. Dari rakyat biasa hingga pengusaha kaya. Pejabat atau anak-anak muda. Duduk sedapatnya asalkan bisa bergabung di dalam kedai.

Tidak berubah

Kopi kental ala Kedai Apek memang terasa di lidah. Cita rasanya tidak berubah sejak tahun 1922 kedai itu beroperasi.

Awalnya, kawasan Kota Tua Medan merupakan pusat perkantoran perkebunan Sumatera Timur yang merupakan investasi Eropa-Amerika. Warung itu didirikan oleh Thia A Kee dan Khi Lang Kiao, imigran asal Hong Kong. Lalu, diteruskan oleh anaknya, Thia Tjo Lie alias Apek. Apek meninggal beberapa tahun lalu. Kini, usaha itu dikelola anak Apek, Suyanti (42), mantan pramugari yang rela pulang untuk mengelola warisan keluarganya.

Di masa hidupnya, Apek merahasiakan resep kopinya. Demikian juga dengan Suyanti. “Kopi (dari) sini-sini saja,” kata Suyanti. Mereka tetap menjaga kualitas rasa sehingga pelanggan tidak pergi. Namun, sebelum meninggal, ketika bercakap dengan Kompas, Apek pernah mengatakan, kopi yang paling enak menurut dia adalah kopi asal Sidikalang dan kopi Lintong dari Kabupaten Humbang Hasundutan.

Budaya ngopi yang begitu kental di Kota Medan lebih banyak dipengaruhi tradisi kopi ala tiam. Di tepi-tepi jalan berdiri kedai-kedai kopi. Masing-masing menawarkan magnet berbeda bagi pelanggan.

Suasana di Kedai Kopi Apek di Jalan Hindu, Kota Medan.

Tak jauh dari Kedai Kopi Apek, ada pula Warung Kopi Pa Geleng yang berusia lebih dari 50 tahun. Perintis usaha itu, Josia Ginting—dipanggil Pa Geleng—pun telah meninggal.

Warkop tersebut dikenal sebagai gudangnya pemain catur amatir. Maka, tak heran jika acap kali singgah di warkop yang beroperasi sejak tahun 1960 itu, akan kita dapati banyak pemain catur sedang mencari lawan tanding.

Hanya dengan memesan segelas kopi, mereka bebas berjam-jam duduk di dalam kedai. Semakin malam, makin bertambah seru dan panas pertandingan itu.

Demi memenuhi besarnya minat ngopi dan bertanding catur, warung itu pun dibuka selama 24 jam. “Kami, saudara-saudara almarhum Pa Geleng, berganti-gantian menjaga warung,” ujar Bibi Dewi, salah satu penerus usaha itu di Jalan Jamin Ginting, Simpang Pos Padang Bulan.

Selain menjadi tempat singgah dan beristirahat pelintas, warung itu pun menjadi barometer perpolitikan daerah. Meski jaraknya 70-an kilometer dari Berastagi, Kabupaten Karo, Warkop Pa Geleng selalu ramai disinggahi warga Karo. Terlebih menjelang pemilihan kepala daerah atau legislatif, makin ramailah pengunjung kedai. Perdebatan politik dalam warung kian semarak. Masing-masing berupaya memenangkan jagoannya. Persis seperti dalam pertarungan catur.

Kerah putih

Antropolog dari Universitas Negeri Medan, Erond Damanik, mengatakan, kebiasaan minum kopi di Sumatera bagian utara terekam pada catatan kolonial. Kalangan elite atau para pejabat perkebunan sawit di abad ke-18, misalnya, kerap minum kopi bersama di hotel-hotel. Sebut saja di Hotel De Boer, Grand Medan, Siantar Hotel, Grand Berastagi Hotel, atau Grand Parapat Hotel.

Perilaku minum kopi di kalangan planters ini sering pula berlangsung di klub-klub khusus ”kerah putih” pada akhir pekan yang berlangsung di Witte Societeit di Medan atau Simalungun Club di Pematang Siantar. “Di tempat ini, tema pokok pembicaraan seputar kebijakan perkebunan pemerintah kolonial, membaca koran dan buku, dancing, sampai tukar-menukar informasi seputar perkebunan dan lain-lain,” tutur Erond.

Di luar itu, terdapat restoran seperti Jankie atau kini disebut Tiptop Restaurant yang turut menyajikan kopi.

Kini, meluangkan waktu di sela kesibukan dengan minum kopi pun kian jamak. Meski akrab dengan ajakan “mari kita ngopi”, sebenarnya itu lebih menyiratkan ajakan untuk berkumpul dan berbincang.

Meski akrab dengan ajakan “mari kita ngopi”, sebenarnya itu lebih menyiratkan ajakan untuk berkumpul dan berbincang.

Di sejumlah negara, ungkapan kopi atau ngopi pun beragam, misalnya fika di Swedia, merienda di Argentina, serta gabelfrühstück di Austria dan di Jerman yang berarti sarapan kedua. Di Etiopia, melekat istilah buna tetu yang berarti upacara minum kopi. Ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan kopi ini mengingatkan pada kedekatan kopi yang mentradisi di berbagai belahan dunia.

Berbeda dengan teh dan susu, kopi bertransformasi menjadi gaya hidup modern terutama pada masyarakat urban masa kini. Kedai mengemas kopi bukan sekadar minuman pelepas dahaga, tetapi yang terpenting citra yang dibentuk dari ngopi. “Bukan kopinya yang berhasil membuatnya menjadi gaya hidup, tetapi justru citra minum kopilah yang berhasil bertransformasi menjadi gaya hidup,” kata Erond, mengutip Featherstone dalam buku Consumer Culture and Postmodernism (1991).

Buku itu pun menyebut kopi sebagai konsekuensi logis budaya konsumsi yang menggunakan image, sign, dan benda simbolik yang menyiratkan mimpi (dream), keinginan (desire), ataupun fantasi (fantasy) yang menyematkan kenyamanan dan kesenangan.

Melahirkan gerakan

Beragam mimpi dan keinginan pun dapat mewujudkan satu gerakan. Di sejumlah negara, kopi melekat dalam berbagai aktivitas pergerakan. Di Perancis dan Inggris, misalnya, era keemasan warung kopi berlangsung antara tahun 1680 dan 1730 menjelang Revolusi Perancis. Di kedua negara ini, warung kopi menjadi ruang mengalirnya berbagai kritik yang memprotes kalangan aristokrat dan intelektual borjuis. “Revolusi Perancis yang meletup pada 1789 bermula dari warung kopi,” lanjutnya.

Pasca-Revolusi Perancis, kedai-kedai kopi akhirnya tidak sekadar sebagai tempat minum, tetapi tempat diskusi, berdebat, bersantai, dan berbincang yang melahirkan ide-ide kreatif tentang politik.

Kesenangan serupa akan kopi pun terjadi di Jerman. Hal itu pernah mengakibatkan ngopi dilarang karena kekhawatiran negara akan terjadinya ”pemberontakan” seperti di Perancis. Kenyataannya, tradisi ngopi tak pernah bisa diredam di sana.

Tak hanya di Eropa, kisah lahirnya gerakan dari kedai pun hidup sejak masa perjuangan kemerdekaan. Sebut saja kedai Surya Indah di Jalan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, merupakan saksi sejarah perjuangan meraih kemerdekaan. Kedai itu pertama kali dibangun pada 1911 oleh almarhum Rembak Malem Sebayang. Tempat itu awalnya tak semata kedai kopi, tetapi menjual beragam kebutuhan makanan sehari-hari bagi pejuang, mulai dari beras, gula, bubuk kopi, hingga teh.

Karena sering disinggahi, Surya Indah akhirnya sering dijadikan tempat berkumpul. Mereka menyusun siasat melawan penjajah sembari ngopi. Bahkan, kedai pun jadi tempat berutang ketika pejuang kehabisan bahan makanan.

Akhirnya, kedai kopi menyebar ke berbagai penjuru dunia. Inilah awal popularitas yang melahirkan pergerakan hingga menerobos sekat-sekat di masyarakat. (AUFRIDA WISMI W/NIKSON SINAGA/IRMA TAMBUNAN)