Saat tren minum kopi jadi primadona, sebagian pemuda tak ingin sekadar menikmati aroma dan rasanya saja. Mereka terjun langsung menggelutinya. Dari ”bergerilya” di kebun kopi sebagai penyuluh, hingga tampil necis di kafe jadi barista. Berharap kopi bakal berumur panjang.
Halaman Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, ramai, Sabtu (11/5/2018). Sejumlah pelaku bisnis kopi, mulai dari petani, penyuluh, barista, pedagang, hingga eksportir, datang meramaikan acara “Ngopi Saraosna Vol 5”.
Untuk kedua kalinya, acara yang rutin digelar 3-4 bulan sekali sejak tahun lalu ini menggelar sesi cerdas cermat. Apabila sebelumnya hanya petani asal Jabar, kali ini penyuluh kopi dari berbagai penjuru Indonesia ikut serta. Mereka peserta pendidikan dan pelatihan program Master Trainer oleh lembaga Sustainable Coffee Platform of Indonesia di Bandung.
Sebagian besar pesertanya berusia muda. Ini menjadi gambaran anak-anak muda tidak hanya ingin tampil beken menikmati kopi di kafe-kafe. Mereka rela berpeluh mendampingi, melatih, sekaligus belajar bersama petani demi kopi terbaik.
Yohanes Arnoldus Yansen (27), salah satu pesertanya. Bersama dua rekannya, dia mewakili daerah asalnya, Nusa Tenggara Timur. Yansen dan kawan-kawannya tidak menjadi juara dalam cerdas cermat itu. Namun, dia tak kecewa. Ada yang lebih penting dari itu. Dia membawa ilmu tentang menanam, merawat, dan memanen kopi untuk dibagikan kepada para petani di daerah asalnya, Bajawa, kelak.
Ketertarikan Yansen memberdayakan petani kopi dimulai tahun 2013. Saat itu, dia melihat banyak lahan kopi tidak produktif akibat petani minim ilmu. Saat ada pelatihan kopi di NTT, ia ikut serta. Dia bahkan berkesempatan mendampingi petani kopi di Wamena, Papua, akhir tahun lalu.
Yansen mengatakan, banyak petani kini belum hidup sehebat rasa kopinya. Belum semua petani paham menanam, merawat, memanen, dan menjemur kopi. Kualitas produksinya pun berakhir buruk dan dihargai tak lebih dari Rp 4.000 per kilogram.
Kini, setelah beragam ilmu baru digelontorkan, Yansen mengatakan, sejumlah petani Bajawa mulai belajar menanam dan memanen kopi dengan baik. Mereka juga tengah belajar menyortir, mengupas kulit, dan mengeringkan.
Kopi tak lagi menjadi komoditas kelas dua. Petaninya naik kelas. Mereka sudah menjual hasil panen dalam bentuk beras kopi (green bean). Ini membantu perekonomian petani karena harga jualnya terdongkrak menjadi Rp 75.000-Rp 80.000 per kg.
“Saya yakin masa depan bisnis kopi bakal cerah. Anak-anak muda sudah dan harus terus terlibat. Regenerasi mutlak diperlukan, baik sebagai petani, penyuluh, pedagang, maupun pelaku lainnya,” ujarnya.
Keyakinan Yansen itu bukan omong kosong. Seiring tren gaya hidup ngopi, konsumsi kopi orang Indonesia belakangan meningkat rata-rata 8 persen per tahun. Menurut lembaga International Coffee Organization, tren minum kopi di tingkat dunia akan tumbuh 25 persen dalam lima tahun ke depan. Di tangan anak muda, kopi Nusantara bisa berjaya.
Kopi ideal
Tak hanya di kebun kopi, kafe dan kedai yang marak bermunculan juga mendapat energi jiwa muda. Beragam edukasi tentang kopi menjadi fokus utamanya. Tengok kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Di Jalan Cipete Raya saja, misalnya, ada sekitar 14 kedai dan kafe yang menyediakan aneka menu kopi. Akhir 2017, kawasan ini menjadi tuan rumah Festival Kopi Nusantara.
Kedai Kopi Guyon, di depan Optik Internasional, Jalan Fatmawati, misalnya. Malam itu, pemilik kedai Ego Prayogo (29) menawarkan tiga varian kopi Nusantara, yaitu Pagur, Jambi, dan Sulawesi Buntu Mondong. Ada pesan kuat. Kopi enak tak harus mahal.
Meski kaki lima, Ego telaten menimbang dan menggiling biji kopi. Hasil gilingan kemudian disaring sembari menunggu air mendidih di dalam teko listrik dan diseduh dengan metode V60. Pelan, cairan kopi berwarna coklat menetes ke dalam gelas.
Putra (24), salah seorang konsumen setia kedai ini, mengatakan, kedai ini mudah menjadi idola. Kopi berkualitas dijual dengan harga terjangkau. Ia membandingkan, apabila di kafe ternama hanya dapat secangkir kopi, Kopi Guyon bisa memberikan 3 cangkir dengan harga sama.
Masih di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, warung angkringan kopi Koran Cipete tengah menjalankan misi serupa. Koran Cipete menyajikan kopi hitam Gayo yang diseduh dengan cara direbus dalam cerek aluminium. Kopi tersebut lalu disajikan dengan dicampur susu putih kental manis.
Erwin Fernando (26), salah satu pencetus Koran Cipete, sengaja tidak mencampurkan gula. Dia khawatir gula akan menenggelamkan rasa kopi. “Jangan terlalu sering mengonsumsi kopi kemasan. Kami bisa menyajikan kopi berkualitas dengan harga yang terjangkau,” kata Erwin.
Anak muda Malang dan Bandung juga tak kalah bergairah. Kedai kopi beragam rupa bermunculan. Sedikitnya ada 600 kedai kopi kini tumbuh di Malang. Sebagian besar penggiatnya adalah anak muda dan mereka tak takut bersaing.
Deni Pradana (28) dengan Remboeg Kopi-nya mengatakan, persaingan memberikan peluang memupuk kreativitas. Remboeg Kopi, misalnya, punya 27 aneka bentuk penyajian dari 20 kopi Nusantara.
Tak hanya itu, Remboeg Pawon juga membuka diri kepada semua orang yang ingin belajar kopi. Apabila ada pihak atau teman-teman pemilik kedai kopi yang ingin menimba ilmu, berlatih, dan menguji menu kopi, ia menyambut dengan senang hati. Semuanya demi kopi terbaik yang bisa dinikmati banyak orang.
Berbagi juga dilakukan Yellow Truck, salah satu kafe di Kota Bandung, yang kerap menggelar acara bareng beragam komunitas, mulai dari musik hingga pangkas rambut. Area Manager Yellow Truck Andre Yudiaswara mengatakan, digawangi banyak anak muda, ilmu dibagikan bagi yang ingin berkembang bersama.
“Banyak barista kami memulai dari nol lalu dilatih menjadi profesional. Ada yang masih bersama kami, tapi ada juga yang mandiri,” katanya.
Berbagi
Salah seorang di antaranya Yoyos (23). Dia sudah bergabung dengan Yellow Truck sejak 3 tahun terakhir. Awalnya, ia bekerja sebagai pelayan, kini dia salah satu barista andalan. Ia mengatakan belajar dari barista senior di Yellow Truck. Selain itu, dia juga kerap mendapatkan masukan dari pelanggan yang merupakan penggemar kopi. Sesama barista antarkedai dan kafe kopi pun tidak pelit ilmu dan berbagi satu sama lain.
Ada banyak pelajaran yang ia dapatkan. Belajar membuat kopi membuat dirinya belajar menghargai proses. Kopi nikmat berasal dari proses yang tidak singkat.
”Sebelum menjadi barista, kalau membuat kopi tinggal seduh dari kemasan pabrikan. Tapi, sekarang tahu betapa secangkir kopi yang digiling itu harus melalui proses yang tidak singkat, mulai dari kebun yang baik hingga penyajian yang ideal,” ujar Yoyos.
Siang semakin tua saat manusia, sebagian besar anak muda, semakin memadati puluhan gerai di acara Ngopi Saraosna. Mereka secara bergantian singgah dari satu gerai ke gerai lain. Tidak hanya didatangi untuk jual beli kopi, ajang diskusi juga digelar di sana. Petani, misalnya, mendapatkan pengetahuan mengenai cara menanam, merawat, memanen, dan menjemur kopi. Sementara itu, para barista bertukar pengalaman tentang cara meracik dan menyajikan kopi kepada pembeli.
Aldo Nurjaman (22), barista asal Garut, Jabar, mengatakan, bertukar pengalaman sangat penting bagi barista. Hal ini untuk mengetahui racikan kopi terbaik demi memenuhi selera pembeli yang sangat beragam. Laki-laki lulusan sekolah menengah pertama itu sudah 2,5 tahun menjadi barista. Saat ini dia bekerja di sebuah hotel di Garut. Sebelum menjadi barista, dia bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran di Jakarta. Gajinya naik, dari 1 juta per bulan menjadi Rp 3,5 juta per bulan seiring bertambahnya pengalaman dan keahlian.
”Akan tetapi, penghasilan yang saya dapatkan itu seperti bonus. Paling penting, banyak orang mempromosikan pengolahan dan rasa kopi yang baik semakin dikenal. Semakin banyak generasi penerus kopi tumbuh, energi kopi berumur panjang bakal semakin kuat,” katanya. (BKY/DEA/WER/TAM/CHE)