”Kalian harus ke Nating kalau ingin meliput kopi di Enrekang. Di sana masih banyak pohon typika yang usianya sekitar 300 tahun. Ada warga yang menyangrai kopi menggunakan serpihan bekas pesawat Perang Dunia II yang jatuh di Pegunungan Latimojong,” kata Rahim Razak, pegiat kopi di Enrekang, Sulawesi Selatan, melalui pesan Whatsapp.

Pesan yang disertai foto warga yang menyangrai kopi dan pohon kopi typika yang besar sontak menggelitik rasa penasaran kami. Rencana perjalanan pun berubah.

Semula dalam liputan jelajah kopi ke Enrekang tidak direncanakan perjalanan menuju Dusun Nating di Desa Sawitto, Kecamatan Bungin. Kami hanya berencana ke Desa Bone-Bone, Kecamatan Baraka.

Wartawan Kompas, Reny Sri Ayu, menyangrai kopi menggunakan rongsokan pesawat Perang Dunia II di Dusun Nating, Desa Sawitto, Kecamatan Bungin, di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018).

Namun, mendengar soal kopi typika dan warga yang menyangrai kopi dengan bangkai pesawat, rasa ingin tahu kami terusik. Terlebih saat Rahim berkata, ”Ke Nating hanya bisa dengan sepeda motor. Jalannya turun-naik, tak beraspal, dengan tebing di satu sisi dan jurang serta gunung di sisi lain.”

Membayangkan berkendara di kaki gunung dengan jalan meliuk dan naik-turun membuat kami kian penasaran. Kami tiba di Enrekang pada Senin malam dan langsung ke kafe milik Rahim.

Mengapa kami singgah di Enrekang? Sebab, bicara kopi di Sulawesi Selatan atau Toraja tidak bisa dilepaskan dari Enrekang. Di sinilah kopi Kalosi lebih dulu terkenal, jauh sebelum nama Toraja naik daun di dunia.

Pasar Kalosi yang sudah bergeser dan berubah di Kelurahan Kalosi, Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Rabu (17/1/2018). Dalam foto peninggalan Belanda tahun 1920-1930 digambarkan terdapat sebuah pasar kopi di wilayah ini.

Berbincang sembari menyeruput kopi, kami membuat janji untuk berangkat ke Nating sepagi mungkin.

Esoknya, Selasa (16/1/2018), tanpa banyak membuang waktu, kami berangkat ke Nating. Tingginya semangat berburu kopi typika ke Nating seolah mengusir lelah setelah sepanjang Senin pagi hingga siang meliput di Makassar dan melanjutkan perjalanan darat sekitar tujuh jam ke Enrekang.

Perjalanan ke Nating dimulai dengan kendaraan roda empat dari Enrekang menuju Desa Bungin, ibu kota Kecamatan Bungin. Perjalanan ditempuh selama lebih dari dua jam karena kondisi jalan rusak.

Jalan menuju kota Kecamatan Bungin di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018).

Meski demikian, kami terhibur oleh pemandangan indah di kiri-kanan jalan. Kami bahkan singgah di salah satu jembatan yang bagian bawahnya mengalir sungai berarus deras dengan air jernih. Tepi kiri dan kanan sungai menghampar sawah menghijau dengan pegunungan sebagai latar belakang.

Pemandangan ini mengingatkan kami pada gambar-gambar di buku cerita saat kecil, tentang desa indah yang dikelilingi gunung, dengan hamparan sawah dan sungai yang mengalir di tengahnya. Begitu permai.

Menyusuri jejak Kalosi
Jarum jam menunjukkan sekitar pukul 11.00 Wita saat kami tiba di Desa Bungin. Pemandangan desa yang indah, udara sejuk, dan senyum ramah warga seperti menyambut kedatangan kami.

Kami menunggu di warung makan kecil sambal mengisi perut dengan jalangkote, kudapan khas Enrekang yang mirip pastel.

Kira-kira satu jam menunggu, lima warga Dusun Nating datang. Mereka mengendarai lima kendaraan roda dua. Mereka terlambat. Namun, Hasmin (47), salah seorang warga, mengatakan, ada bagian tebing yang longsor dan menutup badan jalan hingga mereka harus membersihkan material longsoran.

Longsoran jalan kampung dari kota Kecamatan Bungin menuju Dusun Nating, Desa Sawitto, di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018).

Tanpa menunggu lama, kami semua duduk di boncengan, kecuali rekan Gregorius Magnus Finesso yang terpaksa mengemudi sendiri. Warga yang menjemputnya sepertinya lelah sehingga tanpa basa-basi menyerahkan sepeda motor mereka kepada Gregorius. Gre, begitu kami memanggilnya, tidak punya pilihan selain mengendarainya sendiri.

Sepeda motor kami langsung melaju di jalur beton walau ternyata kondisi jalan yang nyaman itu hanya kami nikmati dalam lima menit. Selanjutnya, hingga sepanjang hampir 10 kilometer, perjalanan sungguh tak mudah.

Selanjutnya, hingga sepanjang hampir 10 kilometer, perjalanan sungguh tak mudah.

Kami harus melintasi jalan tanah berbatu yang sebagian becek karena hujan. Perjalanan jadi melelahkan. Bukan saja bagi sang pengendara, melainkan juga bagi kami yang dibonceng. Ketika jalan menanjak, kami seolah akan jatuh ke belakang. Begitu pula saat jalan menurun, kami seolah terperosok ke depan.

Penumpang sepeda motor harus jalan kaki ketika kondisi jalan terlalu berbahaya di ruas Kecamatan Bungin menuju Dusun Nating, Desa Sawitto, di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018).

Ada kalanya kondisi jalan sangat licin dan berlumpur sehingga pengemudi harus menurunkan kedua kaki dan berusaha membuat kondisi sepeda motor tetap stabil. Gre, ”anak baru” di medan jalan seperti itu, tampak kepayahan. Dia mesti bersusah payah mengemudikan sepeda motor tua sambil memboncengkan warga.

Beberapa kali kami harus turun dan berjalan kaki saat kondisi jalan sangat tak memungkinkan untuk tetap dibonceng. Belum lagi saat melintas jalan sempit yang berbatasan dengan jurang di satu sisi dan tebing di sisi lain. Di beberapa lokasi, kami seolah sejajar dengan bukit atau pegunungan di seberang.

Dua rekan kami, Agus Susanto dan Imam, yang membawa kamera dan perlengkapan seperti tripod jelas lebih mengalami kesulitan. Mereka harus berpegangan pada sepeda motor sembari menjaga agar barang-barang mereka tak terjatuh.

Perjuangan semakin berat saat hujan mulai turun. Kabut dan angin yang menusuk membuat perjalanan kian menyulitkan. Dusun Nating yang kami tuju berada di ketinggian lebih dari 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sementara lokasi kebun-kebun kopi dapat mencapai ketinggian di atas 1.500 mdpl.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Jalan kampung di Dusun Nating, Desa Sawitto, Kecamatan Bungin di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018). Hujan yang terus mengguyur menyebabkan longsoran terus terjadi.

Mendaki ke kebun
Sekitar satu jam berkendara, akhirnya kami tiba di Nating. Dusun Nating di kaki Gunung Latimojong ini hanya dihuni sekitar 90 keluarga. Lebih jauh dari Nating masih ada Dusun Katabi, yang juga mempunyai hamparan kopi typika.

Berada di kaki Latimojong, dusun ini bersuhu sangat dingin. Saat kami tiba, suhu sekitar 18 derajat celsius. Pemandangan sekitar dusun sangat indah dengan hamparan pegunungan dan lembah sejauh mata memandang.

Di dusun ini hanya ada satu sekolah dasar. Anak-anak Dusun Nating dan Katabi yang akan melanjutkan sekolah ke jenjang SMP dan SMA harus turun gunung ke ibu kota kecamatan.

Fotografer Kompas, Agus Susanto, bersandar di pohon kopi typika di Dusun Nating, Desa Sawitto, Kecamatan Bungin, di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018).

Biasanya, anak-anak dari kedua dusun ini menyewa kamar kos atau tinggal di rumah kerabat. Mereka hanya pulang sekali sepekan ke Nating. Kondisi jalan tak memungkinkan mereka bolak-balik Nating dan ibu kota kecamatan di Desa Bungin setiap hari.

Sepertinya, warga Nating sudah terbiasa dengan kondisi ini. Berada di ujung desa dan di ketinggian, pembangunan seolah tak menjamah Dusun Nating dan Katabi. Warga tak punya pilihan selain harus bertahan dan terbiasa.

Kami lalu singgah di rumah Pak Hasmin. Rumahnya sederhana. Hanya berdinding dan berlantai kayu. Hanya ada sepetak kecil ruang tamu tanpa kursi. Di ruang ini pula karung-karung kopi disimpan.

Hasmin (kedua dari kiri) dan petani kopi berkumpul di Dusun Nating, Kecamatan Bungin, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018).

Hasmin adalah salah seorang petani kopi di Nating. Dia pula yang memiliki alat penyangrai kopi dari lempengan puing pesawat yang jatuh saat Perang Dunia II.

Siang itu, sembari menunggu hujan reda, sebelum melanjutkan jalan kaki ke kebun kopi typika, kami dijamu makan siang. Makan sederhana berupa nasi, sayur bening, dan telur bumbu pedas menjadi terasa nikmat.

Ketika makan siang ditutup dengan menyeruput kopi Nating yang terkenal itu, sirna sudah rasa lelah dan ”trauma” sepanjang perjalanan. Kami seperti mendapat kekuatan baru untuk berjalan kaki menuju ke kebun kopi.

Petani membersihkan lumut yang merambati pohon kopi varietas typika di Dusun Nating, Kecamatan Bungin, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018).

Perjalanan ke kebun kopi typika lagi-lagi tak mudah. Hujan deras, jalan menanjak curam, cukup melelahkan kami. Wawancara dan pengambilan gambar terpaksa dilakukan di bawah guyuran hujan deras.

Namun, perjuangan kami semua terbayar saat kami melihat hamparan kopi typika dengan pohon-pohon tinggi, meski tak ada data pasti kapan kopi typika ini ditanam di Nating.

Perjuangan kami semua terbayar saat kami melihat hamparan kopi typika.

”Yang jelas, pohon-pohon kopi yang di sini sudah ditanam pendahulu kami. Saat ini kami adalah generasi ketiga, bahkan ada yang keempat yang mengurus kopi di sini,” ujar Sikecong, pemilik kebun typika yang kami kunjungi.

Kebun typika yang kami kunjungi siang itu adalah hamparan pohon kopi dengan tinggi lebih dari 3 meter. Di antara pohon kopi ini terdapat kopi arabika asal Jember dengan beragam varietas.

Petani membersihkan lumut yang merambat pohon kopi varietas typika di Dusun Nating, Selasa (16/1/2018).

Hasmin berkisah, awalnya semua kopi yang ditanam di Enrekang adalah jenis arabika typika. Bahkan, sebagian kopi yang ditanam di dataran tinggi Toraja, bibitnya dari Nating.

Suatu hari, serangan hama membuat banyak kopi typika mati. Yang hidup pun tak produktif lagi. Sejak saat itu, warga mulai mengganti tanaman kopi dengan jenis arabika Lini S dan jenis lain dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) Jember.

”Namun, sebelumnya, Belanda juga membawa bibit kopi robusta. Karena tumbuhnya bisa di bawah ketinggian 1.000 mdpl dan agak tahan hama, banyak warga yang beralih ke tanaman jenis ini. Itulah mengapa orang Enrekang menyebut kopi robusta dengan sebutan kopi Belanda,” tutur Hasmin.

Walau banyak warga yang mengganti typika dengan jenis kopi lain, tak sedikit pula yang tetap mempertahankannya walau tak diurus serius. Belakangan, kopi ini kembali dicari penikmat dan kolektor kopi dengan harga cukup tinggi.

Belakangan, kopi ini kembali dicari penikmat dan kolektor kopi dengan harga cukup tinggi.

Bangkai pesawat
Turun dari kebun kopi, kami singgah di rumah kepala dusun. Di rumah ini, kami disuguhi kopi tubruk panas. Dari rumah kepala dusun, kami kembali ke rumah Hasmin. Lagi-lagi, kami disambut kopi panas. Di Nating, kopi seolah seperti air putih saja.

Kopi wajib dihidangkan untuk menyambut tamu di Dusun Nating, Kecamatan Bungin, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018).

Walau demikian, panas kopi tak mampu mengusir dingin yang terasa makin menusuk. Namun, liputan belum lagi usai. Kami masih penasaran ingin melihat Hasmin menyangrai kopi menggunakan peralatan dari bangkai pesawat sisa Perang Dunia.

Bangkai yang dipakai berbentuk tabung besar. Alat ini dimodifikasi dengan lapisan besi tipis. Apinya menggunakan kayu bakar dengan kayu jenis khusus yang membuat aroma kopi kian wangi. Sepanjang kayu menyala, tabung harus terus diputar agar seluruh biji kopi mendapat tingkat kematangan yang sama dan diinginkan. Kami semua ikut coba memutar tabung.

Hasmin (kanan) mengeluarkan biji kopi yang disangrai menggunakan rongsokan pesawat Perang Dunia II yang jatuh di Dusun Nating, Kecamatan Bungin, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018).

Hari menjelang malam saat kami beranjak pulang. Sebenarnya, warga setempat meminta kami menginap. Sebab, dalam kondisi setelah hujan, jalan akan sangat berlumpur. Belum lagi sepanjang jalan yang tanpa penerangan jalan akan sangat rawan.

Namun, kami memaksa pulang karena pakaian yang sudah basah dan pagi-pagi benar kami harus melanjutkan liputan ke beberapa desa lain.

Benar saja, berjalan dalam kondisi jalan berlumpur dan gelap sungguh membuat perjalanan menjadi lebih berat ketimbang saat kami datang. Kami harus lebih banyak turun dari sepeda motor, berjalan dalam gelap, supaya dapat melintasi ruas-ruas jalan tertentu dengan selamat.

Tim Jelajah Kopi Nusantara dari harian Kompas seusai naik perbukitan untuk melihat dari dekat pohon kopi typika di Dusun Nating, Desa Sawitto, Kecamatan Bungin, di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018).

Butuh hampir 1,5 jam untuk menempuh perjalanan lebih kurang 10 kilometer hingga ibu kota kecamatan. Bersyukur kami semua bisa tiba malam itu dengan selamat.

Namun, sungguh tak terbayangkan perjalanan pulang warga yang mengantar kami. Sekali lagi, mereka harus mendaki bukit yang sudah gelap itu untuk kembali ke Nating. Apa pun, terima kasih untuk mereka. (RENY SRI AYU/ GREGORIUS M FINESSO)