Sang ayah mulai merintis usaha kopi tahun 1960 dengan cara tradisional. Usaha pun berkembang dari skala rumahan kecil di Banyuatis, Singaraja, menjadi usaha turun-temurun hingga sekarang dikenal luas di wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Kini, Gede Pusaka Harsadena (42) melanjutkan usaha keluarga itu dengan memadukan cara tradisional dan modern dalam mengolah kopi.
Saat memulai usaha berjualan kopi tahun 1960, sang ayah, Ketut Englah, mungkin tidak pernah bermimpi bahwa kopi buatannya akan mendapat tempat di hati pemimpin negeri ini. Tahun 2017, kopi Banyuatis (CV Pusaka Bali Persada) menerima penghargaan Paramakarya dari Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Penghargaan diterima sebagai apresiasi atas berkembangnya usaha (kualitas dan kuantitas) kopi Banyuatis selama 3 tahun berturut-turut. Disebut kopi Banyuatis karena daerah tersebut bernama Banyuatis.
Kopi buatan Ketut Englah tersebut awalnya hanya dipasarkan dari rumah ke rumah, dan dikisahkan dari mulut ke mulut. Namun, kini, kopi Banyuatis sudah memiliki tempat di hati masyarakat Bali utara dan Lombok. Bahkan, kopi itu dibawa pembeli untuk dijual lagi di Australia dan Taiwan.
“Kopi Banyuatis memiliki legenda rasa yang tidak berubah. Karena meskipun sudah diolah dengan mesin modern, kami tetap mempertahankan sebagian cara tradisional, yaitu menggoreng kopi dengan menggunakan tungku dan kayu. Cita rasa tradisional inilah yang membuat kopi kami tidak berbeda dengan legenda rasa puluhan tahun lalu saat ayah mengenalkannya kepada masyarakat,” kata Gede Pusaka Harsadena, penerus usaha kopi Banyuatis saat ini.
Cita rasa tradisional inilah yang membuat kopi kami tidak berbeda dengan legenda rasa puluhan tahun lalu.
Selain mempertahankan menggoreng kopi secara tradisional, kopi Banyuatis juga memiliki cara unik dalam mengolah kopi. Setelah dipetik, kopi akan dijemur secara manual dan disimpan selama setahun di dalam gudang menggunakan karung goni.
Menyimpan kopi selama setahun, menurut Gede Pusaka, bertujuan mengurangi kadar air biji kopi hingga maksimal hanya 13 persen.
“Kami memang tidak memaksa kopi kering dengan mesin. Kopi mengering secara alami akan memiliki rasa lebih nikmat,” kata pria kelahiran 22 Agustus 1976 tersebut.
Gantungan hidup
Meski awalnya tidak tertarik melanjutkan bisnis sang ayah, Gede Pusaka akhirnya terketuk hatinya saat melihat tidak ada lagi penerus jerih payah ayahnya dalam mengangkat kopi Bali.
Dengan dibantu temannya, I Gusti Made Adnyana Kepandean, keduanya kini menjadi tulang punggung perusahaan dan menjadi gantungan hidup bagi 100 pekerja dan puluhan petani kopi binaan kopi Banyuatis.
Kopi Banyuatis terdiri atas dua jenis, yaitu robusta (90 persen dari total produksi) dan arabika (20 persen). Kopi Banyuatis mulai menggarap kopi jenis arabika sejak tahun 2000.
Setiap bulan rata-rata produksi kopi Banyuatis sekitar 50 ton. Kopi diperoleh dari kebun sendiri dan kebun petani binaan. Adapun pasar utama kopi Banyuatis adalah Bali dan NTB.
Masuknya Gede Pusaka dalam bisnis kopi Banyuatis pada tahun 2011 membuat pemasaran kopi kian luas. Dari awalnya hanya fokus di Bali bagian utara, lama-lama kopi Banyuatis dipasarkan hingga ke luar Bali. Bubuk kopi pun tidak dikemas dalam ukuran besar, dibuat dalam saset kecil untuk ukuran dua gelas.
”Kami memasarkan kopi ke mana saja, bahkan ke warung-warung kecil di pinggir pantai di Bali. Tujuan kami adalah mengedukasi orang minum kopi yang baik. Makanya, kami pun membuat kemasan kopi saset siap minum. Bukan kopi saset asalan yang selama ini dikonsumsi masyarakat, melainkan kopi Bali berkualitas,” kata suami Putu Ria Yusnita tersebut.
Gede Pusaka pun mencoba mengintegrasikan pabrik kopi Banyuatis dengan kedai kopi Ngiring Ngewedang miliknya di Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Di kedai tersebut, pengunjung bisa menikmati kopi Banyuatis dan sepiring pisang goreng di ketinggian lereng pegunungan Batukaru. (COKORDA YUDISTIRA/DAHLIA IRAWATI)
Tujuan kami adalah mengedukasi orang minum kopi yang baik.