Biru Kira meninggalkan kenyamanan hidup di Jawa. Ia memilih mengabdikan dirinya kepada masyarakat di pedalaman Papua. Dalam segala keterbatasan, ia berusaha menyiapkan masyarakat Papua untuk menghadapi perubahan besar: peradaban modern.

Demi petani, Biru Kira, pastor yang bertugas di Modio, Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Papua, rela menempuh perjalanan berat. Ia berjalan kaki menerabas hutan, menyeberangi sungai berarus deras, dan mendaki serta menuruni bukit sambil membawa beban berat, di antaranya berupa komoditas kopi.

Dia melanjutkan perjalanan dengan bersepeda motor, menempuh jalan Trans-Papua berpuluh-puluh kilometer menuju kota-kota di Pegunungan Tengah Papua, seperti Dogiyai, Deiyai, dan Paniai. Tas berisi bungkusan kopi, bawang goreng, dan noken yang dibawa dari pedalaman dia setor ke toko-toko. Jika laku, ia menerima pembayaran kopi yang uangnya diputar lagi untuk petani.

pastor Biru Kira Pr fi Modio, Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Propinsi Papua.
KOMPAS/DANU KUSWORO (DNU)
22-03-2018

Dua pekan sekali ia mengantar kopi di sela-sela kesibukannya sebagai pastor dan pengajar sekolah calon katekesdi Wagete, Kabupaten Deiyai.
Pekerjaannya tak berhenti di situ, ia juga menyortir dan menyangrai kopi petani untuk bisa dijadikan bubuk dan dijual. Ia harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilah dan menyangrai kopi. Sekali sangrai butuh waktu 45-60 menit untuk 1 kilogram kopi.

Peralatannya sederhana: kompor, wajan, dan sendok kayu. Ilmunya pun ia dapatkan dari belajar di Internet dan dari pastor lain yang lebih dulu kenal sangrai kopi.

Pastoran Modio Distrik Mapiha Tengah, Kabupaten Dogiyai, Propinsi Papua.
KOMPAS/DANU KUSWORO (DNU)
25-03-2018

Kira setia melakukan hal-hal kecil itu karena ia ingin mengangkat nasib petani di Modio, daerah terpencil dan terisolasi 200 kilometer dari kota Nabire. Di Modio, warga tak punya kekuatan ekonomi lain selain berkebun dan membuat noken. Mereka hidup terpisah dari keramaian karena akses ke daerah mereka masih terhalang Sungai Mapia.

Warga Modio hidup sederhana, menyambung hidup dari hari ke hari. Untuk menyekolahkan anak, mereka harus berbuat lebih.

“Ada kekhawatiran, penduduk asli menjual kebunnya saat arus modernitas datang. Kami tak ingin itu. Mereka punya lahan subur, kopi, dan bawang sudah ada. Kenapa tidak diberdayakan saja,” ujar Kira, akhir Maret 2018.

Tantangan perubahan
Kampung Modio, adalah kawasan terpencil berjarak 45 kilometer dari jalur Trans-Nabire hingga Paniai. Sungai Mapia yang berarus deras memisahkan kawasan itu dari dunia luar. Penduduk hanya bisa menyeberanginya saat air surut pada musim kemarau.

Pada musim hujan, warga memakai jembatan gantung untuk pejalan kaki menyeberang. Untuk menuju ke sana, warga pun harus berjalan menyusuri sungai ke arah hutan.

Tidak adanya jembatan yang membuat kampung-kampung di kawasan Pegunungan Mapia terisolasi. Angkutan umum dari jalur Trans-Nabire hanya sampai di perbatasan sungai. Jika beruntung dan punya uang lebih, warga bisa menyewa ojek. Jika tidak, warga harus berjalan kaki 4 kilometer menanjak ke perbukitan di pedalaman.

Perjalanan menuju kampung Modio , Distrik Mapiha Tengah, Kabupaten Dogiyai, Propinsi Papua. Jembatan permanen yang menjadi penghubung desa-desa tersebut, sampai kini hanya berupa pondasi dikedua sisi sungai.
KOMPAS/DANU KUSWORO (DNU)
24-03-2018

Keterisolasian memang menyulitkan. Di pedalaman, akses kesehatan sulit sehingga ibu hamil dapat saja melahirkan di hutan. Anak-anak harus keluar kampung ketika masuk usia SMA. Kini keterisolasian akan dibuka. “Pemerintah berencana membangun jembatan untuk menyambungkan Modio dengan jalur transpapua-Nabire,” kata Kira.

Seiring dengan pembangunan infrastruktur yang masif, warga Papua di pedalaman kini menghadapi perubahan. Perubahan yang tak hanya membawa hal positif tapi juga negatif. “Malaikat dan setan datang dalam satu jalan yang sama,” kata Biru Kira. Dia bercerita tentang rencana pembangunan jalan dan jembatan di Sungai Mapia, Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Papua. Namun perubahan adalah keniscayaan dan masyarakat harus bersiap menghadapinya.

Trans-Nabire hingga Dogiyai sejauh 200 kilometer yang sudah terbangun tak hanya membuka keterisolasian, tetapi juga mengubah wajah di pedalaman Papua. Keterbukaan membawa sejumlah kemudahan. Akses kesehatan lebih gampang, anak-anak bisa mudah pergi ke sekolah, dan harga kebutuhan pokok pun terjangkau.

Namun, tak semua orang Papua siap. Saat jalan mulus, ada barang dari kota masuk ke desa, anak-anak desa justru tersedot ke kota. Mereka mencari pekerjaan baru yang lebih layak menurut mereka. Konsumerisme tumbuh, ketergantungan pada barang produksi kota mulai tampak. Seiring dengan mudahnya akses kesehatan, menyebar pula penyakit baru mulai dari AIDS hingga segala jenis malaria di pedalaman. Masyarakat tak siap dengan perubahan yang terlalu cepat bagi mereka.

Melihat ketimpangan itu, Kira pun memilih jalannya sendiri. Sejak bertugas di Modio tahun 2015, Kira mulai memetakan kekuatan ekonomi masyarakat Modio. Kopi, bawang, dan noken menjadi hasil potensial. Kira pun mulai mengirimkan barang dagangannya ke luar daerah.

Kopi ia siapkan sebagai bagian dari cindera mata Modio. Ia ingin saat Modio sudah menjadi bagian dari wisata religi papua, kopi jadi buah tangan. Orang yang ingin beli kopi Papua, mereka harus datang ke Modio. Ia melatih anak muda setempat untuk menggantikannya jika suatu saat ia harus berpindah ke luar daerah.

Nisan Auki Tekage yang membawa misionaris Belanda datang ke daerah Modio,Distrik Mapiha Tengah, Kabupaten Dogiyai, Papua.
KOMPAS/DANU KUSWORO (DNU)
25-03-2018

Sedari kecil, rasa simpati kepada orang yang tak beruntung sudah tumbuh pada Kira. Ia meninggalkan kemapanan karena ingin lebih merasakan hidup dan menjadi bagian sesuatu yang berguna di Alam. Di Papua, ia pun mendapatkannya.

Ia seperti berkejaran dengan waktu. Jika saatnya nanti akses Modio terbuka, dia wingin warga bisa menjadi tuan di tanahnya sendiri.

Alfonsus Biru Kira Pr

Lahir: Jakarta, 14 Mei 1980
Pendidikan:
– SMA Kolese Gonzaga (1999)
– S1 Filsafat di Driyarkara, Jakarta
– S2 Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Pengalaman:
– Bekerja di Percetakan Kanisius Yogyakarta (2000).
– Serikat Jesus (SJ), Girisonta (2000).
– Mengajar Kolese Mikael, Surakarta (2006)