Rantai perdagangan kopi Nusantara di banyak daerah masih menyisakan beragam masalah. Mulai dari rantai perdagangan yang terlalu panjang, kuasa dari tengkulak, hingga terbatasnya akses pasar. Semua kondisi itu menyebabkan banyak petani kopi belum bisa sejahtera.

Patola (45), petani kopi di Desa Benteng Alla, Kecamatan Baroko, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, misalnya, gusar saat gagal memasukkan hasil panen miliknya dan sejumlah petani lain di desanya ke sebuah perusahaan besar. Sebuah perusahaan besar yang biasa mengambil bahan mentah kopi Toraja.

“Kami sudah bertemu langsung dengan salah satu direktur di perusahaan itu. Mereka tertarik dengan hasil kopi kami. Tetapi, nyatanya tidak bisa langsung membeli kopi dari saya. Saya diminta untuk menjualnya lewat perantara,” ungkap Patola saat ditemui awal Januari 2018.

Awalnya, Patola berharap, ketika kopi mereka dapat terjual langsung ke perusahaan itu, petani bisa mendapat harga yang lebih baik. Apalagi, perusahaan asal Jepang dikenal petani lebih berani membeli kopi dengan harga tinggi.

Kegagalan Patola dan petani kopi Desa Banteng Alla diamini oleh Sulaiman Miting, pegiat kopi dan pemilik kafe di Kabupaten Tana Toraja.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Buah kopi varietas typica di Dusun Nating, Kecamatan Bungin, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018). Kopi arabika typica telah tumbuh, dihibridisasi, dan disempurnakan selama berabad-abad. Kopi ini merupakan sesepuh dari semua varietas kopi.

Menurut Sulaiman, mustahil bagi petani menjual langsung produknya ke pabrik. Saat musim panen, ujarnya, di sekitar gerbang masuk kantor itu hampir setiap hari berjejer pengepul kopi untuk membeli hasil panen petani. Jadi, hasil panen kopi petani harus dijual kepada salah satu dari pedagang yang sudah dipercaya perusahaan tersebut.

Secara umum, ternyata rantai niaga kopi arabika Kalosi dan Toraja begitu didominasi tengkulak. Hasil kopi dari desa biasanya dibeli pengepul. Dari pengepul di tingkat desa, kopi baru dijual ke pedagang yang lebih besar lagi di tingkat kecamatan. Dari pedagang besar di tingkat kecamatan, barulah kopi disetor ke pedagang besar skala kabupaten. Mereka ini yang biasanya mengirim kopi kepada eksportir atau pedagang lintas pulau di Makassar.

“Saya pernah memberanikan diri menjual langsung 5 ton kopi tanduk ke pedagang di tingkat kabupaten. Saya langsung dimarahi pengepul di kecamatan. Katanya, saya bisa merusak pasar,” ucap Patola, yang juga pendiri Koperasi Petani Kopi Benteng Alla Utara, Enrekang.

Kompas/Agus Susanto

Petani kopi bersiap uji cita rasa kopi spesial Patekkong di Kecamatan Masalle, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Rabu (17/1/2018).

Anehnya lagi, jika menjual kopi langsung kepada pedagang besar, kopi tanduk dihargai lebih murah Rp 1.000 per kg daripada saat dijual lewat pengepul. Kopi tanduk yang dihargai Rp 20.000 per kg di pengepul, misalnya, hanya dibeli Rp 19.000 per kg jika dijual langsung kepada pedagang tingkat kabupaten. Padahal, rantai perdagangannya lebih pendek!

Kuasa tengkulak

Kuasa tengkulak, kata Wasliyudin, petani di Dusun Patekkong, Desa Buntu Sarong, Kecamatan Masalle, Enrekang, dimulai sejak hulu. Bahkan, ibaratnya, sebelum petani mulai menanam.

Sebelum masa tanam pun, misalnya, banyak tengkulak masuk-keluar sentra kopi menawarkan pinjaman uang dalam jumlah besar kepada petani. Nantinya, tengkulak “membalasnya” dengan penentuan harga kopi saat panen.

Kompas/Agus Susanto

Warga menimbang beras kopi di Koperasi Tani Benteng Alla Utara, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Minggu (21/1/2018). Beras kopi dijual Rp 90.000 per kilogram.

Biasanya, untuk lahan sekitar 1 hektar, tengkulak meminjamkan uang Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. Nanti saat panen, hasil kopi dari petani yang dipinjami uang akan dibeli dengan harga separuh lebih murah daripada harga pasaran.

Tengkulak akan semakin banyak terlihat “berkeliaran” di sekitar kebun-kebun kopi saat awal masa panen. Mereka biasanya orang-orang suruhan para pedagang besar.

Tengkulak biasanya naik mobil pribadi. Mereka turun mobil dengan menenteng tas kecil. Lalu, berjalan sambil memamerkan uang di dalam tas, mereka pun biasanya berteriak kepada petani. “Hari ini, saya bawa uang banyak. Yang mau uang tunai, langsung jual kopi ke saya,” begitu kira-kira.

Kalau sudah lihat uang tunai dalam jumlah besar seperti itu, kebanyakan petani tak akan berpikir lama untuk menjual tanaman kopi dengan sistem tebas walau harganya lebih rendah.

“Ini, kan, tidak sehat. Seperti jaringan mafia. Mereka mengendalikan perdagangan dari hulu hingga hilir,” ucap Patola.

Kehadiran koperasi tani seperti yang dirintis Patola membawa angin segar karena mampu memutus rantai perdagangan yang membelenggu petani. Walau demikian, koperasi tani juga tidak mampu mengubah mata rantai perdagangan ibaratnya dalam waktu semalam.

Penguasaan perdagangan juga terjadi di berbagai pelosok.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Masyarakat yang tinggal di Kampung Modio, Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Papua, harus memikul hasil kebun yang akan dijual ke pasar dan belanjaan mereka, menyusuri hutan untuk mencapai jembatan gantung di atas Sungai Mapia, Minggu (25/3/2018). Jembatan permanen yang menjadi penghubung desa-desa tersebut sampai kini hanya berupa fondasi di kedua sisi sungai.

Deni, pilot Trigana Air yang biasa terbang ke pedalaman di Papua, mengatakan, dulu, sebelum ada akses jalan, petani harus berjalan kaki memanggul karung kopi sejauh 95 km dari Lanny Jaya ke Wamena. “Perjalanan bisa dua hari lamanya. Kami berjalan kaki dari Lanny Jaya ke Wamena. Naik turun bukit dan melintasi hutan,” ujarnya.

Kini, akses jalan sudah ada. Namun faktanya, di tingkat petani, harga biji gabah belum beranjak naik. Harga biji gabah kopi masih dihargai Rp 10.000 per kg. Biji beras kopi juga hanya Rp 15.000 hingga Rp 20.000 per kg.

Intinya, petani tak dapat mengendalikan harga kopi. Jalur perdagangan dan harga kopi sepenuhnya dikuasai pedagang besar.

Seorang pedagang besar di Wamena menampung biji gabah dari petani dengan harga Rp 40.000 hingga 50.000 per kg, lalu menjualnya dalam bentuk biji beras kopi ke Jayapura dan Timika dengan harga Rp 70.000 hingga Rp 80.000. Pedagang mendapatkan laba bersih minimal Rp 10.000 per kg.

Selain itu, di Jayapura, kopi bubuk bernilai hingga Rp 500.000 per kg. Di Jakarta, tentu harganya lebih mahal lagi.

Melemahkan posisi petani

Panjangnya jalur distribusi kopi diakui M Jabir Amien, Direktur Administrasi sekaligus juru bicara PT Toarco Jaya. Toarco beralasan, dalam pembelian kopi diberlakukan syarat dan seleksi ketat.

KOMPAS/ AGUS SUSANTO

Juru bicara PT Toarco Jaya, M Jabir, menjelaskan sejarah perusahaannya di Padamaran, Kecamatan Buntao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Kamis (18/1/2018).

Tahapannya, pembelian dilakukan perantara yang juga orang-orang kepercayaan Toarco. Namun, kopi ini tidak serta-merta diterima, tetapi harus melalui uji rasa. Jika rasanya dinyatakan layak, Toarco baru memutuskan pembelian.

”Kami hanya percaya pada seleksi yang kami lakukan. Bagi kami, menjaga kualitas adalah hal utama. Sejauh ini, pasar kami tak berubah karena kami mempertahankan kualitas sesuai selera,” ujar Jabir.

Dia menambahkan, Toarco juga menjaga hubungan dengan petani, dengan warga sekitar, hingga soal lingkungan. ”Itu salah satu alasan pembeli kami tak beralih,” lanjut Jabir.

Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi Universitas Sultan Hasanuddin, Makassar, Halide menekankan, rantai panjang perdagangan kopi melemahkan posisi tawar petani.

Halide mendorong petani untuk tidak sekadar menjual kopi ”tanduk”, tetapi jika memungkinkan sudah berbentuk greenbean. Meski begitu, tentu saja lebih mudah dilakukan dengan membentuk jejaring kerja sama semacam koperasi atau unit usaha bersama.

Menentukan harga

Tentu, ada kisah-kisah ketika petani juga mulai mempunyai daya. Di Jawa dan Bali, dengan akses pasar mudah ditembus, petani kini sudah bisa melepaskan diri dari ikatan monopoli. Petani kini mampu menentukan harga.

Kompas/Hendra A Setyawan

Proses penggilingan biji kopi milik petani di Desa Srimulyo, Dampit, Malang, Jawa Timur, Selasa (9/1/2018). Kawasan ini merupakan penghasil utama kopi robusta di Malang.

Petani Dampit di Malang, Jawa Timur, misalnya, sejak 2015 telah mengakali monopoli tengkulak dengan mendirikan koperasi. Pendirian koperasi demi memperkuat posisi tawar petani.

Dalam perjalanannya, mereka dibantu komunitas yang ingin mengentaskan petani. Di Dampit, petani bersepakat untuk menjual kopi ke koperasi dengan harga setara bagi setiap petani. Harga jualnya dapat mencapai Rp 50.000 per kg robusta.

Jika ada pedagang yang datang untuk membeli langsung dari petani, biasanya petani akan menolak. “Kami tak mau walau harganya lebih mahal. Kami sudah pernah menjual kopi dengan harga mahal, tetapi mereka beli hanya sekali, besok lagi mereka tak datang,” tutur Suherman, petani asal Dampit.

Di Papua, sejumlah kelompok berupaya memutus monopoli dengan membuka sendiri kedai kopi. Deni, misalnya, membuka kedai di Timika untuk menampung langsung kopi dari petani di desanya. “Kopi petani bisa kami beli dengan harga lebih tinggi, tetapi kualitasnya lebih baik,” katanya.

Selisih harga yang diterima petani lebih tinggi Rp 5.000-Rp 10.000 per kg dibandingkan jika kopi masih harus mampir ke tengkulak dan pedagang besar. “Selisih itu dapat dinikmati langsung oleh petani,” ujar Deni. (REN/GRE/ITA/FLO/DIA/NIT)