Di Belitung, budaya menyesap kopi nyaris berusia seabad. Orang-orang melepas lelah, bercengkerama, hingga menyusun rencana pembangunan daerah dari warung kopi. Di sanalah, revolusi dimulai.

Senin (21/5/2018) malam, Warung Kopi Kong Djie di Jalan Siburik Barat, Tanjung Pandan, Belitung, ramai suara dan tawa pengunjung. Kopi hitam dan kopi susu di atas meja menemani mereka. Ahmad Fansuri (33) baru saja menghabiskan segelas kopi. Seperti biasa, sopir pariwisata mampir ke warung kopi setelah mengantar tamunya menjelajahi Belitung.

Bersama Garry (19) dan Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Belitung Erling Rinanto, Ahmad membicarakan berbagai hal soal pariwisata, termasuk kiat menggaet wisatawan. Enam tahun lalu, tidak ada obrolan lain selain sawit. Maklum, sebagian warga setempat saat itu bekerja di perkebunan sawit.

“Saya kerja pagi sampai sore sambil menunggu upah bulanan sekitar Rp 1,7 juta,” ujar Ahmad yang mengurus sawit hingga 2012.

Hingga suatu hari, di warung kopi, obrolan tentang wisata kian santer. Semenjak film Laskar Pelangi mencuat sekitar 2008, wisatawan mulai berbondong-bondong datang ke Belitung. Ahmad pun memutuskan berhenti bekerja di perkebunan sawit dan menjadi sopir pariwisata.

KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH

Ishak Holidi meracik kopi di Warung Kopi Kong Djie yang didirikan pada 1943 di Belitung. Hingga kini, Warung Kopi Kong Djie telah memiliki enam cabang baru di Belitung dan satu di Surabaya, Jawa Timur. Foto diambil dalam acara Tur Media bersama Dwidaya Tour dan Citilink.

Kini, ia termasuk dalam 180 orang anggota Ikatan Sopir Pariwisata Belitung bentukan warga setempat. Mereka bekerja sama dengan HPI Belitung serta dinas perhubungan setempat untuk melayani wisatawan.

“Jadi sopir lebih asyik, kenal banyak orang. Saya masih chatting-an dengan tamu walaupun sudah kembali ke Jakarta,” ujar tamatan SMA ini. Soal pendapatan, bapak satu anak ini mengklaim bisa meraup dua kali lipat dibandingkan upah bulanan saat bekerja di perkebunan sawit.

Erling yang sebelumnya bekerja di tambang timah juga turut terseret ke sektor pariwisata. Wisata dinilai mampu menghadirkan keuntungan lebih banyak dibandingkan tambang. Tengok saja bekas kubangan tambang timah yang dibiarkan menganga di pinggir jalan menuju Belitung Timur.

Wisata dinilai mampu menghadirkan keuntungan lebih banyak dibandingkan tambang.

Sebaliknya, wisata dapat mendorong masyarakat menjaga daerah itu agar tetap asri dan dikunjungi. “Kami sedang berusaha mengalihkan masyarakat dari pertambangan ke wisata. Kapal nelayan, misalnya, sekarang dimodifikasi menjadi kapal wisata,” lanjutnya.

Bagaimana mungkin demam wisata dapat mengambil tempat di antara dominasi sawit dan tambang timah di Belitung? Sementara Belitung tak punya kebun kopi. “Perubahan itu dimulai di warung kopi. Di sana lebih santai. Bahkan, pelatihan cara membuat wisatawan nyaman di Belitung dilakukan di warung kopi,” ujar Ketua DPD HPI Bangka Belitung Agus Pahlevi.

Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Belitung pun terus meningkat, dari 111.613 orang pada 2012 menjadi 251.440 orang pada 2015. Agus yang juga Direktur Levi Tour mengajak sekitar 200 travel di Belitung untuk membuat wisatawan merasakan budaya Belitung, yakni minum kopi.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Hestian Grenpin (kiri) dan Harianto menunjukkan biji kopi arabika dan robusta di sebuah kedai kopi di Tanjung Pandang, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (23/5/2018). Anak muda di Belitung mulai membuka kedai kopi untuk merespons budaya minum kopi di Belitung. Padahal, tidak ada kebun kopi di Belitung.

Itu sebabnya, setiap wisatawan yang datang pasti diajak ke warung kopi. Apalagi Warung Kopi Ake yang berdiri sejak 1922 dan Kong Djie sejak 1943 hingga kini masih beroperasi. Kata Agus, belum sah seseorang menginjak Belitung tanpa menyesap kopi di warung kopi setempat.

Penyajian kopi di Belitung umumnya masih tradisional, yakni menyeduh kopi dan menggunakan saringan. Bahkan, di Kong Djie, air dimasak menggunakan bahan bakar arang. Tidak ada penyejuk ruangan di warung kopi.

Nasib Belitung

Kehangatan antarpengunjung dan pemilik warung begitu terasa meskipun hanya berbangku kayu. Mereka saling sapa tanpa memedulikan agama, latar belakang profesi, dan suku. Bos atau buruh sama saja: minum kopi susu seharga Rp 10.000 per gelas. “Kalau saya datang, tanpa bicara, kopi susu satu pancok (gelas kecil) sudah datang,” ujar Erling.

Di warung kopi, nasib Belitung juga ditentukan. “Waktu Bangka Belitung mau berdiri sendiri sebagai provinsi pasca-Reformasi, berpisah dengan Sumatera Selatan, politisi membicarakannya di sini,” ujar A Kiong (63), generasi ketiga Warung Kopi Ake.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Warga menikmati kopi susu di Warung Kopi Kong Djie di Jalan Siburik Barat, Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Senin (21/5/2018).

Amur Muchasim, gubernur pertama Bangka Belitung, misalnya, pernah ngopi di warung tersebut. Begitupun dengan mantan Bupati Belitung Ishak Zainuddin. A Kiong mengabadikan foto mereka di sebuah album tua.

Warung kopi di Belitung memang turut menjadi saksi perkembangan pulau itu sejak abad ke-19 pada masa kolonial Belanda. Menurut Salim Yan Albert, pemerhati budaya Belitung, pekerja tambang timah saat itu yang kebanyakan berasal dari China memulai tradisi minum kopi.

“Sebelum kerja pukul 07.00, mereka minum kopi. Istirahat siang hari minum kopi. Begitupun sepulang kerja. Warung kopi jadi tempat melepas lelah dan berbagi cerita,” ujar Salim. Kopi bubuk itu didatangkan dari Lampung karena tidak ada kebun kopi di Belitung.

Kebiasaan tersebut tetap tumbuh meskipun penambangan skala besar yang dulu dioperasikan NV Billiton Maatshcappij dan PN Timah telah berhenti beroperasi pada 1992. Sedikitnya 8.000 pekerja tambang timah kehilangan pekerjaan saat itu.

Namun, warung kopi justru liat bertahan. “Ini usaha yang modalnya sedikit saat itu. Hanya butuh kopi beberapa ons, susu satu kaleng, dan gula setengah kilogram sudah bisa buka warung kopi sehari. Hasilnya, beli beras dan sayur. Besok beli bahan seperti itu untuk buka warung. Begitu seterusnya, hanya untuk bertahan hidup,” tutur Ismen Holidi (53), anak Kong Djie.

Menurut dia, usaha warung kopi kala itu dipandang sebelah mata seperti tukang sayur, level usaha terendah. Sebaliknya, bekerja di tambang timah begitu terpandang. “Anak warung kopi sangat susah cari pacar, apalagi istri,” ujar Ismen.

Usaha warung kopi kala itu dipandang sebelah mata seperti tukang sayur, level usaha terendah.

Namun, budaya minum kopi perlahan mengubah pandangan itu. Warung kopi kian dibutuhkan. Belakangan, kedai kopi modern di kota besar menjamur, begitu pula di Belitung. “Sekarang, kami punya 67 warung kopi Kong Djie dengan waralaba di sejumlah daerah, seperti Banjarmasin dan Pekanbaru,” lanjut Ismen.

Menurut dia, kopi bubuk di Kong Djie tetap dipasok dari Lampung. Sebulan, setidaknya 20 ton kopi bubuk dibutuhkan. Budaya minum kopi perlahan menjadi industri. Warung kopi di Belitung pun berevolusi. Kini, orang kaya turut membuka warung kopi.

Kedai kopi dengan alat mesin espresso plus barista muda bahkan mulai bermunculan tiga tahun terakhir di Belitung. Bersamaan dengan itu, kopi arabika mulai mencari tempat. “Kami ingin memberikan pilihan kepada penikmat kopi bahwa ada kopi arabika, tidak melulu kopi robusta yang jadi kopi susu,” ujar Harianto (34), pemilik T-Coffe di Belitung.

Harianto yang saat ini tinggal di Bandung, Jawa Barat, memilih membuka usaha kopi di kampung halamannya. Berbekal mesin espresso buatan orang Yogyakarta dan biji kopi asal Jawa Barat, ia membuka kedai kopi. Setidaknya ada belasan kedai kopi serupa di Belitung.

Komunitas Barista Belitung yang beranggotakan 40 orang juga memberikan pelatihan barista secara cuma-cuma kepada siswa SMKN 3 Tanjung Pandan Jurusan Pariwisata. Sekolah bahkan punya mesin espresso.

“Saya belajar setahun sebagai barista, sekaligus mengumpulkan uang beguyor (sedikit demi sedikit) untuk buka kedai kopi sendiri. Ikut kerja sama orang rasanya enggak enak juga,” ucap Hestian Grenpin (24), Ketua Komunitas Barista Belitung, sekaligus pemilik Coffee Grenpin.

Menurut dia, anak muda Belitung kini mulai tertarik membuka usaha kedai kopi, bahkan ada yang menggunakan gerobak. Virus pengusaha mulai merebak dari warung kopi.

Identitas kota

Budaya minum kopi bahkan dijadikan identitas Kabupaten Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung. Gapura bertuliskan “Selamat Datang di Kota Wisata 1.001 Warung Kopi” menyambut siapa saja yang masuk ke Manggar, pusat kota Belitung Timur. Di pusat kota, tugu dua ceret kuno berdiri.

Pada 2009, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung meresmikan Manggar sebagai kota 1.001 kopi. Saat itu, Museum Rekor Dunia Indonesia mencatatkan Manggar sebagai kota dengan rekor 17.070 orang meminum kopi bersama.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Pengelola Warung Kong Djie, Ismen Holidi, menunjukkan warung kopinya di Jalan Siburik Barat, Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Senin (21/5/2018).

Ketua Koperasi Warung Kopi Manggar Ayung mengatakan, saat ini terdapat sekitar 200 warung kopi di Manggar. Jumlah itu melonjak dibandingkan tahun 1950-an yang hanya sekitar 10 warung kopi di Manggar. Padahal, produksi kopi di Belitung Timur tahun 2016 hanya 0,022 ton.

Penggilingan kopi juga bertumbuh di Manggar. Menurut Wendi, pengelola Sumber Kopi, kopi bubuk Manggar, saat ini terdapat tiga penggilingan kopi yang memasuk kopi bubuk ke warung kopi di Belitung dan Belitung Timur. Padahal, pada 1960-an, hanya Sumber Kopi yang menjadi tempat penggilingan.

“Dulu, kakek menjual ukuran ons per hari. Sekarang, sehari kami menjual 10-15 kilogram,” ujar Wendy, generasi ketiga pemilik Sumber Kopi. Usaha keluarganya bahkan kini merambah ke perlengkapan rumah.

Begitulah budaya minum kopi di Belitung. Dari warung kopi, perubahan besar terjadi. Kota yang dikenal sebagai tempat tambang timah itu kini menjelma menjadi kota wisata 1.001 warung kopi. Usaha produktif lainnya ikut lahir.

Barangkali, kalau Oasis tinggal di Belitung, band rock tersebut akan menulis lagu “revolusi dari warung kopi” bukan “revolusi dari tempat tidurku/revolution from my bed”. (ABDULLAH FIKRI ASHRI)