Kopi, bagi masyarakat adat Waerebo di pedalaman Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, bukan sekadar komoditas ekonomi. Tidak pula semata minuman penghangat dari dingin angin gunung. Lama sebelum pintu pariwisata terbuka, kopi telah menjadi karunia, napas yang menghidupi lawa atau manusia-manusia Waerebo.
Matahari kian meninggi saat Marselus Esbi (35) lincah berkelebat dari satu pohon ke pohon kopi lain sambil menggendong keranjang kecil. Dia berkejaran dengan hujan yang beberapa hari terakhir membasahi Waerebo. Telah banyak dahan dan ranting kopi dipangkas. Keranjang kecil jadi wadah jika dia mendapati buah kopi yang sudah memerah.
“Mesti rajin dipangkas supaya matahari masuk dan makanan tidak terbagi ke ranting atau dahan yang tidak berbuah,” katanya saat ditemui di kebun kopinya di Kampung Adat Waerebo, Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (8/2/2018).
Marsel, begitu sapaannya, merawat tanaman kopi di lahan berukuran 25 meter x 100 meter. Musim panen belum tiba. Tetapi, siang itu, dia beberapa kali memetik biji kopi yang sudah matang dan mencolok dari kebanyakan biji hijau di ranting tanaman. Di Waerebo, panen raya kopi biasanya berlangsung dari April hingga Agustus.
Waerebo dalam satu dekade terakhir menjadi destinasi wisata budaya berkat tujuh rumah berbentuk kerucut atau disebut mbaru niang dalam bahasa Manggarai, bahasa yang digunakan warga setempat.
Rumah kerucut tersebut dikonstruksi dari bahan-bahan lokal, seperti ilalang dan ijuk untuk atap, kayu untuk tiang, dan papan untuk lantai panggung. Rumah-rumah itu berdiri di tengah lingkungan hutan yang masih asri, dikepung bukit-bukit hijau. Obyek wisata yang sangat menarik minat wisatawan domestik, apalagi mancanegara.
Waerebo terletak di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut. Tempat itu berada di lembah yang dikelilingi gunung. Jarak Waerebo dari Pos Satu, tempat kendaraan bermotor berhenti, mencapai 5 kilometer. Pengunjung berjalan kaki mendaki gunung selama sekitar 3,5 jam dari Pos Satu menuju Waerebo.
Keluarga besar Marsel memiliki sekitar 1,5 hektar kebun kopi. Kebun lain dengan ukuran serupa tersebar di lereng di bagian timur, barat, dan utara kampung. Marsel merupakan ahli waris kebun kopi tersebut karena hanya dia yang tinggal bersama orangtuanya di Waerebo. Gabriel Ngantur (72), sang ayah, sudah tak kuat lagi mengurus tanaman.
Marsel menuturkan, rata-rata produksi dari kebun seluas 1,5 hektar itu mencapai 400 kilogram kopi beras atau greenbean per tahun. Kopi biasanya dijual kepada pengepul di Pasar Dintor, kampung di pesisir yang dilintasi saat berkunjung ke Waerebo.
Penyangga hidup
Tahun ini, harga kopi berkisar Rp 25.000-Rp 35.000 per kg. Dalam setahun, keluarga Marsel bisa mendulang sekitar Rp 14 juta dari penjualan kopi.
Uang hasil penjualan kopi digunakan untuk menyangga seluruh kebutuhan hidup warga. Mulai dari membeli beras dan kebutuhan lain di pasar hingga menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan tinggi.
“Warga asli Waerebo tidak punya lahan pertanian lain, seperti ladang atau sawah. Uang hasil menjual kopi dipakai untuk memenuhi kebutuhan harian dan persiapan untuk kebutuhan ke depan,” ujar Gabriel.
Tak hanya konsumsi harian, uang hasil penjualan kopi juga jadi sandaran orangtua menyekolahkan anaknya. Gabriel, misalnya, dari enam anak, ia berhasil menyekolahkan dua anaknya hingga pendidikan tinggi.
Satu orang menjadi sarjana pertanian yang saat ini jadi penyuluh di Kecamatan Satarmese Barat dan satu lainnya menjadi guru negeri di Pulau Mules, satu-satunya pulau di wilayah Kecamatan Satarmese Barat yang berjarak sekitar 7 km dari Dintor.
Sementara Marsel dan tiga adiknya menikmati pendidikan sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama. “Biar cuma tamatan SMA, saya sangat bangga mengingat sumber penghasilan kami sangat terbatas,” kata Marsel yang sembilan tahun merantau ke Pulau Bali.
Menurut Gabriel, uang hasil menjual kopi biasanya ditabung. Tinggal di pedalaman, mereka biasa menyimpan uang di rumah. Jika kebetulan sedang ke kota, kadang mereka juga membeli emas perhiasan.
Tabungan itulah yang kelak digunakan saat ada kebutuhan cukup besar seperti membiayai sekolah serta kehidupan anak di perantauan.
Mereka diajak menikmati perjalanan secangkir kopi mulai dari kebun petani.
Hal yang sama dilakukan Dita (50), petani perempuan asal Waerebo. Kebun kopinya total seluas 1 hektar. Berkat kopi, ia mampu menyekolahkan tiga anaknya. Dua anaknya saat ini duduk di bangku kuliah, satu lagi masih di SMA.
Keluarga Marsel dan Dita contoh dari 118 keluarga di Waerebo yang mengandalkan kopi sebagai tumpuan hidup, baik untuk konsumsi harian maupun pendidikan anak-anak. Di Waerebo, total luas kebun kopi mencapai 200 hektar.
Berkelindan dengan terbukanya Kampung Adat Waerebo terhadap dunia luar sejak sekitar 2008, kopi menjadi salah satu daya tarik wisata. Tidak hanya dijual ke pasar, mereka juga menyuguhkan kopi kepada wisatawan. Mereka diajak menikmati perjalanan secangkir kopi mulai dari kebun petani.
Kopi yang sudah diolah hingga bentuk sangrai atau bubuk kemudian dikemas dan menjadi buah tangan. Petani mulai membuka diri untuk tidak hanya menjual dalam bentuk biji kulit tanduk, tetapi juga mengolah dan mengemasnya.
Marten Forma, petani kopi Waerebo lain, mengungkapkan, jauh sebelum pariwisata meningkatkan penghasilan warga, kopi sudah menjadi penyangga hidup mereka.
Hanya saja, mereka tetap bersyukur dengan terbukanya akses pariwisata ke Waerebo. Pasalnya, hal itu memungkinkan kopi Waerebo terdengar oleh sejumlah pegiat kopi di Pulau Jawa.
“Sudah ada pemilik kafe di Bandung yang mengambil kopi dari Waerebo dengan harga tinggi. Ini tidak mungkin tanpa pariwisata,” ujar Marten.
Meski demikian, kekhasan di Waerebo, tanaman kopi arabika biasanya bercampur dengan robusta dalam satu kebun. Namun, saat panen, mereka biasa memisahkannya. Pasalnya, pedagang di pasar biasanya akan menanyakan jenis kopi yang dijual, apakah robusta atau arabika.
Dari satu bibit
Menurut Ketua Adat Waerebo Aleksander Ngadus (71), kopi masuk ke Waerebo pada 1960-an. Satu bibit kopi robusta dibawa seorang warga yang menjual barang ke Colol, Kabupaten Manggarai Timur, yang waktu itu sudah masyhur sebagai daerah penghasil kopi.
“Begitu panen pertama, warga lainnya tertarik untuk ikut budidaya. Kopi lalu berkembang menjadi sumber kehidupan kami. Usaha lain hanya tambahan,” katanya.
Usaha tambahan tersebut antara lain pengambilan kulit kayu manis dan sawah. Sebagian warga Waerebo memiliki sawah di Kombo, daerah “pemekaran” kampung Waerebo yang terletak di dekat Dintor.
Walau tak luas, generasi Waerebo berumur 50 tahun ke bawah rata-rata memiliki sawah meski di Kombo. Mereka juga punya rumah di kampung tersebut. Anak-anak Waerebo berusia sekolah dasar tinggal di kampung itu untuk bisa bersekolah.
Kebun kopi mengelilingi kampung Waerebo. Tanaman kopi menyapa pengunjung dari radius sekitar 700 meter sebelum masuk ke kampung. Di titik luar di lereng pinggir jalan, ada tanaman kopi yang baru ditanam. Semakin mendekat ke kampung, terlihat pohon kopi yang kokoh dan rindang menandakan tanaman tersebut sudah berumur.
Begitu panen pertama, warga lain tertarik untuk ikut budidaya. Kopi lalu berkembang menjadi sumber kehidupan kami.
Budidaya dan pengolahan pascapanen kopi di Waerebo selama ini juga masih dilakukan secara tradisional. Petani tak memberikan pupuk dan pestisida tanaman. Mereka menghindari pemupukan terutama dengan pupuk kimia.
Bagi mereka, hal itu bisa merusak tanah warisan leluhur. Untuk menghasilkan biji kopi siap jual, warga menumbuknya meskipun dalam empat tahun terakhir mesin pengolahan kopi sudah mulai digunakan petani.
Lelah menjelajahi kebun-kebun kopi di Waerebo, Marsel mengajak mampir ke rumahnya. Tak lama berselang, Maria Stefani Edan (32), istri Marsel yang tengah mengandung, keluar dari dapur rumah dengan enam gelas kopi pada tilam. Dari tekstur yang hitam pekat, bisa ditebak kopi yang disuguhkan jenis robusta.
Di beranda rumah, Marsel menyeruput kopinya nikmat. Sambil menghirup udara tanpa polusi, dia meneguhkan harapan, geliat wisata bakal mengangkat potensi kopi Waerebo, hingga semakin kokoh menjadi sandaran hidup keluarga, terutama anaknya kelak. Sama seperti ayah dan kakeknya dulu. (VIDELIS JEMALI/GREGORIUS M FINESSO)