Meski menghasilkan kopi bercita rasa tinggi, kopi yang dihasilkan petani Manggarai, Nusa Tenggara Timur, selama ini minim nilai tambah. Bersama keluarganya, Werry Sutanto (40) mengangkat derajat kopi Manggarai lewat produk kemasan dan kafe. Geliat wisata Pulau Flores menjadi momentum mengangkat pamornya.

Sejak puluhan tahun lalu, Werry dan keluarganya telah mengolah kopi yang dihasilkan petani di Colol, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, dengan bernaung di bawah UD La Bajo. Perusahaan tersebut berkantor di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, NTT.

“Dengan mengolah kopi, visi kami sederhana saja. Kalau orang ingat Flores, khususnya Manggarai, kopi referensinya, baik sebagai buah tangan maupun tempat nongkrong, mengingat Labuan Bajo atau Flores secara luas telah menjadi destinasi wisata dunia. Kopi harus disajikan dengan menarik,” kata Werry, yang juga Manajer Operasional UD La Bajo di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Selasa (6/2/2018).

Kecintaan Werry terhadap kopi berawal sejak dia belia. Saat musim panen kopi pada 1990-an, Werry remaja sering menjelajah kebun kopi di Kabupaten Manggarai Timur, terutama daerah Colol dan Benteng Jawa. Dua daerah itu adalah sentra kopi.

Ia rela berkalan kaki di kebun petani untuk menemani orangtuanya mencari hasil kopi. Perjalanan itu bisa memakan waktu hingga dua hari. Interaksi seperti itu membuat dirinya tak bisa jauh dari kopi.

Namun, Werry bersama saudaranya dua langkah lebih maju dari kakek dan orangtuanya dalam mengurus kopi. Dua generasi sebelumnya menjual kopi dalam bentuk green bean dan sangrai. Pada generasinya, kopi bubuk berhasil diproduksi. Tak hanya itu, kafe pun didirikan untuk menyajikan cita rasa kopi Manggarai.

UD La Bajo menghasilkan kopi bubuk dan kopi biji sangrai dalam kemasan berbagai ukuran. Kemasan berbobot mulai dari 200 gram hingga 1 kilogram. Kopi yang diolah lebih banyak jenis robusta dan arabika, dua jenis kopi yang tersebar di pegunungan Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur), meski ada juga kopi langka juria dan yellow cattura.

Harga kopi bervariasi bergantung pada jenis dan bentuk olahannya. Kopi bubuk campuran arabika dan rosbusta, misalnya, dijual Rp 30.000 dalam kemasan 250 gram. Kopi arabika yang sudah di-roasting dihargai Rp 40.000 per 200 gram.

Kopi di Manggarai selama ini dikenal bercita rasa khas, yaitu paduan rasa manis, cokelat, bunga (floral), serta lemon. Aroma kopinya tajam. Tanaman kopi ini dibudidaya di ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut.

Kopi yang dihasilkan UD La Bajo dikemas dalam bungkusan yang menarik. Kopi dibalut dalam dua lapisan. Lapisan pertama sebagai wadah penyimpanan kopi terbuat dari plastik tebal. Lapisan luar terbuat dari kertas tebal berwarna dominan coklat.

Promosi daerah

Tak ketinggalan, dia menggunakan kemasan itu sebagai media promosi Flores. Kemasan luar ini disertai dengan narasi wisata Manggarai, antara lain tentang kadal purba komodo (Varanus komodoensis) di Labuan Bajo dan tarian caci, tarian khas Manggarai. Pada kemasan luar terdapat juga tulisan “Dari Flores untuk Indonesia”.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Suasana pagi hari di Pantai Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Selasa (6/2/2018). Di Labuan Bajo saat ini mulai bermunculan kedai-kedai kopi yang menyajikan kopi lokal.

“Kemasan biasanya bentuk promosi paling tepat untuk memengaruhi pembeli. Itu salah satu strategi kami. Tentu saja soal rasa kopi juga tidak diabaikan,” ujar lulusan Universitas Surabaya, Jawa Timur, itu.

UD La Bajo memproduksi kopi bubuk sejak 2010. Momentum datang pada 2013 saat digelarnya acara wisata nasional Sail Komodo di Labuan Bajo. Sejak itu, kopi produksi UD La Bajo mulai dikenal wisatawan.

Saat ini, La Bajo mengolah 1 ton kopi biji untuk dijadikan kopi bubuk dan kopi sangrai kemasan setiap bulan. Omzet usaha tersebut ditaksir mencapai Rp 200 juta per bulan.

Kopi kemasan dijual di toko oleh-oleh di Ruteng dan Labuan Bajo, toko modern, dan hotel. Belakangan banyak peminat kopi dari Jawa memesan langsung ke UD La Bajo.

Tak puas hanya menyediakan kopi untuk ditenteng wisatawan, UD La Bajo merambah usaha kafe. Pada April 2017, Kafe La Bajo Flores Coffee hadir di Bandara Komodo Labuan Bajo.

Dua bulan kemudian, kafe dengan nama sama menyapa wisatawan di jalur utama pelancongan di Jalan Soekarno-Hatta Labuan Bajo. Pada Oktober tahun sama, Kafe La Bajo Flores Coffee hadir di Bandara El Tari Kupang, ibu kota Provinsi NTT.

“Kami membuka kafe untuk memberikan pesan bahwa kalau ke Flores, ya, minum kopi Flores. Salah satunya kopi Manggarai,” kata pria kelahiran Ruteng itu.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Werry Sutanto

Kafe La Bajo Flores Coffee di Jalan Soekarno-Hatta bisa dikatakan menjadi etalase kopi Flores. Apalagi, di Labuan Bajo, tidak ada investor yang berani membuka kafe sebelum Werry dan saudaranya.

Keberanian Werry berkaca pada maraknya wisatawan mancanegara berkunjung ke Labuan Bajo dalam beberapa tahun terakhir. Kedai kopi di bandara Labuan Bajo juga didesain sesuai kearifan lokal Flores. Dinding sisi kanan ruangan belakang dihiasi kain tenun khas Manggarai.

Untuk ketiga kafe itu, Werry membutuhkan bahan baku 50-100 kg per bulan. Dia mempertahankan kualitas kopi dengan terjun langsung mencari kopi-kopi dari petani. Tak hanya itu, kepada para mitra petani, dia juga menekankan pentingnya penanaman dan pemanenan yang baik.

Werry menyatakan, pada awalnya pengunjung kafe didominasi wisatawan mancanegara. Mereka menyukai espresso dan cappuccino. “Belakangan wisatawan domestik juga berminat ngopi. Kami yakin usaha kafe ke depan bagus sebagai penyokong wisata di daerah destinasi seperti Flores,” katanya.

Dengan makin menggeliatnya wisata di Flores, Werry berencana membuka kafe di sejumlah kota di Flores, terutama di Bajawa, Kabupaten Ngada, dan Ende, Kabupaten Ende.

Tidak asing

Bisnis pengolahan kopi tidak asing bagi Werry. Sejak 1940-an, kakeknya berdagang kopi biji (green bean) dari Manggarai ke Surabaya, Jawa Timur, dan Jakarta. Usaha tersebut dilanjutkan ayahnya dengan menambah usaha lain berupa produksi kopi sangrai.

Bersama Wemi Sutanto, kakaknya, Werry melebarkan sayap promosi kopi Manggarai dengan menghasilkan kopi bubuk dan kafe.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Barista di kafe kopi La Bajo di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, menyiapkan kopi pesanan tamu, Selasa (6/2/2018). Labuan Bajo saat ini mulai mengembangkan kedai kopi, bukan hanya sebagai daerah penghasil green bean kopi.

Walau pernah studi hingga jenjang S-2 di Melbourne, Australia, Werry merasa lebih terpanggil membesarkan nama kopi Manggarai. Untuk itu, dia memilih pulang ke Flores, memperkuat citra kopi Manggarai agar bisa menjadi ikon di Nusa Tenggara Timur. “Setidaknya, kopi bisa jadi oleh-oleh bagi semua tamu yang datang ke Labuan Bajo,” ujarnya.

UD La Bajo mendapatkan kopi dari petani di Colol, Manggarai Timur, sekitar 80 kilometer arah timur Ruteng. Petani yang memasok kopi terus didampingi untuk memastikan kualitas kopi, terutama proses pascapanen, seperti petik merah, penjemuran pada wahana khusus. Kopi dibeli dengan harga Rp 25.000-Rp 35.000 per kg.

Kopi dari petani tersebut diproses di unit produksi milik UD La Bajo di Ruteng, mulai dari sangrai hingga pengemasan. UD La Bajo mempekerjakan 30 karyawan, mulai dari unit pengolahan kopi hingga kafe.

Mulai bertumbuhnya kafe-kafe di Labuan Bajo beberapa bulan terakhir membuktikan usaha Werry merintis kedai kopi tidak sia-sia. Baginya, wisata menjadi jendela yang memberi angin segar peningkatan kualitas dan citra kopi Manggarai di mata dunia. (Videlis Jemali/Gregorius M Finesso)

PROFIL

 

Nama : Werry Sutanto

Tempat/Tanggal Lahir : Ruteng, 5 Mei 1977

Pendidikan : S2 Royal Melbourne Institute of Technology

Aktivitas : Manajer Harian UD La Bajo, Labuan Bajo, Flores

Istri : Christine Mayasari

Anak : 1. Darren Sutanto

  1. Cheryl Sutanto
  2. Jasper Sutanto