Ratusan tahun menyuplai kebutuhan kopi dunia, negeri ini punya lembaga riset tangguh dengan hasil mutakhir dan para ahli mumpuni. Ironis, itu semua belum mampu mengoptimalkan potensi kopi di tanah kita. Lemahnya diseminasi bahkan telah memaksa petani untuk bergumul sendiri.

Sudah jadi kebiasaan di Dampit, Kabupaten Malang, Jawa Timur, petani mencoba menyilangkan sendiri bibit pohon kopi demi tanaman yang lebih digdaya. Untuk robusta, misalnya, petani dapat menggunakan BP 308 yang diyakini berakar kuat dan tahan hama pada batang bawah. Sementara batang atas dipilih sesuai kebutuhan. Ambil contoh, jika petani ingin kopi beraroma nangka, mereka memasangkannya dengan ekselsa. Tugu sari dan malang putih juga jadi pilihan jika ingin panen lebih cepat atau kulit buah tipis.

Terkadang, saat melihat pohon tetangganya tumbuh lebih bagus, hijau, dan berbuah lebat, petani coba menanam bibit kopi dari pohon itu. Bibit kopi baru ditanam bercampur dengan tanaman yang sudah ada. Persilangan lebih sering tak tercatat dan akhirnya tak lagi dikenali. “Istilahnya, varietas campur aduk,” kata Sukri, petani setempat.

KOMPAS/ HENDRA A SETYAWAN

Sisi selatan kaki Gunung Semeru yang membentang di kawasan yang dikenal dengan nama ”Amstirdam” (Ampelgading, Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudo, Dampit), di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa (9/1/2018).

Pembibitan arabika lebih parah lagi. Petani memakai biji dari buah yang jatuh di tanah. Biji itu dikembangkan menjadi bibit. Setelah 4-5 tahun, bibit tumbuh dan berbuah. Tak ada sistem pencatatan. Setelah belasan tahun, Sukri menduga ada 20 varietas kopi dalam satu kebun!

Kondisi sama terjadi di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar petani kopi di Desa Goloworok, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, misalnya, terbiasa mempraktikkan ilmu coba-coba di kebunnya.

“Banyak yang masih membudidayakan kopi asal-asalan. Untuk bibit, kami hanya memindahkan anakan kopi yang berada di sekitar tanaman tua ke lahan baru. Beberapa juga melakukan sambung pucuk dengan varietas asalan jika tanaman lama tak produktif lagi,” kata Agustinus Abu (45), Ketua Kelompok Tani Wajah Baru Goloworok.

Menurut Agustinus, petani jarang mendapat pendampingan lembaga riset ataupun pemerintah. Di Flores, pendampingan justru datang dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan gereja. Meski begitu, dia pernah mendengar mengenai lembaga riset seperti Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) di Jember, Jawa Timur. “Bantuan bibit dinas pertanian biasanya dibeli dari sana,” ucapnya.

KOMPAS/ HENDRA A SETYAWAN

Pemulia dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) menguji kopi di laboratorium uji kopi Puslitkoka, Jember, Jawa Timur, Kamis (11/1/2018). Kopi dari seluruh Nusantara diujikan di laboratorium ini.

Belum menyebar

Pengetahuan Agustinus tentang Puslitkoka tidak salah. Salah satu hasil penelitian Puslitkoka, yang berdiri tahun 1911, berupa bibit-bibit unggul. Satu di antaranya akar super. Bibit ini diklaim tahan di iklim kering dan lahan marjinal. Temuan ini mampu menjawab tantangan perubahan iklim global.

Akar super merupakan hasil perpaduan antara klon unggul kopi robusta dan arabika. Akarnya dipilih dari robusta, berserabut banyak dibandingkan perakaran bibit kopi biasa. Bagian atasnya arabika, yang menjanjikan buah kaya rasa.

Bibit itu juga diklaim tahan nematoda karena memiliki regenerasi akar cepat. Disertai pola perawatan baik, tanaman ini mampu menghasilkan lebih dari 2 ton kopi per hektar. Si akar super sebutannya kini ditanam di lahan PTPN VI, Lampung, dan Kintamani, Bali. Vietnam pun mengincarnya.

Kepala Puslitkoka Misnawi mengatakan, pihaknya berusaha menjangkau petani dengan bekerja sama dengan pemerintah kabupaten. Kerja sama ini berhasil diterapkan di Bondowoso, Jawa Timur, dan Kintamani, Bali.

Di Kintamani, petani bahkan mendapatkan indeks geografis pertama kali. Kopi mereka diperhitungkan dunia. Di Bondowoso hingga kini petani masih dibina oleh Puslitkoka. Bukan cuma pendampingan di kebun, tetapi juga pascapanen. Dari situ, kopi Ijen-Raung Bondowoso mendapatkan nama dan menembus pasar Eropa.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Varietas kopi typika di kebun Kalisat-Jampit milik PTPN XII di Bondowoso, Jawa Timur, Jumat (12/1/2018). Typika adalah salah satu varietas kopi terbaik di dunia.

Meski begitu, Misnawi menyadari bahwa Puslitkoka belum mampu menjangkau banyak daerah. Untuk itu, dia berkeinginan mempunyai daerah satelit penelitian di sentra-sentra kopi. Dengan begitu, petani yang terjangkau semakin luas.

Sementara itu, karena dituntut mandiri, Direktur Utama PT Riset Perkebunan Nusantara Teguh Wahyudi mengatakan, sudah banyak riset dan inovasi teknologi dilahirkan oleh lembaganya untuk membenahi perkopian nasional. “Semua yang dibutuhkan untuk mengembangkan kopi sudah ada hasil risetnya. Istilahnya, kita sudah paripurna soal riset kopi. Tinggal implementasinya,” ujarnya.

Hasil riset memang melimpah. Sudah ada pula riset untuk mendongkrak produktivitas kopi hingga mengatasi kejenuhan tanah serta dampak dari perubahan iklim. ”Di sebagian besar sentra kopi di daerah, asupan pupuk dan air rendah. Akibatnya, kondisi tanah jenuh dan minim hara. Itu sebabnya produktivitas kopi domestik rendah,” tutur Teguh.

Diseminasi lemah

Persoalannya, hasil riset negeri ini terkadang sekadar disimpan di dalam laci. Akhirnya, sentra budidaya kopi Nusantara kebanyakan berkembang tidak berdasarkan kesesuaian lahan dan perhitungan biaya produksi. Dengan demikian, meski hasil kopinya bagus, petani tidak cukup untung karena ongkos produksi juga besar.

Data riset Kementerian Koordinator Perekonomian, misalnya, menyebutkan, biaya transportasi hasil panen mengambil porsi 30 persen dari total biaya produksi. Bandingkan dengan Vietnam yang biaya transportasinya hanya memakan porsi 8 persen. Alokasi biaya lebih banyak untuk pupuk, air, dan bibit sehingga berdampak pada tingginya volume panen.

Menurut Teguh, hasil riset yang dibangun perusahaannya dengan Puslitkoka telah memberikan panduan jelas standar budidaya kopi. Ia mencontohkan, kebutuhan pupuk minimal 1,5 kilogram dan 100 liter air per pohon per tahun. Nyatanya, kebutuhan ini banyak tidak dipenuhi karena faktor geografis dan topografis kebun.

“Kebanyakan kebun di sini, kan, di pegunungan sehingga transportasi, pengairan, pemupukan, pemasaran lebih mudah dan hemat. Ini berbeda jauh dengan Vietnam atau Brasil yang kebunnya mudah diakses,” lanjut Teguh.

Teguh pun meyakini, hasil riset dalam negeri lebih lengkap dibandingkan riset kopi Vietnam yang produksi kopinya justru di atas Indonesia. Hanya saja, Vietnam telah menerapkan standar budidaya kopi secara optimal. Hasilnya, hanya dalam 20 tahun, negara itu melesat menjadi produsen kopi terbesar ketiga di dunia.

KOMPAS/ HENDRA A SETYAWAN

Proses uji rasa di laboratorium pabrik pengolahan kopi arabika PTPN XII Kebun Kalisat, Bondowoso, Jawa Timur, Jumat (12/1/2018).

Peran Pemerintah Vietnam juga begitu sentral. Negara itu mampu mendongkrak produktivitas kopi robustanya sejak pemberlakuan kebijakan sektor pertanian Doi Moi tahun 1986. Kebijakan tersebut memungkinkan petani mempertahankan keuntungan melalui subsidi dan insentif pajak.

“Bahkan, ketika harga kopi dunia jatuh pada level tertentu, pemerintah mengambil langkah subsidi,” kata Lin Che Wei, Penasihat Kebijakan Kementerian Koordinator Perekonomian.

Dalam kurun 1986-2017, produksi kopi di Vietnam meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 16 persen per tahun. Bandingkan dengan Indonesia yang cenderung stagnan, hanya 0,2 persen per tahun selama 8 tahun terakhir.

Pengelolaan budidaya kopi oleh rakyat juga tidak bisa disebut sebagai penyebab rendahnya produktivitas kopi dalam negeri. Nyatanya, 99 persen dari total produksi kopi Vietnam juga hasil perkebunan rakyat.

KOMPAS/ HENDRA A SETYAWAN

Para petani melakukan arisan tenaga di perkebunan kopi rakyat di Desa Srimulyo, Dampit, Malang, Jawa Timur, Selasa (9/1/2018). Arisan tenaga adalah bentuk gotong royong petani untuk mengolah kebun kopi. Kawasan ini merupakan penghasil utama kopi robusta di Malang.

Riset yang diolah dari USDA, Trading Economics, Trademap, International Coffee Organizations, dan Worldmeters oleh tim konsultan Peta Jalan Kopi Nasional Kementerian Koordinator Perekonomian menunjukkan kecenderungan strategi yang berbeda dari lima negara produsen kopi terbesar di dunia.

Sebagai produsen kopi terbesar, Brasil fokus pada produksi yang lebih efisien dengan target pasar arabika spesial. Vietnam serius mengembangkan kopi robusta besar-besaran. Mereka menyasar biaya produksi rendah dan menargetkan pangsa pasar industri yang menggunakan bahan baku massal.

Kolombia, dengan hasil produksi yang lebih kecil, berani memanfaatkan keunikan dan menyasar kalangan khusus. Adapun kopi Indonesia yang mayoritas robusta masih dibebani produktivitas yang rendah dan biaya produksi tinggi, sedangkan potensi arabika yang sangat baik produksinya masih terbatas. Sementara Etiopia berani fokus pada keunikan arabika dengan beragam varietas unggul.

“Sekarang ini dapat dikatakan bahwa kita sedang krisis kopi. Kalau tak ada upaya pengembangan, tahun 2045 kita pasti impor (kopi),” lanjut Teguh.

Sekarang ini dapat dikatakan bahwa kita sedang krisis kopi. Kalau tak ada upaya pengembangan, tahun 2045 kita pasti impor.

Anggaran

Persoalan anggaran menjadi masalah klasik lain yang terus membelit lembaga riset. Peneliti pada Badan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh, Khalid, mengungkapkan, anggaran riset perbenihan kopi sepenuhnya masih mengandalkan bantuan pemerintah pusat dan dana internasional. Tingginya anggaran karena proses riset butuh waktu panjang. Mulai dari uji varietas dan cita rasa dengan metode analisis kluster hingga riset potensi produktivitas, kerentanan serangan hama dan penyakit, sampai stabilitas produksi.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Biji kopi jenis arabika king Gayo yang disangrai di KSU Qahwah Tanoh Gayo di Desa Monga, Kecamatan Bebesan, Kabupaten Aceh Besar, Minggu (17/12/2017).

Ia mencontohkan, sebelum pemerintah menetapkan varietas Gayo 1 dan Gayo 2 sebagai bibit anjuran, pihaknya terlebih dahulu mengadakan riset yang memakan waktu 5 tahun, sejak tahun 2006 hingga 2010. Biayanya sekitar Rp 300 juta.

Setelah riset selesai dan bibit telah disertifikasi, persoalan lain muncul, yakni tak ada kebun induk pembenihan. Pembangunan kebun induk semestinya jadi tanggung jawab pemerintah daerah. BPTP, kata Khalid, sejak delapan tahun lalu telah menyarankan Pemerintah Provinsi Aceh membangun kebun induk, tetapi belum juga terealisasi.

Akibatnya, distribusi bibit kedua varietas itu mengandalkan kebun petani. Kondisi yang membuka celah penurunan kualitas. Mengapa? Sebab, tanpa pengawasan ketat, mutu bibit yang beredar bisa jadi di bawah standar. “Kebun induk tak pernah jelas nasibnya. Setiap kali akan dibangun, akhirnya gagal ketika pergantian kepala daerah,” ujar Khalid.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Lanskap Dataran Tinggi Gayo dilihat dari puncak bukit Pantan Terong, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Senin (18/12/2017). Di Dataran Tinggi Gayo, menghampar perkebunan kopi rakyat terluas di negeri ini.

Ketidakterjangkauan bibit bermutu sebenarnya bisa dijembatani pemerintah. Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang mengatakan, pihaknya mempunyai program distribusi bibit meski jumlahnya terbatas.

Tahun 2017, Ditjen Perkebunan menganggarkan Rp 61,4 miliar untuk pembelian 2,5 juta batang benih dari sejumlah provinsi penghasil kopi. Harapannya, petani bisa meremajakan dan memperluas kebun dengan bibit tersertifikasi. Mungkin sepintas angka 2,5 juta batang itu terlihat besar walau sebenarnya hanya bisa memenuhi sekitar 11.205 hektar lahan dari total 1,2 juta lahan kopi di seluruh Nusantara.

Dalam Peta Jalan Kopi Kementerian Koordinator Perekonomian, variabel benih disebut sebagai faktor kunci yang bisa menentukan besaran produktivitas optimum kopi petani. Tidak heran jika dalam jangka waktu pendek, pemerintah berharap dapat menyertifikasi benih. Apalagi, selama ini, produktivitas yang rendah disebabkan penggunaan benih asalan.

KOMPAS/ HENDRA A SETYAWAN

Aktivitas uji rasa kopi di laboratorium pabrik pengolahan kopi milik PTPN XII Kebun Bangelan, Wonosari, Malang, Jawa Timur, Senin (8/1/2018). Kebun Bangelan menghasilkan kopi robusta yang diekspor ke Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang.

Untuk jangka menengah, fokusnya adalah penciptaan teknologi yang mampu mengatasi persoalan setiap jenis kopi. Penelitian dan pengembangan benih harus didorong dengan memberikan dukungan lebih besar pada badan riset atau universitas yang berjalan pada sektor perkebunan.

Riset jelas penting. Namun, peran pemerintah jelas lebih penting lagi, yakni mempertemukan petani dan periset di kebun. Sebab, riset menjadi penentu maju atau mundurnya perkembangan kopi Nusantara. Jika hasil riset unggul tak segera diadopsi, bisa jadi geliat perkopian selama beberapa tahun terakhir menjadi euforia belaka. (ITA/NIT/DIA/GRE)