Gelombang komodifikasi kopi terus berubah dari masa ke masa. Namun, rantai produksi dan distribusi ekonomi si biji hitam ini cenderung tak berubah.

Saat ini, industri kopi menghadapi komodifikasi produk yang dikenal sebagai kopi gelombang ketiga (third wave coffee). Kopi tidak lagi sebatas produk minuman sederhana yang mudah diseduh penikmat kafein seperti pada masa komodifikasi kopi gelombang pertama. Kopi juga tak lagi sekadar menjadi komoditas produk unggulan dalam jaringan waralaba restoran yang disebut industri gelombang kedua kopi (second wave coffee).

Industri gelombang ketiga kopi, yang berkembang sejak awal 2000-an, menjadikan kopi sebagai produk artisanal. Kopi tak sekadar diapresiasi terkait kualitas dan cita rasanya, tetapi juga proses dan asal-muasalnya.

Perjalanan kopi dari buah ceri hingga menjadi secangkir minuman yang siap diseruput telah melalui proses dan tahapan yang panjang. Dalam tahapan yang panjang itu, proses pascapanen di sektor hulu yang berperan paling besar dalam menentukan kualitas dan cita rasa kopi. Walau demikian, petani justru cenderung menerima distribusi ekonomi paling kecil.

Harga kopi di tingkatan petani bahkan berbeda-beda di sejumlah daerah. Hal ini tergantung dari kualitas kopi dan dipengaruhi permintaan pasar. Berdasarkan hasil wawancara terhadap sejumlah petani di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, dan Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, misalnya, harga rata-rata kopi arabika dalam bentuk gabah berkisar Rp 13.000-Rp 20.000 per kilogram.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Proses sangrai biji kopi di Pastoran Bomomani, Kabupaten Dogiyai, Papua. Masyarakat, selain menjual kopi hasil kebun mereka ke beberapa pengepul, juga menjual kopi kepada pihak gereja.

Tentu saja, tidak dibutuhkan 1 kilogram biji kopi untuk menyajikan secangkir kopi. Secangkir kopi rata-rata hanya membutuhkan 18-20 gram biji kopi yang sudah disangrai.

Itu pun tidak seluruh kopi yang dipanen dapat disajikan. Dalam proses pengolahan, ada bobot yang susut. Pada proses pengolahan menjadi biji hijau (greenbean), misalnya, bobot gabah kopi susut sekitar 20 persen. Demikian juga dalam proses menyangrai kopi, bobot biji hijau kembali menyusut sekitar 20 persen. Dengan demikian, dibutuhkan sekitar 1,44 kilogram kopi gabah untuk menghasilkan 1 kilogram kopi siap seduh.

Secangkir kopi nikmat dengan demikian bermula dari 30 gram gabah kopi yang dihasilkan petani. Jika secangkir kopi arabika di sebuah kedai kopi dihargai Rp 20.000, nilai yang diterima pada tingkatan petani hanya sekitar 2 persen atau senilai Rp 300.

Padahal, proses pascapanen memegang peranan paling besar dalam menentukan kualitas cita rasa kopi. Umumnya, proses produksi yang dimulai dari tahap pemetikan buah kopi, pemilahan, pengeringan, hingga menjadi biji hijau siap sangrai berkontribusi hingga 60 persen terhadap kualitas kopi.

Sementara itu, proses roasting (sangrai) juga berperan sekitar 20 persen dalam membentuk kualitas dan cita rasa kopi. Selanjutnya, teknik dan keahlian barista dalam menyeduh kopi dapat berkontribusi sekitar 20 persen untuk meningkatkan atau menjaga kualitas dan cita rasa kopi yang disajikan.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Suasana kehidupan sehari-hari penduduk di Kampung Modio, Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Papua. Selain berladang, mereka juga berkebun dengan tanaman utama kopi.

Petani sebagai ujung tombak
Dengan demikian, petani sesungguhnya adalah ujung tombak dalam proses produksi kopi. Bambang Heri Santoso (53), petani kopi di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pun giat mendorong petani di daerahnya untuk melakukan proses pascapanen hingga menghasilkan produk biji hijau. Menurut Bambang, petani bisa mendapat nilai tambah dengan harga jual yang lebih tinggi apabila mengolah hasil panen mereka.

Namun, konsekuensinya, petani butuh waktu lebih lama untuk menjual hasil panennya jika ikut melakukan proses pascapanen. Tak heran, banyak petani yang lebih suka menjual langsung gabah kopi atau bahkan dalam bentuk buah ceri karena dapat menghasilkan uang lebih cepat. Mereka, para petani, kurang sabar.

Hendra Maulizar (34), petani kopi asal Gayo, punya pendapat berbeda. Peran petani, ujarnya, lebih baik difokuskan pada proses tanam daripada ikut mengurusi proses pascapanen. Proses pascapanen dapat dilakukan secara khusus oleh mereka yang lebih memiliki keahlian.

Dengan demikian, produksi kopi di suatu daerah akan secara konsisten memenuhi standar mutu. Menurut Hendra, yang terpenting adalah ada kebijakan penetapan harga yang adil bagi petani. (SUWARDIMAN/LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/ PRIYOMBODO

Pedagang kopi keliling menggunakan mobil menjadi tren di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, seperti terlihat di pinggiran Danau Laut Tawar, Sabtu (16/12/2017). Tak sedikit dari pedagang kopi keliling atau coffee mobile ini menawarkan kopi dengan biji kopi arabika Gayo yang ditanam dari kebun mereka sendiri.