Papua sudah menjadi daerah penghasil kopi sejak tahun 1950-an. Ratu Wilhelmina dari Belanda pun sempat membahas tentang hasil kebun kopi dari Papua. Sempat meredup, kini geliat kopi Papua mulai terlihat lagi.

Ratu Wilhelmina menerima delapan pejabat dari Papua yang mewakili Gubernur Nederlands Nieuw Guinea pada 15 November 1960. Mereka berunding di Palais Het Loo, istana Kerajaan Belanda di kota Gelderland, Provinsi Apeeldorn.

Catatan pertemuan itu ditulis dan diterbitkan koran Gereformeerd Gezinsbkad, 18 November 1960. Disebutkan dalam catatan itu bahwa Ratu Belanda membahas persoalan Papua sambil menikmati kopi.

Penulis sejarah Andi Tabea mengumpulkan catatan-catatan lama itu dalam penelusurannya tentang Papua. Dari catatan itu, diketahui bahwa kopi sudah ada di Papua pada awal abad ke-20. Diduga, kopi dibawa Pemerintah Belanda dan misionaris yang bertugas di Papua.

Mengutip koran The Sumatera Post, 20 April 1929, penanaman kopi robusta dilakukan oleh Zending DC Bout di Ambaidiru, Kepulauan Yapen. Kopi jenis arabika terlebih dahulu masuk Papua tahun 1890-an.

KOMPAS/ RADITYA HELABUMI

Warga membawakan tari mansorandak di tepi Pantai Inggrisau, Distrik Raimbawi, Kepulauan Yapen, Papua, Minggu (16/9/2012).

Setelah Perang Dunia II, kata Andi, Belanda menggiatkan pembangunan Papua, termasuk budidaya kopi. Pusat pembibitan dan sekolah pertanian dibangun di Sentani. Penanaman kopi pun meluas. Tahun 1956, produksi kopi Papua mencapai 100 ton. Selanjutnya, tahun 1959, produksinya naik menjadi 970 ton.

Pastor Johan Ferdinand Wijshijer, yang mendalami kopi di Mapia, pernah menemukan catatan tentang pengembangan kopi oleh Pastor Henk Smith OFM pada 1956 sampai dengan 1962 di Modio. Modio adalah kawasan pedalaman pertama yang dimasuki para misionaris di Pegunungan Tengah. Kini, wilayah itu masuk dalam wilayah Kabupaten Dogiyai. Pengembangan pun dilanjutkan ke Timepa oleh Pastor Hubert Zuwajs OFM.

Kopi yang masuk ke Modio adalah varietas typika. Varietas pertama yang didatangkan VOC ke Jawa pada abad ke-17. Typika yang nyaris hilang di Pulau Jawa justru banyak ditemukan di Pegunungan Tengah Papua yang beriklim sejuk pada ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut. Pohon-pohon kopi typika tumbuh baik di pegunungan itu.

Pengembangan kopi terus berlanjut. Masuknya misionaris sekaligus memperluas jelajah kopi di tanah itu. Mereka merintis kopi Moanemani, Kamuu, dan Paniai. Warga memang tidak hanya mendapatkan bantuan pangan, tetapi juga bibit kopi dari kalangan misionaris. Pasar kopi pun terbuka karena hasil panen diangkut dengan pesawat-pesawat yang mengantar para misionaris.

KOMPAS/ ICHWAN SUSANTO

Akses transportasi antardistrik di sejumlah pedalaman kabupaten di tanah Papua masih mengandalkan angkutan udara yang dilayani pesawat perintis milik Associated Mission Aviation (AMA), MAF, dan berbagai maskapai milik yayasan atau organisasi. Tampak pesawat milik AMA melintas di Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Kamis (16/8/2007).

Menyebar ke Wamena
Kopi juga telah masuk ke Lembah Baliem. Masih lekat dalam ingatan Pastor Lieshout OFM, ketika menginjakkan kakinya pertama kali di tanah Papua, 55 tahun silam. Di sekitar Lembah Baliem, Pegunungan Jayawijaya, ia telah mendapati banyak tanaman kopi. “Mereka sudah tanam di sekitar Kali Balim (Sungai Baliem),” kata pastor yang bertugas di Gereja Wamena Keuskupan Jayawijaya ini, Maret 2018.

Saat itu, kebanyakan petani belum mempunyai keterampilan mengolah kopi. Buah merah yang telah dipetik dari kebun dikupas menjadi biji gabah, lalu dijemur kering. Hasil biji langsung dijual kepada pedagang pengumpul.

KOMPAS/ IRMA TAMBUNAN

Sungai Baliem dilintasi tim Jelajah Kopi Nusantara saat menuju pusat kota Kabupaten Lanny Jaya, Maret 2018.

Distribusi biji kopi bermuara ke sebuah usaha pengolahan kopi yang dikelola pengusaha keturunan Tionghoa yang salah satu pabriknya ada di Wamena. Dari situ, biji kopi diolah menjadi bubuk kopi, kemudian disebar ke warung-warung lokal di kota itu. Selebihnya dipasok ke Jayapura dan Jakarta.

Pada era 1970-an hingga 1980-an, Moanemani merupakan produsen utama kopi Papua. Misionaris kemudian mendirikan lembaga P5 untuk kepentingan sosial warga. Salah satu programnya adalah pemberdayaan petani lewat kopi. P5 membagi bibit dan membeli kopi petani. Mereka juga mempunyai pabrik yang mengolah biji kopi menjadi bubuk. Hasil kopi P5 pun dijual ke penjuru Papua.

Namun, tak lama setelah Papua menjadi wilayah Indonesia, para misionaris kembali ke negaranya. Pamor P5 pun mulai surut. Seiring dengan surutnya kegiatan P5, petani mulai kebingungan untuk menjual hasil panen kopi mereka. Hal itu berlangsung bertahun-tahun, dan kini telah berjalan selama satu generasi.

KOMPAS/ ALBERTUS HENDRIYO WIDI

Menteri Perdagangan Thomas Lembong (kedua dari kiri) mengunjungi tempat pengolahan kopi P5 Moanemani yang masih tradisional di Kabupaten Dogiyai, Papua, Sabtu (11/6/2016). Dalam kesempatan itu, Kementerian Perdagangan meluncurkan dan mengampanyekan gerakan menyeduh kopi Papua guna memperkuat branding dan memperluas pasar kopi Papua.

Satu generasi Papua tak lagi mengenal kopi sebagai bagian dari penyangga hidup mereka. Ketika infrastruktur terbangun, mereka memilih untuk bekerja di kota. Kebun kopi hanya dirawat petani yang tak lagi muda. Bahkan, banyak kebun kopi yang telantar.

Telantar
Kepala Perwakilan Kelompok Kerja Papua Habel Sawaki membenarkan bahwa kini kian sulit mendapatkan kopi asli Papua di tanah Papua sendiri. Persoalannya, produksi yang kian terbatas tak sebanding dengan kebutuhan pasar. Alhasil, kopi dikuasai pedagang besar, yang selanjutnya diserap pasar di kota-kota besar atau untuk ekspor.

Terbatasnya produksi disebabkan banyak petani meninggalkan kebun kopi dan beralih menanam ubi. Harga kopi yang rendah dianggap tak sebanding dengan repot dan panjangnya proses pengolahan kopi. Berbeda dengan ubi yang bisa langsung dijual setelah dipanen.

Data Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BPPD) Papua menyebutkan, setengah dari total lahan kopi di Papua butuh revitalisasi. Penyebabnya, tanamannya tidak produktif.

”Total luasnya mencapai 9.400 hektar di Jayawijaya, Tolikara, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai. Namun, hanya 50 persen yang produktif. Lainnya memerlukan revitalisasi karena tidak dirawat,” ujar Laduani Ladamay, Kepala BPPD Papua.

DANIAL ADE KURNIAWAN

Kedai kopi Prima Garden di Jayapura, Papua, Selasa (27/3/20178). Prima Garden adalah kedai kopi pertama di Papua sejak tahun 1980.

Dari sisi luas tanam, memang terjadi penambahan luas 100-200 hektar per tahun. Namun, produksi kopi Papua hanya 1.900 ton per tahun. Produktivitas kopi artinya hanya 300 kilogram per hektar per tahun. Itu jauh di bawah angka nasional yang sebenarnya sudah terbilang rendah, yakni 700 kilogram per hektar per tahun.

Laduani melihat perubahan besar terjadi di masyarakat sejak berlakunya status otonomi khusus bagi Papua. Itu diiringi dengan masuknya beragam jenis bantuan pangan hingga subsidi hidup serta perbaikan infrastruktur.

Di satu sisi, bantuan itu berdampak positif, tetapi di sisi lain memunculkan persoalan baru karena warga Papua kini sebagian tergantung dengan bantuan.

Ia melanjutkan, telah ada program Gerakan Bangkit Mandiri dan Sejahtera Harapan Seluruh Rakyat (Gerbang Mas Hasrat) Papua dengan dana otonomi khusus sebesar Rp 3 miliar untuk pengembangan komoditas kopi sejak dua tahun lalu. Tahun ini, pihaknya pun telah mengajukan program pengembangan keluarga inovasi komoditas kopi arabika Papua di tiga kabupaten, yakni Dogiyai, Tolikara, dan Jayawijaya.

Nantinya, akan dibentuk kluster kopi. Setiap kluster kopi akan ditangani pengembangan 40 hektar kopi dari hulu hingga hilir dengan anggaran Rp 40 miliar per kluster. Dengan kegiatan itu, diharapkan tercapai target produktivitas kopi 1 ton per hektar.

Pada kenyataannya berbagai proyek pemerintah ternyata banyak yang tak berjalan. Di Mapia Tengah, kebun kopi percontohan yang baru ditanam tak lagi terurus. Gudang kopi yang terlihat baru pun tak terpakai. Peletakkan batu pendirian pabrik di Modio hanya sekadar peletakan batu saja. Ribuan hektar kopi di Lenbah Baliem terlantar. Jangan sampai kopi hanya menjadi proyek semata, dan rakyat menjadi obyeknya. (FABIO M LOPES COSTA/SIWI YUNITA CAHYANINGRUM/IRMA TAMBUNAN)

KOMPAS/DANU KUSWORO

Masyarakat yang tinggal di Kampung Modio, Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Papua, harus memikul hasil kebun yang akan dijual ke pasar. Mereka melewati hutan dan menyusuri jalan setapak untuk mencapai jembatan gantung di atas Sungai Mapia, Minggu (25/3/2018). Jembatan permanen yang menjadi penghubung desa-desa tersebut sampai kini hanya berupa fondasi di kedua sisi sungai.