Mabuk kopi. Begitulah rasanya saat tim Jelajah Kopi Nusantara mencari kisah tentang kopi di Jawa Timur, pada bulan Januari 2018 lalu. Jawa Timur ternyata kaya dengan plasma nutfah kopi. Kami pun tidak henti-hentinya mencicipi beraneka macam kopi dari kopi yang langka hingga yang berasa detergen.
Penjelajahan di Jawa Timur itu diikuti oleh tim Kompas yakni Eddy Hasby, Danial Ade Kurniawan, Hendra A Setiawan, Dimas Tri Adiyanto, Siwi Yunita Cahyaningrum, Dahlia Irawati, dan Joni Sukamto.
Baca: artikel Kompas tentang kopi yang membentuk kota-kota di Jawa Timur
Ikut mendampingi kami, sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono; pegiat kopi Malang, Derry Pradana; serta peneliti senior dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka), John Bako Baon.
Hari pertama di Malang, kami menengok Kebun Bangelan milik PTPN XII di Desa Bangelan, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang. Lokasinya di sisi tenggara Gunung Kawi.
Di Kebun Bangelan, kami langsung terpesona dengan bangunan pabrik kuno peninggalan zaman Belanda. Kami menemukan mesin-mesin kuno, alat penggorengan kopi berbahan bakar kayu lamtoro, areal pencucian dan penjemuran kopi, serta seluk-beluk pengolahan kopi masa lalu.
Sayangnya, saat itu pabrik tidak beroperasi karena tidak ada pasokan kopi. Saat berproduksi, Pabrik Bangelan mampu memproduksi 500-600 ton kopi per tahun.
Hal lain yang menyita perhatian kami di Kebun Bangelan adalah, kami menemukan beberapa jenis kopi unik. Ada kopi kapakata untuk penambah stamina, ada kopi moka yang tanamannya tumbuh rendah, dan aneka kopi unik lain.
Agus Sumaryanto, Manajer Kebun Bangelan, mengajari kami cara mencicip kopi robusta dengan benar. Ada tiga jenis kopi yang kami cicipi dimana masing-masing perlakuannya berbeda. Ada yang petik merah, petik ujung merah, dan sortiran. Saat baru diseduh pun aromanya sudah tercium harum. Robusta dengan perlakuan yang baik menghasilkan rasa yang kaya juga.
Selanjutnya, kami menjelajahi wilayah Dampit. Di Dampit, kami disarankan menghubungi seorang tokoh masyarakat setempat. Ternyata, perjalanan di Dampit harus menempuh jalur menanjak, gelap, dan terjal.
Wilayah yang kami tuju memang bukan Dampit Kota, namun Desa Srimulyo, lokasi dimana kami dijadwalkan menginap. Daerah itu disebut-sebut sebagai daerah tertinggi di antara desa-desa sekitar dengan ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut.
Di kawasan itu ada titik triangulasi zaman kolonial Belanda. Kemudian, kami juga menengok budaya toleransi di antara petani kopi di sana serta mengorek kisah sejarah sisa-sisa pabrik kopi kuno.
Wilayah Sridonoretno, yang terdiri dari Desa Srimulyo, Sukodono, dan Baturetno; merupakan kawasan yang di dalam beberapa literatur disebut-sebut banyak terdapat sisa peninggalan pabrik kopi era Belanda.
Di Sridonoretno, kami memang disuguhi keunikan tersendiri. Petani di sana memiliki arisan tenaga kerja untuk mengolah kebun kopi. Ya, arisan. Mereka yang mendapatkan arisan akan mendapat jatah tenaga kerja bantuan untuk membantu menggarap kebun kopi mereka.
Mereka bekerja sama tanpa memandang suku, agama, atau golongan. Mereka bahu-membahu agar kebun mereka tergarap dengan baik. Ini mengingat saat ini pekerja yang mau bekerja di kebun kopi sudah sangat jarang. Menarik, bukan?
Mereka bekerja sama tanpa memandang suku, agama, atau golongan.
Hari Selasa (9/1/2018), di tengah hujan yang terus melebat, kami tiba di Dusun Tretes, Desa Jogomulyan, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sebelumnya, kami menjemput Machmoed (76), warga Desa Baturetno, yang menjadi salah seorang saksi sejarah keberadaan pabrik kuno Belanda di sana.
Meski usianya tak lagi muda, Machmoed gesit berlarian menunjukkan lokasi-lokasi bekas pabrik. Semangat Machmoed bersambut baik dengan hasrat sejarawan Dwi Cahyono. Seperti api bertemu minyak, keduanya seakan ingin menghidupkan kisah masa lalu dalam penjelajahan di sore itu.
Hanya bermodalkan selembar daun pisang untuk menangkis hujan, Machmoed lincah memperlihatkan titik-titik reruntuhan yang semula adalah bangunan. Dari satu titik bangunan, pindah ke beberapa lokasi lain. Sementara Dwi Cahyono dengan antusias mendengarkan dan mencari-cari kepingan ”gerabah kuno”.
Sebelum gelap semakin pekat, tim dipecah dua kelompok. Tim pertama langsung bergerak menuju Jember. Adapun tim kedua tetap bertahan di Dampit untuk menuntaskan liputan.
Perjalanan ke Jember merupakan awal kisah jelajah kopi berikutnya.
Dirawat inap
Seorang kawan kami, fotografer Kompas Eddy Hasbi, terpaksa dirawat inap di rumah sakit karena mengalami gangguan lambung. Kami mengira ia kebanyakan minum kopi.
Namun, John Bako Baon memberikan informasi bahwa kopi sebenarnya bukan penyebab sakit.
Sejak awal, kawan Eddy Hasbi seringkali terlambat makan. Dan, karena perjalanan jelajah masih panjang, kami pun terpaksa meninggalkan kawan Eddy Hasbi dengan seorang teman.
Di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka), kami beruntung bisa mencicipi berbagai macam rasa kopi. Walaupun kopi yang diuji tak selalu enak.
Kami mencicipi kopi rasa detergen, juga rasa ban serep—atau setidaknya begitulah rasa ban serep karena kami tentu tak pernah merasakan sebelumnya. Rasanya hampir membuat kami pingsan. Barangkali, inilah rasa permen Bertie Botts di novel Harry Potter.
Ahli cita rasa Puslitkoka, Yusianto, mengenalkan kami pada kopi-kopi itu. Katanya, lidah harus dikalibrasi dulu agar bisa mengenal berbagai rasa. Namun sesudahnya, kami menemukan kopi yang kaya rasa: manis, asam segar, dan sedikit rasa cokelat. Bagi kami, rasanya seperti musim semi, berwarna-warni.
Meski sudah berkali-kali tim mengunjungi Puslitkoka, ternyata mampir di sana tak pernah cukup dalam waktu yang singkat. Meski kali ini, kami harus segera beranjak untuk mengunjungi Ijen.
Hari keempat, tim bergerak ke Bondowoso menuju Kebun Kalisat dan Jampit PTPN XII. Di perjalanan, kami sudah diingatkan bahwa tidak akan ada sinyal di lokasi tujuan. Sempat terpikir, apakah masih ada tempat di Jawa Timur yang tidak terjangkau sinyal telekomunikasi? Namun, nyatanya masih ada.
Sisi positifnya, kami benar-benar menikmati suasana sepi di penginapan di tengah hutan itu. Sisi negatifnya, tentu saja banyak kendala komunikasi harus dihadapi bahkan di antara anggota tim.
Penginapan yang kami tempati berada persis di depan pabrik lama Belanda. Bangunan-bangunan lama itu masih terlihat kokoh dan seolah bercerita tentang kejayaan kopi Jawa berabad lalu. PTPN XII adalah pabrik yang masih memproduksi kopi jawa dengan gaya pengolahan yang klasik.
Kami mencicipi pula typika, varietas kopi yang mendorong kami datang ke Pegunungan Ijen. Typika adalah varietas tua dan langka. Di Kalisat-Jampit, kami tak sekadar menemukan kebunnya, tapi juga menyesap nikmatnya typika.
Di Kebun Blawan, Akhsan, wakil manajer kebun, mengajak kami mengunjungi kebun kopi varietas blue mountain yang juga andalan PTPN XII, rasanya beda tipis dengan typika. Kami juga beruntung karena kopi ini hanya untuk diekspor. Artinya, tidak tersedia di pasaran Indonesia.
Pencarian kami pun tak sia-sia. Setiap hari berangkat subuh dan pulang malam, menempuh perjalanan jauh dan medan yang berat, akhirnya kami menemukan kisah kopi langka, berkesempatan mencicipi dan menikmati penginapan kuno Belanda yang bersejarah.
Sebuah pengalaman yang tak tergantikan bagi kami. Bermukim di Jawa Timur, ternyata kami baru menyadari sendiri betapa “kaya” komoditas dan kultur kopi Jawa Timur.
(DAHLIA IRAWATI/SIWI YUNITA C)