Dari sebatang kayu gini, toki-toki (alu-alu) menjadi pegangan petani kopi Papua. Sehari-harinya, toki-toki bertalu-talu merdu di Lembah Baliem, Pegunungan Jayawijaya. Minim sentuhan teknologi mesin, kisah kopi tradisional itu malah terangkat dan mendunia.

Di sudut-sudut desa, mama-mama petani terampil menumbuk kopi dengan toki-toki. Kata mereka, seperti itulah proses pengolahan gabah menjadi biji beras (greenbean) serta dari biji sangrai (roasted bean) menjadi bubuk kopi.

“Dari dulu su (sudah) pakai toki-toki. Begitu tradisinya,” ujar Torsina, petani di sentra kebun kopi rakyat di Desa Pyramid, Kabupaten Jayawijaya, akhir Maret 2018.

Harga kopi terangkat ketika label proses tradisional disematkan pada setiap kemasan kopinya.

Proses tradisional tak bisa lepas dari pengolahan kopi di Lembah Baliem. Selain karena minimnya asupan mekanisasi modern, proses tradisional belakangan justru menarik perhatian dunia.

Harga kopi terangkat ketika label proses tradisional disematkan pada setiap kemasan kopinya. Orang pun penasaran ingin mencicipi rasa manis dan aroma kopi tersebut.

Kopi hasil olahan tradisional akhirnya menjadi kebanggaan petani. Mereka tak ragu meneruskan tradisi lama. Bahkan tidak hanya di Lembah Baliem. Di ceruk-ceruk Pegunungan Lanny Jaya hingga Pegunungan Bintang, petani pun mengolah kopi dengan cara yang sama.

Mulai dari panen, identitas Papua pun begitu lekat. Buah kopi merah yang dipetik, misalnya, dikumpulkan ke dalam noken, tas tradisional berbahan kulit kayu. Selanjutnya, untuk menyortir buah merah yang baik, digunakanlah sumber air dari mata air setempat. Sementara kulit buahnya dikupas dengan tangan.

Setelah itu, biji gabah difermentasi. Satu keunikan dalam pengolahan kopi Papua adalah proses pengolahan basah dengan fermentasi kering. Tujuan fermentasi untuk menghilangkan lendir yang tersisa di permukaan kulit tanduk biji kopi setelah proses pengupasan. Proses itu juga mengurangi rasa pahit dan membentuk kesan lembut (mild) pada citarasa seduhannya. Proses tersebut memakan waktu 24 jam hingga 36 jam.

Setelah dijemur menjadi kering, biji gabah kopi siap ditumbuk. Dalam proses ini, toki-toki digunakan memecah butiran gabah kopi menjadi biji beras. Untuk memisahkan kulit gabah dari biji, petani menampihnya di atas anyaman bambu.

Danial Ade Kurniawan untuk Kompas

Moses menumbuk kopi menggunakan toki-toki di Dusun Tiom, Lanny Jaya, Papua, Minggu (25/3/2018). Penumbukan ini dilakukan untuk memisahkan kopi dari kulitnya.

Selanjutnya, biji kopi disangrai dalam gerabah di atas perapian kayu. Biji sangrai kemudian ditumbuk menjadi bubuk kopi. Untuk mendapatkan butiran yang sama, bubuk diayak.

Menurut Moses Jigibalom (26), petani dan pengolah kopi di Tiom, proses pengolahan kopi tradisional memang lebih panjang, lebih menguras tenaga. Itu sebabnya, sebagian petani cenderung pikir-pikir mengolahnya. Tak jarang mereka menjual langsung buah kopinya ke pasar dengan harga sangat rendah. Buah kopi hanya bernilai Rp 5.000 per kilogram.

Sangat diminati

Kopi olahan Torsina dan petani di sekitar Wamena dikenal dengan nama kopi arabika dari Lembah Baliem. Kopi ini termasuk yang diminati dan diburu kalangan pedagang kopi dan pemilik kedai.

Harga kopi tradisional Papua bisa dibilang paling mahal di antara kopi-kopi Nusantara lainnya. Di Kota Jayapura, harga sebungkus bubuk kopi yang berisi 100 gram saja mencapai Rp 50.000. Berarti, harga 1 kilogram bubuk kopi organik dan tradisional itu mencapai Rp 500.000. Di Jakarta, harganya tentu lebih mahal lagi. “Prosesnya memang beda sehingga harganya pun beda,” ucapnya.

Danial Ade Kurniawan untuk Kompas

Moses menyangrai kopi hasil panennya di Dusun Tiom, Lanny Jaya, Papua, Minggu (25/3/2018).

Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Jayawijaya Hendri Tetelepta menyebutkan, keunggulan kopi arabika Lembah Baliem ialah teknik budidaya dan pengolahan pascapanen yang dilakukan petani secara tradisional. Mulai dari penggunaan pupuk organik alias tanpa bahan kimia hingga pengolahan hasil panen. Rangkaian proses itu membuatnya digolongkan sebagai kopi langka karena memang tak banyak lagi kopi yang diolah dengan cara lawas.

Pengembangan kopi arabika di Lembah Baliem hidup sejak pemerintahan Hindia Belanda. Khusus di Jayawijaya, pengembangan kopi mencakup 23 distrik dengan luas tanaman terbesar di Distrik Asologaima, Pyramid, dan Wolo. Total luas area tanamnya hampir 2.000 hektar.

Sementara itu, di seluruh Provinsi Papua, luas area tanamnya mencapai 9.400 hektar yang tersebar di Jayawijaya, Tolikara, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai. Penanaman kopi menyebar pada ketinggian mulai dari 1.400 hingga 2.200 meter di atas permukaan laut.

Alam Papua yang subur menyediakan buah-buah kopi istimewa. Disempurnakan dengan tradisi dalam pengolahan, maka hasilnya semakin istimewa. Tak salah apabila orang menyebut kopi Papua: sang mutiara hitam. (IRMA TAMBUNAN)